Kupi Beungoh

Anies, Robert Moses dan Keadilan Spasial

Keadilan spasial Anies tidak selesai dengan persoalan reklamasi Teluk Jakarta, namun ia juga berhadapan dengan persoalan relokasi warga

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Tak segan in menggunakan transaksi “pintu” belakang dengan pemangku kepentingan, terutama politisi. Tak jarang membuat strategi fait -accompli, buat dulu ,urusan belakangan.

Hampir seluruh pembangunan yang dibuatnya menggusur kelompok miskin kota New York.

Baca juga: Teriakan "Anies Presiden" Menggema di Acara Perpisahan: Kerja untuk Indonesia tak Berhenti di Sini

Disamping itu, walaupun Caro tidak menggunakan kata “top down” secara eksplisit, namun seluruh dekripsi pembangunan New York dibawah otoritas Moses adalah contoh nyata pendekatan atas bawah itu.

Anies bukan Moses, dan Jakarta bukan New York , apalagi New York tahun limapuluhan. Sekalipun kedua kota itu kurang relevan untuk diperbadingkan, namun salah satu esensi mengurus pembangunan perkotaan, apalagi untuk New York dan Jakarta, tetap saja sama.

Kesamaan itu adalah mengurus “kontestasi” penguasaan ruang yang tak pernah berhenti dan selesai, yang salah satu muaranya berujung pada keadilan spasial.

Ketika ia berjanji, meyakini, dan berkomitmen untuk lebih memberi fokus kepada pembangunan yang berkeadilan sosial di Jakarta, ia tahu benar tentang kunci penentu kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya, yakni keadilan spasial.

Ini adalah terminologi yang cukup padat isinya, terutama tentang distribusi beban dan manfaat yang adil dari berbagai aktor yang terlibat dalam interaksi sosial ruang kota.

Hakekat utama pembangunan perkotaan adalah pembangunan ruang yang berurusan dengan segalanya, uang, pengaruh, dan bahkan kekuasaan.

Ketika dihadapkan dengan aspek keadilan maka yang akan beroperasi adalah mekanisme keadilan spasial yang tidak hanya terikat dengan distribusi ruang dan berbagai infrastruktur, akan tetapi juga terkait manfaat yang diterima, berikut dengan beban yang dipikul, terutama yang menyangkut dengan keuangan, sosial, dan lingkungan sebagai akibat dari kebijakan yang dibuat.

Baca juga: Anies: Politik “Tueng Bila” dan “Tob Abeh” Surya Paloh (II)

Ruang perkotaan, dimana saja di dunia adalah tempat dimana berbagai kepentingan bertemu, berkompetisi, berkoalisi,dan kalau perlu saling mengenyahkan.

Para aktor yang terlibat tidak hanya preman kecil RT/RW, birokrat, tetapi juga ada mafia, pengusaha biasa, oligarki, elit kekuasaan, dan bahkan tak jarang berhulu di salah satu sudut istana.

Tak jarang sebagian besar “mesin politik” kota memerlukan bahan bakar untuk mampu beroperasi secara berkelanjutan.

Tak heran jika mesin politik itu bersaudara kandung dengan “mesin uang” yang berpunca besar dari penguasaan ruang. Kasus pembangunan Jakarta, terutama pada dua era yang berdekatan- Anies dan era sebelumnya, adalah gambaran ideal tentang hal itu.

Mengapa tidak, lihat saja pembatalan kasus reklamasi teluk Jakarta oleh gubernur Anies, dimana ia berjuang keras seperti David melawan Goliath, yang pada awalnya menjadi tertawaan para penyembah kekuasaan.

Tak heran yang ia hadapai adalah pemerintahan presiden Jokowi, sebagian pemangku kepentingan penguasa DKI sebelumnya, dan para oligarki properti.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved