Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh II “Ethno Nationalism”: Munawar Liza dan Egianus Kogeya
Ia mulai menguliahi saya tentang pengakuan Aceh kepada Belanda sebagai kerajaan,pada abad ke 17, ketika pediri kerajaan Belanda
Taksi saya sudah mendekat, saya mau pamit, Jhon mau ke toko grocery mau belanja. Saya berteriak kecil ,” hei Jhon, bagiamana kalau Kelly Kwalik tewas?
Akankah nasionalisme Papua “pasang ?”. Kali ini ia bersuara keras. “Jangan takut, akan ada Kelly Kwalik yang lain, dan mungkin juga anak si Kwalik, atau anak -anak temannya Kwalik”. Ia tersenyum melambaikan tangan, saya juga tersenyum.
Taksi saya yang supirnya orang Somalia itu begerak perlahan dlawal senja musim gugur, dibelai oleh rontoknya daun-daun kuning dan merah sepanjang jalan Washington DC.
Keesokan harinya kami bertemu lagi, di gedung Heritage Foundation. Ada acara open forum Aceh Papua yang disponsori oleh USINDO-persatuan Indonesia Amerika dan dihadiri oleh sekitar 60 orang. Jhon dan satu kawannya mendampingi Barnabas Suebu.
Ia duduk sendiri di meja depan menghadap audiens untuk wing Papua. Saya, Rizal Sukma, dan Duber Wiryono duduk di sebelah kiri, untuk wing Aceh. Jhon dan kawannya satu lagi duduk membaur dengan audien.
Acara itu dipimpin oleh pengurus USINDO, mantan Dubes AS untuk Indonesia, saya lupa namanya. Masing-masing wing-Aceh dan Papua menyampaikan secara ringkas keadaan terakhir masing-masing, berikut dengan prospek yang akan atau mungkin terjadi.
Saya mewakili Aceh, dan Barnabas Suebu menyampaikan tentang keadaan Papua.
Kemudian terjadi tanya jawab.
Hampir tak ada pertanyaan tentang Papua. Pertanyaan terbanyak adalah untuk Aceh, dan umumnya ditujukan kepada Dubes Wiryono, karena beliau adalah utusan pemerintah dalam perundingan RI-GAM yang difasilitasi HDC- Henry Dunant Center.
Pertanyaan untuk saya lebih banyak sepultar peran masyarakat sipil dalam upaya mendamaikan, sedangkan Rizal lebih kepada asesmennya tentang situasi terkhir.
Tiba-tiba seoarng anak muda, dengan pakaian casual, namun pakai dasi- semua peserta mengikuti dress code, jas atau dasi, atau baju dan dasi, tiba-tiba angkat tangan.
Nampak ia tak sering dengan pakaian seperti itu , sangat jelas tidak “match” antara baju-celana, dan dasi.
Disebalik semua kekurangan itu, anak muda ini nampak sangat percaya diri, nampak mengendalikan emosi sekuat tenaga.
Ia mulai berbicara, pertama lamban, kemudian mulai tampak marah. Saya tahu, ini mahasiswa atau anggota GAM di pengasingan-AS.
Ada pertanyaan ringan untuk saya dan Rizal, tetapi pertanyaan berat ditujukan untuk Dubes Wiryono.
Anak muda itu menuduh Dubes Wiryono berbohong tentang kekejaman operasi militer di Aceh dan Papua, dengan menyampaikan sejumlah fakta. Ia terus berbicara sampai akhirnya dihentikan oleh moderator.
Tuduhan itu membuat Dubes Wiryono emosi, padahal ia diplomat. Gaya bicara dan bahasa yang digunakan oleh anak muda itu adalah “plain language”-bahasa sederhana, apa adanya, Aceh asli.
Dubes kemudian menjawab, tentu saja membantah berbagai tuduhan anak muda itu.
Saking marahnya, Dubes Wiryono gemetaran memegang mike, dan secara tak sengaja menyenggol cangkir , yang kemudian jatuh ke lantai.
Setelah dua jam acara,open forum itu dihentikan. Jhon datang ke saya. Dia berbisik “kau lihat getaran etno nasionalisme Aceh hari ini ?”
“Apanya Jhon ?” Saya bertanya. Ia langsung menjawab, “kau lihat tadi pertayaan kritis anak muda Aceh untuk Dubes Wiryono ?, aku suka, dia juga sebut Papua” , “Itu yang kusebut etno nasinalisme Aceh sedang pasang, di Aceh dan di Washington”, katanya.
Anak muda itu setelah pertemuan selesai datang menemui saya dan Rizal. Ia adalah Munawar Liza, mahasiswa Aceh yang sedang belajar di AlAzhar Mesir, namun kemudian meninggalkan pendidikanya befgabung dengan GAM di pengasingan, tepatnya di AS pada masa itu. Kelak ia terpilih menjadi Wali Kota Sabang hasil Pilkada 2007
Beberapa hari yang lalu, saya membaca Majalah Tempo yang menulis panjang tentang kelompok OPM yang menulik penumpang dan pilot Susi Air kapten Philip Marx Marthen di district Paro, kabupaten Nduga, Papua.
Memang dalam bulan-bulan terakhir ini, keadaan Papua nyaris sama dengan Aceh tahun 2000an awal.
Ketika saya membaca nama komandannya, Egianus Kogeya, saya teringat Jhon Rumbiak, tentang istilah “pasang” “surut” nasionalisme etnis pada pertemuan tahun 2002 di Cafe kawasan Dupont Circle, Washington DC.
Yang membuat saya terperanjat, ternyata Egianus Kogeya, seperti laporan TEMPO adalah anak dari anggota pasukan Kelly Kwalik yang juga tewas bersama sang komandan itu, pada saat penyergapan oleh TNI di Timika.
Ramalan tentang generasi Egianus Kogeya telah disebutkan Jhon Rumbiak 21 tahun yang lalu.
Pada tahun 2005, Jhon Rumbiak terserang strooke. Tak ada berita lanjutan setelah itu. Ada berita ia telah meninggal, ada pula yang menyebukan dia sakit dan masih hidup di AS.
Kami berbeda posisi, saya Indonesia, Jhon menyebut dirinya bukan Indonesia, bahkan memusuhi Indonesia. Jhon
menghormati saya, saya juga menghormati Jhon. Bagi saya, ia adalah guru pertama saya tentang bagaimana mengetahui dan menghayati nasionalisme etnis.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
kupi beungoh
korupsi
KPK
perdamaian aceh
Munawar Liza
Egianus Kogeya
Ahmad Humam Hamid
Jhon Rumbiak
OPM
Revisi Qanun Olahraga Aceh: Meneguhkan Jati Diri, Menjawab Tantangan dan Harapan |
![]() |
---|
BSS I Ob-Gin: Mengasah Keterampilan, Menyelamatkan Kehidupan |
![]() |
---|
Merancang Gema Selawat Maulid di Warkop Aceh |
![]() |
---|
Menimbang Hukum Islam atas Penjarahan Saat Aksi Massa |
![]() |
---|
25 Tahun BPKS Sabang Masih Mimpi: Ekspor Nihil, Dermaga Sepi, Visi Tinggi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.