Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh II “Ethno Nationalism”: Munawar Liza dan Egianus Kogeya
Ia mulai menguliahi saya tentang pengakuan Aceh kepada Belanda sebagai kerajaan,pada abad ke 17, ketika pediri kerajaan Belanda
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Saya sama sekali tak menyangka Jhon Rumbiak membaca banyak tentang Aceh.
Ia mulai menguliahi saya tentang pengakuan Aceh kepada Belanda sebagai kerajaan,pada abad ke 17, ketika pediri kerajaan Belanda, Prince Maurice memerdekakan Belanda dari Spanyol.
“Mungkin itu hanya satu-satunya kerajaan Asia yang mengakui Belanda” tukasnya. Ia tahu banyak tentang sejarah Aceh.
Tentang Prince Maurice yang mengirim surat kepada Sultan AlMukammil untuk pembebasan Frederick de Houtman. Di akhir surat permohonan itu ia menyebut dirinya “palayanmu- Prince Maurice, kepada Al Mukammil.”
Jhon tahu cukup banyak tentang Aceh. Ia tahu surat Ratu Inggris,Elizabeth I yang memulai suratnya dengan menyebut Al Mukammil sebagai yang terhornat “Abangku”.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh I: Jhon Rumbiak dan Pasang Surut “Ethno Nationalism”
“Itu surat Kepala negara super power dunia kepada raja Aceh pada masa itu Humam ! tukas Jhon.
“Apa kau tahu ketika sebagian besar wilayah Indonesia dijajah VOC atas nama kerajaan Belanda, kerajaan Aceh berdagang dengan VOC dengan posisi yang setara”.
Dan tak kurang, kadang Aceh juga sombong dengan VOC, kau tahu itu ? tanya John. Tak jelas, apa ia mengompori saya atau mulai menguliahi saya tentang Aceh masa lalu .
Ia menjelaskan tent persiapan Belanda selama lebih dari satu abad untuk menyerang Aceh.
Tak sabar dengan kuliah Jhon, saya menimpal. “John, aku orang republik, maksudnya aku orang Aceh yang Indonesia” Ia tersenyum, dan balik menimpal.
Ia menyambung “Cari cara agar seluruh publikasi dan kepustakaan tentang sejarah Aceh dimusnahkan” dan itulah satu-satunya cara supaya pikiran Aceh merdeka lenyap”, katanya.
“Kalau kami OPM tak bisa, karena rambut dan kulit kami melekat ditubuh dan terus hidup. berkelanjutan, tuturnya.
Baca juga: Aceh dan KPK
Sambil bergurau saya menatang John , “kalau memang sejarah kebesaran masa lalu jadi ukuran, kenapa anak cucu para Khan- Kubilai, Jengis, Hulagu, yang bangsa Monggol tak membangun kembali imperiumnya dari Asia sampai Eropah.
Kenapa Monggol hilang dari peta bumi ?” saya bertanya.
Jhon menyeruput kopi sambil mengulum kue croissant gurih itu, dengan santai menyebut. “Ada itu negara kecil peninggalan para Khan itu, namanya Upper Monggolia, negara miskin dan tak dianggap”.
Tahu kau kenapa ? Tanyanya lagi. Saya diam.
Sambil tertawa terbahak-bahak ia menjawab. “Orang Monggol itu tak punya Hasan Tiro”.
Kami berdua tertawa menggelegar, dan semua tamu cafe itu melihat kami sambil tersenyum heran, atau mungkin juga jengkel.
Baca juga: Disebut Bela Irwandi Yusuf usai Kritik KPK, Humam Hamid Singgung soal Peunayah Pascadamai
Kemudian kami bicara tentang sebuah istilah, tentang nasionalisme, dan nasionalisme etnis. Saya yang pada saat itu tak pernah membaca tentang topik itu menjadi pendengar yang baik dari John.
Ia menyebut Indonesia sebagai sebuah negara yang berbasis nasionalisme kebangsaan yang dasarnya adalah kesamaan budaya antar etnis, dan memberi peluang dari berbagai etnik untuk berasimilasi.
Ia kemudian menjadi agak sedikit bersemangat ketika mulai menerangkan tentang nasinalisme etnis, yang mendefinisikan bangsa berbasis etnis.
Ia memberi contoh Skotlandia, Israel, Armenia, Serbia, dan Turki yang mendasari bangsa nya atas dasar etnisitas.
Ternyata selama di AS ia banyak membaca. Saya belum pernah mendengar ia bicara tentang nasionalisme etnis yang begitu luas.
Akhirnya setelah mendengar begitu banyak pengetahuan John tentang ethno nationalism, saya berkelakar. “Apa benar OPM berontak Jhon ?”. Ia balas menjawab “ ya, kenapa kau bertanya itu”.
Baca juga: Pernyataan Prof Humam Terkait KPK, Ayah Merin dan Irwandi Yusuf Ditanggapi Pro-Kontra
“Ada perbedaan cara berontak antara Aceh dan Papua Jhon”, saya menjawab sambil tertawa kecil. Ia penasaran, “bedanya apa rupanya?”.
Saya menjawab “ di Aceh itu berontak artinya tembak menembak, serang menyerang, dan bunuh membunuh.” Saya jawab sambil tersenyum lagi.
John kali ini rupanya lebih penasaran. “Lalu kalau di Aceh seperti itu kenapa ?” Saya menjawab sambil tertawa agak besar “ Di Papua OPM hanya bakar-bakar saja, sebarin pamlet dan tulisan benci Indonesia, nyaris tak ada pertempuran bukan?”.
Saya bergurau. Jhon tak marah, dan ia mengakui memang media nasional dan internasional pada saat itu mengabarkan tentang ketegangan dan pertempuran hampir setiap hari, atau minggu di Aceh, antara aparat negara dengan pasukan Gerakan Aceh Merdeka.
Kami sudah duduk di cafe itu satu setengah jam, dan John memesan kopi tambahan, dan ia kini mulai serius lagi. Ia memulai dengan ungkapan “pasang” dan “surut” nasionalisme etnis.
Baca juga: KPK Jangan Permalukan Aceh
Ia menceritakan tentang awal OPM yang dipimpin oleh Peremenas Ferry Awom pada 1965, yang terus berjalan dengan bandul perpecahan dan persatuan sesama pemberontak Papua.
Ia menceritakan faksi luar negeri OPM Papua yang pro barat dan pro Marxis Leninis, dan wing bersenjata yang tingal dan beraksi di Papua.
Jhon bercerita tentang OPM yang sesungguhnya tak pernah “surut” , apalagi “pasang” dibandingkan dengan GAM yang kering pada 1976, namun kemudian “pasang” pada tahun 1989-1992, dan setelahnya “surut” Ia menyebutnya, begitu gema pergantian rezim dan angin demokrasi nasional berjalan, GAM justeru mengalami pasang nasionalisme etnis yang luar biasa.
“Pasang" nasionalisme Aceh itu mampu membuat ratusan ribu massa datang ke Banda Aceh menuntut referandum seperti yang terjadi di Timor Timor pada tahun 1999.
Pasang itu terus berlanjut menurut Jhon sampai saat kami duduk di cafe itu, dan juga mungkin akan “surut” suatu saat ketika kalah disapu habis,atau melalui perundingan dengan sejumlah konsesi politik.
Saat itu Jhon adalah profesor saya untuk topik nasionalisme etnis.
Ia menceritkan pahit getir perjuangan OPM yang nyaris tak berarti dibandingkan dengan GAM yang begitu dasyhat.
Namun ia ia juga menyebut bahwa telah datang generasi baru yang tahu sejarah penggabungan Papua Barat, yang bergabung dengan OPM, baik di dalam maupun luar negeri. Ia menyebut beberapa panglima lapangan yang dekat dengannya.
Salah satunya yangs saya sangat ingat ialah ketika ia menyebut nama Kelly Kwalik, kelak ia tertembak pada 2009 di Timika.
Memang ketika kami bertemu saat itu, nama Kelly Kwalik sangat populer, karena ia memerintahan penembakan di Freeport pada Agustus 2002, yang menyebabkan kematian dua warga negara AS, serta seorang warga Indonesia di ruas jalan antara kota Timika- Tembagapura.
Ketika Jhon menyebut Kelly Kwalik, saya berkesimpulan, Jhon telah pindah dari pegiat HAM dari wilayah non kekerasan kepada pejuang kemerdekaan OPM.
Ia menyatakan “kasus freeport” telah menjadikan nasionalisme etnis Papua tidak lagi kering, dan sedang menuju pasang. Akan banyak pengikut OPM, karena Kwalik telah menunjukkan bukti “we can”- kita bisa kepada anak muda.
Belakangan dari berbagai media, ternyata Jhon memang sangat dekat dengan Kelly Kwalik.
Ketika kami mau pisah, saya mengajukan pertanyaan usil kepada Jhon. Saya berucap “kapan Jhon OPM akan benar-benar “pasang” seperti di Aceh sekarang-maksudnya 2002.” Ya tunga aja, 10, 15, atau mungkin 20 tahun lagi” tukasnya.
Taksi saya sudah mendekat, saya mau pamit, Jhon mau ke toko grocery mau belanja. Saya berteriak kecil ,” hei Jhon, bagiamana kalau Kelly Kwalik tewas?
Akankah nasionalisme Papua “pasang ?”. Kali ini ia bersuara keras. “Jangan takut, akan ada Kelly Kwalik yang lain, dan mungkin juga anak si Kwalik, atau anak -anak temannya Kwalik”. Ia tersenyum melambaikan tangan, saya juga tersenyum.
Taksi saya yang supirnya orang Somalia itu begerak perlahan dlawal senja musim gugur, dibelai oleh rontoknya daun-daun kuning dan merah sepanjang jalan Washington DC.
Keesokan harinya kami bertemu lagi, di gedung Heritage Foundation. Ada acara open forum Aceh Papua yang disponsori oleh USINDO-persatuan Indonesia Amerika dan dihadiri oleh sekitar 60 orang. Jhon dan satu kawannya mendampingi Barnabas Suebu.
Ia duduk sendiri di meja depan menghadap audiens untuk wing Papua. Saya, Rizal Sukma, dan Duber Wiryono duduk di sebelah kiri, untuk wing Aceh. Jhon dan kawannya satu lagi duduk membaur dengan audien.
Acara itu dipimpin oleh pengurus USINDO, mantan Dubes AS untuk Indonesia, saya lupa namanya. Masing-masing wing-Aceh dan Papua menyampaikan secara ringkas keadaan terakhir masing-masing, berikut dengan prospek yang akan atau mungkin terjadi.
Saya mewakili Aceh, dan Barnabas Suebu menyampaikan tentang keadaan Papua.
Kemudian terjadi tanya jawab.
Hampir tak ada pertanyaan tentang Papua. Pertanyaan terbanyak adalah untuk Aceh, dan umumnya ditujukan kepada Dubes Wiryono, karena beliau adalah utusan pemerintah dalam perundingan RI-GAM yang difasilitasi HDC- Henry Dunant Center.
Pertanyaan untuk saya lebih banyak sepultar peran masyarakat sipil dalam upaya mendamaikan, sedangkan Rizal lebih kepada asesmennya tentang situasi terkhir.
Tiba-tiba seoarng anak muda, dengan pakaian casual, namun pakai dasi- semua peserta mengikuti dress code, jas atau dasi, atau baju dan dasi, tiba-tiba angkat tangan.
Nampak ia tak sering dengan pakaian seperti itu , sangat jelas tidak “match” antara baju-celana, dan dasi.
Disebalik semua kekurangan itu, anak muda ini nampak sangat percaya diri, nampak mengendalikan emosi sekuat tenaga.
Ia mulai berbicara, pertama lamban, kemudian mulai tampak marah. Saya tahu, ini mahasiswa atau anggota GAM di pengasingan-AS.
Ada pertanyaan ringan untuk saya dan Rizal, tetapi pertanyaan berat ditujukan untuk Dubes Wiryono.
Anak muda itu menuduh Dubes Wiryono berbohong tentang kekejaman operasi militer di Aceh dan Papua, dengan menyampaikan sejumlah fakta. Ia terus berbicara sampai akhirnya dihentikan oleh moderator.
Tuduhan itu membuat Dubes Wiryono emosi, padahal ia diplomat. Gaya bicara dan bahasa yang digunakan oleh anak muda itu adalah “plain language”-bahasa sederhana, apa adanya, Aceh asli.
Dubes kemudian menjawab, tentu saja membantah berbagai tuduhan anak muda itu.
Saking marahnya, Dubes Wiryono gemetaran memegang mike, dan secara tak sengaja menyenggol cangkir , yang kemudian jatuh ke lantai.
Setelah dua jam acara,open forum itu dihentikan. Jhon datang ke saya. Dia berbisik “kau lihat getaran etno nasionalisme Aceh hari ini ?”
“Apanya Jhon ?” Saya bertanya. Ia langsung menjawab, “kau lihat tadi pertayaan kritis anak muda Aceh untuk Dubes Wiryono ?, aku suka, dia juga sebut Papua” , “Itu yang kusebut etno nasinalisme Aceh sedang pasang, di Aceh dan di Washington”, katanya.
Anak muda itu setelah pertemuan selesai datang menemui saya dan Rizal. Ia adalah Munawar Liza, mahasiswa Aceh yang sedang belajar di AlAzhar Mesir, namun kemudian meninggalkan pendidikanya befgabung dengan GAM di pengasingan, tepatnya di AS pada masa itu. Kelak ia terpilih menjadi Wali Kota Sabang hasil Pilkada 2007
Beberapa hari yang lalu, saya membaca Majalah Tempo yang menulis panjang tentang kelompok OPM yang menulik penumpang dan pilot Susi Air kapten Philip Marx Marthen di district Paro, kabupaten Nduga, Papua.
Memang dalam bulan-bulan terakhir ini, keadaan Papua nyaris sama dengan Aceh tahun 2000an awal.
Ketika saya membaca nama komandannya, Egianus Kogeya, saya teringat Jhon Rumbiak, tentang istilah “pasang” “surut” nasionalisme etnis pada pertemuan tahun 2002 di Cafe kawasan Dupont Circle, Washington DC.
Yang membuat saya terperanjat, ternyata Egianus Kogeya, seperti laporan TEMPO adalah anak dari anggota pasukan Kelly Kwalik yang juga tewas bersama sang komandan itu, pada saat penyergapan oleh TNI di Timika.
Ramalan tentang generasi Egianus Kogeya telah disebutkan Jhon Rumbiak 21 tahun yang lalu.
Pada tahun 2005, Jhon Rumbiak terserang strooke. Tak ada berita lanjutan setelah itu. Ada berita ia telah meninggal, ada pula yang menyebukan dia sakit dan masih hidup di AS.
Kami berbeda posisi, saya Indonesia, Jhon menyebut dirinya bukan Indonesia, bahkan memusuhi Indonesia. Jhon
menghormati saya, saya juga menghormati Jhon. Bagi saya, ia adalah guru pertama saya tentang bagaimana mengetahui dan menghayati nasionalisme etnis.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
kupi beungoh
korupsi
KPK
perdamaian aceh
Munawar Liza
Egianus Kogeya
Ahmad Humam Hamid
Jhon Rumbiak
OPM
Revisi Qanun Olahraga Aceh: Meneguhkan Jati Diri, Menjawab Tantangan dan Harapan |
![]() |
---|
BSS I Ob-Gin: Mengasah Keterampilan, Menyelamatkan Kehidupan |
![]() |
---|
Merancang Gema Selawat Maulid di Warkop Aceh |
![]() |
---|
Menimbang Hukum Islam atas Penjarahan Saat Aksi Massa |
![]() |
---|
25 Tahun BPKS Sabang Masih Mimpi: Ekspor Nihil, Dermaga Sepi, Visi Tinggi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.