Opini

Mukim di Aceh ‘Kritis’

Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong (desa) yang mempunyai batas wilayah tertentu

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/Handover
TEUKU MUTTAQIN MANSUR,  Dosen/peneliti Hukum Adat Fakultas Hukum dan Sekretaris Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala 

Setelah reformasi dan Memorandum of Understanding (MOU) di Helsinki antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka maka dibentuklah Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengakui keberadaan mukim kembali sebagai salah satu struktur pemerintahan di Aceh.

Keberadaan ini tidak cukup, karena kenyataannya mukim masih dipertanyakan berbagai pihak, apakah masih memiliki kedudukan dalam pemerintahan di Aceh.

Setelah coba dijelaskan, mereka kemudian mengakui keberadaannya, akan tetapi tetap terkesan seolah mukim dianggap antara ada dan tiada.

Berbagai alasan dikemukakan ketika berbicara penguatan mukim.

Intinya, mereka paham bahwa mukim itu ada, namun ketika dihadapkan pada alokasi dana penguatan mukim dan perangkatnya, serta tuntutan pengakuan terhadap wilayah adat mukim, termasuk hutan adat didalamnya, hampir senada mereka mempertanyakan kembali, apakah mukim masih ada/ nyata, apakah mukim masih berfungsi di Aceh, apakah kedudukan mukim kuat dari sisi peraturan perundangundangan? dan sejumlah pandangan kritis lain yang intinya ‘enggan’ berpikir lebih untuk mendudukkan mukim sebagai salah satu lembaga yang eksis dan membantu pemerintah seperti gampong (desa).

Berbeda halnya ketika kita berdiskusi terkait gampong (desa).

Gampong dianggap cukup memiliki dasar, apalagi setelah hadir Undang- Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa serta turunannya.

Setelah lahirnya UUDesa ini, seolah fokus semua mata tertuju pada desa, membantu desa, membangun desa, baik dari infrastruktur, sarana prasarana, maupun struktur desa.

Baca juga: Petani di Mukim Lamleuot Mengeluh, Minta Dibangun Irigasi untuk Mengairi Sawah

Bukan dimaksudkan tidak boleh, akan tetapi perhatian yang sama seharusnya juga dialamatkan kepada mukim sebagai lembaga istimewa yang diakui juga oleh Undang-Undang Nomor 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh.

Apabila pemerhatian hanya kepada desa dengan pusat perhatian pada UUDes dan meninggalkan peraturan perundangundangan Aceh, maka pengalaman implementasi Undang- Undang Nomor 5/1979 akan terulang di Aceh.

Jika tidak hati-hati, maka mukim di Aceh dan lembaganya bisa saja ‘tidak dianggap’, bahkan hilang kekuatannya dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Sekiranya skenario ini terjadi, maka salah satu ruh dari keistimewaan yang merupakan warisan dari sejarah Aceh akan luntur, bahkan dapat hilang ditelan masa.

Keberpihakan pada mukim

Keberpihakan kepada mukim, terkadang lebih kepada ‘rasa’ memiliki, bahwa mukim merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa ini, yang sudah tumbuh berkembang berabad-abad lamanya, mendarah daging dalam masyarakat secara turun temurun, mengakar dalam sistem sosial budaya masyarakat Aceh dan telah berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan di daerah Aceh tidak dapat diabaikan.

Secara historis pun, keberadaan mukim di Aceh telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved