Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh II “Ethno Nationalism”: Munawar Liza dan Egianus Kogeya

Ia mulai menguliahi saya tentang pengakuan Aceh kepada Belanda sebagai kerajaan,pada abad ke 17, ketika pediri kerajaan Belanda

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Jhon menyeruput kopi sambil mengulum kue croissant gurih itu, dengan santai menyebut. “Ada itu negara kecil peninggalan para Khan itu, namanya Upper Monggolia, negara miskin dan tak dianggap”.

Tahu kau kenapa ? Tanyanya lagi. Saya diam.

Sambil tertawa terbahak-bahak ia menjawab. “Orang Monggol itu tak punya Hasan Tiro”.

Kami berdua tertawa menggelegar, dan semua tamu cafe itu melihat kami sambil tersenyum heran, atau mungkin juga jengkel.

Baca juga: Disebut Bela Irwandi Yusuf usai Kritik KPK, Humam Hamid Singgung soal Peunayah Pascadamai

Kemudian kami bicara tentang sebuah istilah, tentang nasionalisme, dan nasionalisme etnis. Saya yang pada saat itu tak pernah membaca tentang topik itu menjadi pendengar yang baik dari John.

Ia menyebut Indonesia sebagai sebuah negara yang berbasis nasionalisme kebangsaan yang dasarnya adalah kesamaan budaya antar etnis, dan memberi peluang dari berbagai etnik untuk berasimilasi.

Ia kemudian menjadi agak sedikit bersemangat ketika mulai menerangkan tentang nasinalisme etnis, yang mendefinisikan bangsa berbasis etnis.

Ia memberi contoh Skotlandia, Israel, Armenia, Serbia, dan Turki yang mendasari bangsa nya atas dasar etnisitas.

Ternyata selama di AS ia banyak membaca. Saya belum pernah mendengar ia bicara tentang nasionalisme etnis yang begitu luas.

Akhirnya setelah mendengar begitu banyak pengetahuan John tentang ethno nationalism, saya berkelakar. “Apa benar OPM berontak Jhon ?”. Ia balas menjawab “ ya, kenapa kau bertanya itu”.

Baca juga: Pernyataan Prof Humam Terkait KPK, Ayah Merin dan Irwandi Yusuf Ditanggapi Pro-Kontra

“Ada perbedaan cara berontak antara Aceh dan Papua Jhon”, saya menjawab sambil tertawa kecil. Ia penasaran, “bedanya apa rupanya?”.

Saya menjawab “ di Aceh itu berontak artinya tembak menembak, serang menyerang, dan bunuh membunuh.” Saya jawab sambil tersenyum lagi.

John kali ini rupanya lebih penasaran. “Lalu kalau di Aceh seperti itu kenapa ?” Saya menjawab sambil tertawa agak besar “ Di Papua OPM hanya bakar-bakar saja, sebarin pamlet dan tulisan benci Indonesia, nyaris tak ada pertempuran bukan?”.

Saya bergurau. Jhon tak marah, dan ia mengakui memang media nasional dan internasional pada saat itu mengabarkan tentang ketegangan dan pertempuran hampir setiap hari, atau minggu di Aceh, antara aparat negara dengan pasukan Gerakan Aceh Merdeka.

Kami sudah duduk di cafe itu satu setengah jam, dan John memesan kopi tambahan, dan ia kini mulai serius lagi. Ia memulai dengan ungkapan “pasang” dan “surut” nasionalisme etnis.

Baca juga: KPK Jangan Permalukan Aceh

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved