Kupi Beungoh

Anies, Robert Moses dan Keadilan Spasial

Keadilan spasial Anies tidak selesai dengan persoalan reklamasi Teluk Jakarta, namun ia juga berhadapan dengan persoalan relokasi warga

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Kalaulah hari ini Zulfan Lindan, tokoh “tak resmi” Partai Nasdem menyebutkan Anies sebagai “anti thesis” Jokowi, ia hanya memberitahu kebenaran apa adanya, meskipun terlambat.

Pembatalan reklamasi Teluk Jakarta adalah sebuah momen penting pertama Anies menyandang status itu pada tahun 2018. Bagi Anies, ada masalah fundamental di sana.

Baca juga: NasDem Usung Anies Baswedan Capres 2024, Surya Paloh: Kami Titipkan Bangsa Ini

Paling kurang ada isu hak kepemilikan lahan pemodal besar, ada marjinalisasi sekitar 30.000 keluarga yang hidupnya dari “ruang pesisir” secara serena-mena, dan ada penghancuran kawasan ekosistem pesişir Banten, dan Jawa Barat akibat urugan pasir laut untuk reklamasi itu.

Anies menunjukkan alasan utamanya, ada aturan negara yang diterabas, yang disetujui oleh petinggi negara.

Dalam kasus reklamasi itu, ia rela menjadikan dirinya sebagai antithesis rezim yang berkuasa, karena ia melihat bagaimana pilar-pilar ketimpangan struktural sedang terbangun dengan sangat sistematis.

Baginya itu adalah ancaman masa depan Ibu Kota dan bahkan bangsa secara keseluruhan.

Dengan “nyali” Anies itu, perlahan mulai nyata terbuka bagi publik bagaimana penguasaan ruang bersaudara dengan mesin politik ibu kota, dan bahkan lebih dari itu, mesin politik nasional.

Keadilan spasial Anies tidak selesai dengan persoalan reklamasi Teluk Jakarta, namun ia juga berhadapan dengan persoalan relokasi warga karena kebutuhan pembangunan.

Apa yang dia kerjakan memang tidak menjawab tuntas persoalan penggusuran di Jakarta. Namun Anies membawa angin baru, bahwa ketika masyarakat korban diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai pemukim liar, banyak persoalan rumit relokasi dapat diselesaikan.

Lihatlah bagaimana Anies dengan sabar berdialog, mengajak para pihak tidak hanya berpartisipasi, tetapi juga berkolaburasi untuk menyelesaikan banyak persoalan relokasi.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?

Kebekuan penggusuran, oleh Anies diselesaikan dengan dialog. Hasilnya banyak kasus dead-lock relokasi pemukiman terselesaikan.

Catat saja Kampung Bukit Duri, Aqarium, Cakung, Bayam, dan cukup banyak lainnya yang menunjukkan bahwa kelompok miskin kota bukanlah “pariah” yang mesti disingkirkan dengan alasan pembangunan.

Kata-kata “humanis” dalam kamus pembangunan kota yang sudah lama hilang, perlahan oleh Anies dijadikan mungkin, dan kini sedang akan menjadi kata “harus”, bahkan wajib.

Kreativitas keadilan spasial innovasi Anies yang luar biasa adalah ketika ia membebaskan PBB kepada 85 persen, sekitar 1,2 juta rumah di DKI.

Pembebasan juga berlaku untuk mereka yang berjasa untuk negeri. Ia tahu benar dan bahkan cukup tahu salah satu “rukun iman” penyelenggaraan negara adalah pajak.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved