Kupi Beungoh

Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga

Pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, adalah salah satu contoh tentang bagaimana program literasi itu tidak berjalan...

Editor: Muhammad Hadi
Dok Pribadi
Khairil Miswar adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017) 

Nah, meskipun organisasi Muhammadiyah sudah cukup lama hidup dan tumbuh di Aceh melalui lembaga-lembaga pendidikan dari madrasah, PGA sampai universitas ditambah lagi dengan sejumlah lembaga amal dan panti asuhan.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (X) - Iskandar Muda: “Imitatio Alexandri”

Namun masih ada saja sebagian pihak yang memosisikan Muhammadiyah sebagai komunitas kemarin sore. Saya menduga kondisi ini terjadi karena kurangnya literasi sebagian kita atau mungkin juga ada pihak-pihak yang mencoba menggiring kita untuk tetap larut dalam konflik yang tak berkesudahan.

Pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, adalah salah satu contoh tentang bagaimana program literasi itu tidak berjalan dengan baik sehingga kebencian-kebencian buta terhadap Muhammadiyah terus bermunculan.

Kita tentu patut kecewa dengan kondisi ini. Ketika konflik bersenjata selesai, kita justru mencoba menciptakan konflik baru dengan topeng agama.

Penolakan terhadap pembangunan Masjid Muhammadiyah di Sangso adalah contoh kegagapan kita dalam memaknai perbedaan. Padahal Masjid Muhammadiyah juga berdiri megah di tempat-tempat lain di Aceh tanpa ada protes yang berarti. Di Juli, meskipun sempat ada penolakan sebelumnya, namun kini Masjid Muhammadiyah tetap bisa berdiri di sana.

Lantas apa yang ditakuti Samalanga? Apakah hanya karena wilayah itu didominasi oleh dayah kemudian bisa menjadi dalil untuk menolak keberadaan Masjid Muhammadiyah? Bukankah kader-kader Muhammadiyah juga ada di sana?

Anehnya lagi, pemerintah yang seharusnya melindungi kebebasan beragama, termasuk di dalamnya pembangunan masjid, justru terkesan menyahuti keinginan satu pihak sembari menafikan kepentingan pihak lain dengan argumen-argumen klise yang sama sekali tidak relevan dengan kampanye moderasi agama yang selama ini digaungkan. Saya pikir ini adalah salah satu bentuk diskriminasi terhadap salah satu organisasi besar di Indonesia.

Saya melihat argumen yang digunakan pemerintah daerah setempat terkait penghormatan terhadap norma-norma dan adat istiadat dalam pembangunan masjid juga sulit dipahami. Apa kaitannya pelarangan pembangunan masjid dengan norma dan adat istiadat?

Baca juga: Inovasi dan Digitalisasi Demi Pendidikan Aceh

Apakah pembangunan Masjid Muhammadiyah di Samalanga melanggar norma dan adat istiadat? Jika ia, norma dan adat mana yang dilanggar? Hal-hal seperti ini tentunya harus dijelaskan secara memadai agar pelarangan tersebut tidak terkesan tendensius dengan hanya berdasarkan pada argumen delusif.

Selain itu, hingga saat ini pihak yang menyatakan menolak pembangunan masjid juga tidak mempertegas identitasnya. Sejumlah media menyebut penolakan dilakukan oleh masyarakat tanpa mempertegas identitas masyarakat dimaksud.

Jika memang benar pelarangan itu dilatari oleh keberadaan sejumlah dayah di sana, tentu hal ini juga harus dijelaskan secara terbuka dengan menyajikan argumen-argumen penolakan secara lebih rasional.

Secara sosiologis kita bisa saja menduga bahwa penolakan itu dilatari oleh “ketakutan” akan hilangnya pengaruh dayah di sana. Jika asumsi ini benar, lantas apa yang ditakutkan?

Apakah dengan berdirinya Masjid Muhammadiyah akan secara otomatis menghilangkan jejak dayah yang sudah berpuluh tahun bertapak di sana? Tentu saja tidak. Buktinya, usia Muhammadiyah di Aceh sudah mendekati seratus tahun, tapi faktanya dayah masih tetap bisa eksis dan terus berkembang di Aceh. Lantas apa yang harus ditakutkan?

 Atau apakah ketakutan itu dilandasi oleh perbedaan teologis antara dayah dan Muhammadiyah? Jika asumsi ini benar, saya pikir pelarangan pembangunan masjid tidaklah menjadi solusi, sebab tanpa pembangunan masjid pun perbedaan teologis itu telah, masih dan akan terus ada sampai langit ini digulung.

Baca juga: Harapan Pada Sang Penjaga Rahasia

Lagi pula perbedaan teologis tersebut tidak sampai menempatkan Muhammadiyah pada posisi firqah dhallah (aliran sesat). Sebenarnya di sinilah kemudian kedua pihak bisa saling belajar menghargai satu sama lain. Lalu kenapa begitu sulitnya kita berdamai dan hidup berdampingan?

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved