Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh V - Egianus Kogeya, “Pileu Aceh,” dan Memori Kolektif
“Pileu” seringkali disebutkan sebagai kata pengingat untuk orang yang baru sembuh dari sakit, termasuk keluarganya atau orang yang merawat orang sakit
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
Banyak anak muda Aceh hari ini yang tidak tahu dengan sejumlah istilah yang semakin jarang terdengar.
Mudah-mudahan saja ini bukanlah suatu pertanda bahwa bahasa Aceh seperti yang diramalkan dalam World Economic Forum (2022) termasuk dalam 1500 bahasa yang akan hilang pada akhir abad ke 21 ini.
Satu di antara kata bahasa Aceh yang nyaris hilang itu adalah “pileu”.
Ketika banyak diskusi tentang pembangunan pascakonflik dilakukan pada 2005-2009, para penyandang dana internasional tertarik dengan tema itu yang kemudian dikaitkan dengan istilah “relapse”.
Mencari terjemahan “relapse” dengan ilustrasi lengkap dalam bahasa Indonesia tentu saja tidak mudah, karena banyak kalimat yang mesti digunakan untuk menjelaskan tentang kata itu.
Arti “relapse” itu sebenarnya sangat sederhana, kambuh, artinya kembali kepada keadaan semula setelah hilang beberapa waktu.
Arti yang sangat cocok dalam bahasa Aceh untuk “relapse” adalah “pileu” yang sering dialamatkan kepada individu yang baru sembuh dari sakit berat.
“Pileu” seringkali disebutkan sebagai kata pengingat untuk orang yang baru sembuh dari sakit, termasuk keluarganya atau orang yang merawat orang sakit.
Ada sebuah paket “anjuran” dan “pantangan” yang mesti dipatuhi agar penyakit yang telah sembuh itu tidak akan berulang.
Dalam konteks konflik, apalagi perdamaian dari sebuah perang panjang, seperti Aceh, selama hampir tiga puluh tahun, konsep “pileu” sangat layak untuk digunakan.
Yang dimaksud adalah apa saja yang mesti diperhatikan ketika suatu tindakan ingin dilakukan.
Bahkan kalau perlu, seperti banyak ditemukan dalam kepustakaan pascakonflik, para pihak diwanti-wanti tentang apa yang boleh dan tak boleh dilakukan.
Ilustrasi Egianus Kogeya versi Ilham dan Iklil pada tulisan terdahulu, tentu saja tidak berlaku secara umum untuk 5 000 yatım kombatan yang hidup pada hari ini.
Mereka kini telah sibuk dengan kehidupannya masing-masing, namun dapatkah kita menganggap enteng tentang “potensi residu” yang telah mendarah di tubuh mereka?
Pertanyaan ini menjadi sangat serius, karena kehidupan mereka setelah perjanjian damai MoU Helsinki nyaris tak terakomodir dalam sebuah paket pascaperdamaian yang fokus, terstruktur, dan terukur.
Bukankah ketika mereka kecil, mereka menjalani hidupnya kebanyakan dengan penderitaan sosial ekonomi yang seringkali di bawah rata-rata masyarakat lainnya.
Bukankah seringkali ibunya yang menjadi orang tua tunggal yang menanggung semua beban hidup mereka?
Bukankah pula ibu mereka yang menguraikan cerita “pergantar tidur” tentang ayahnya yang mati tertembak, diculik, atau dikhianati oleh tetangganya.
Adalah Rafli Kande, kini anggota DPR-RI fraksi PKS yang mampu membuat fakta dan kata yang tak terhingga jumlahnya yang dengan “jenius” menuangkan fenomena dalam lagu “Aneuk Yatim”.
Lagu itu mencapai puncak hit di Aceh pada tahun 2008-2009.
Ketika Rafli menyanyikan lagu itu pada konser yang ramai dikunjungi, mayoritas penonton menangis terisak-isak.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh IV - Mungkinkah 5000 Yatim Konflik Menjadi “Egianus Kogeya”?
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh III: Sejarah Panjang Kekerasan Aceh, dan Buramnya “Peace Dividen"
Balada Perang Hvorostovsky
Lagu dan penghayatan Rafli ketika menyanyi yang membuat penonton hanyut dalam kesedihan membuat ia seolah menjadi Dmitri Hvorostovsky Aceh pada masa itu.
Hvorostovsky adalah penyanyi opera terkenal Rusia yang ketika ia menyanyi mampu membuat penonton, bahkan Presiden Putin menangis terisak-isak, terutama ketika ia menyanyikan lagu-lagu balada perang.
Lagu Yatim Rafli adalah “pantulan zaman” tentang nestapa konflik yang dialami oleh keluarga yang tak beruntung pada masa itu.
Lagu itu menjadi semacam pemantik memori bagi mereka yang sempat melihat Aceh berdarah selama hidupnya.
Dengan sangat arif pula Rafli menutup lagu itu dengan sebuah bait rekonsiliasi dengan meggunakan ucapan ibu kepada anaknya, untuk menerima realitas yatim itu dengan lapang dada dan penderitaan itu sebagai takdir dari yang Maha Kuasa.
Pertanyaannya hari ini adalah mungkinkah ada sebagian dari mereka yang hari ini sedang tumbuh, berpotensi untuk menjadi Egianus Kogeya yang akan membawa “pileu” untuk Aceh di tahun-tahun yang akan datang.
Mungkinkah mereka akan mengikuti petuah Rafli untuk menerima takdir dengan lapang dada, sementara melihat kejadian yang 180 derjat terbalik dari impian orang tua mereka.
Akankah mereka sangat sensitif ketika apa saja elemen nilai-nilai ethno nasionalis Aceh yang diperjuangkan oral tuanya, yang menyebabkan mereka menjadi yatim, diterima sebagai “takdir kedua” setelah yatim akibat konflik?
Akankah mereka mengulangi sejarah Ilham dan Iklil yang setelah tahun-tahun kematian ayahnya, mereka menjadi Egianus Kogeya?
Seorangpun tidak tahu, karena sejarah juga kadang terjadi secara sangat tiba-tiba.
Namun kejadian berulang, atau kambuhnya konflik setelah sebuah perdamaian tercapai bukanlah hal yang aneh, apalagi mustahil.
Itulah sebabnya upaya “rekayasa sosial” membangun daerah pascakonflik tidak boleh dianggap enteng.
Salah satu elemen penting dalam “rekayasa sosial” membangun daerah pasca konflik seperti Aceh adalah menghadirkan bukti-bukti konkrit “piece dividen”, buah perdamaian, yang seringkali dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Di samping itu apapun tindakan yang dilakukan, terutama langkah-langkah pemerintah seyogianya memperhatikan sensitivitas terhadap “memori kolektif” para pihak, atau apapun yang terkait dengannya, dan publik secara keseluruhan.
Ketidakmampuan menggunakan sensitivitas terhadap “memori kolektif”, terutama dari para pemangku utama kepentingan dalam perdamaian, kadang dapat berakibat fatal, dan bahkan dapat mengancam perdamaian.
Jangankan “peace dividen” yang dalam casusu sampai hari ini capainnya belum optimal, bahkan sangat rendah, kemakmuran dan kesejahteraan yang hebat sekalipun jika bertentangan dengan sensitivitas “memori kolektif” dapat menjadi ancaman perdamaian.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh I: Jhon Rumbiak dan Pasang Surut “Ethno Nationalism”
Episode Perang Saudara Jepang
Sejarah tentang manajemen “memori kolektif” yang sangat destruktif dan kejam- menurut ukuran hari ini, jelas terlihat dalam berbagai episode sejarah 120 tahun perang saudara Jepang.
Negeri matahari terbit modern yang kita kenal hari ini, bukanlah Jepang yang tiba-tiba saja maju, menjadi kapitalis, kaya, dan demokratis.
Jepang mengalami masa panjang kekerasan dan fragmentasi akut, tidak hanya pada level masyarakat, namun menukik dalam sampai ke tingkat komunitas.
Tak terhitung jumlah Daimyo- samurai yang berkuasa di suatu wilayah, di Pulau Honshu sebagai kawasan Jepang inti - Kyoto, Tokyo, dan Nagoya, yang saling berperang memperebutkan wilayah yang berlangsung selama lebih dari satu abad.
Daimyo yang menang membunuh semua keturunan lawannya atau pemberontak, bahkan seluruh rakyat yang kalah, mulai dari bayi, wanita, sampai dengan orang tua renta.
Itulah cara menghilangkan memori kolektif yang dianggap ampuh pada masa itu.
Cara itu pula yang digunakan dalam paruh akhir abad 20 dan paruh awal abad ke 21, seperti apa yang terjadi di Ruwanda, Bosnia, dan sejumlah tempat lain di dunia yang kemudian dikenal dengan istilah “ethnic cleansing”.
Seperti yang ditulis oleh Danny Chaplin (2018) dalam bukunya yang terkenal “Sengoku Jidai”, sekalipun tiga serangkai pembentuk Jepang moderen, Oda Nobunaga (1534-1582), Toyotomi Hideyoshi (1537-1598), and Ieasu Tokugawa (1543-1616), mempunyai tekad baja untuk mempersatukan Jepang, mereka tetap saja menggunakan hal yang sama untuk mengubur “memori kolektif” musuhnya yang kalah, membunuh semua yang tertinggal.
Kekhawatiran tentang “memori” itu digambarkan dengan cukup elegan dan apik dalam film serial mini Netflik “ The Age of Samurai: Battle for Japan” yang disutradarai oleh Steven Scott dari Kanada.
Bukti “memori” itu terlihat ketika Oda Nobunaga-diperankan oleh Masayohi Haneda- lalai dalam memilih anak buah dalam perang perluasan wilayah.
Ia dibunuh oleh Jenderal kepercayaannya-Akechi Mitsuhide, yang menurut sebuah versi adalah anak muda, keturunan kebanyakan dari pihak musuhnya yang berdamai.
Tidak sangat jelas apa sebabnya kenapa ia berkhianat, kecuali ia memang bukan individu sekaum dan sewilayah dengan Oda Nobunaga.
Catatan lain menyebutkan kematian ibunya, akibat tindakan Nobunaga membunuh pemimpin klan Mutsuhide.
Padahal Yaimana, ibu Mitsuhide, menjadi jaminan untuk tidak dibunuhnya pemimpin klan itu.
Nobunaga mengkhinati janji itu, dan membunuh pemimpin klan.
Ibu Mitsuhide kemudian dibunuh oleh pengikut klan yang memberontak itu.
Ketika Mitsuhide diperintahkan berperang ke satu wilayah oleh Oda Nobunaga bulan Juni 1582, ia mengiyakan.
Namun setelah berangkat sebentar ke wilayah yang diperintahkan, ia segera membuat keputusan lain.
Ia menuju Istana, sekaligus kuil Honno, di Kyoto, tempat dimana Nobunaga beristirahat dengan 100 pengawalnya.
Dengan 13.000 pasukannya itu, Mitsuhide mengepung Istana Honno, sekaligus membakarnya.
Oda Nobunaga, Daimyo terhebat pertama yang mempersatukan Jepang, dipaksa Mitsuhide untuk putus asa, sampai ia melakukan Seppuku-bunuh diri ritual dengan membelah perutya sendiri menggunakan “Tanto” pedang kecil pendek Jepang yang jamak digunakan para samurai pada waktu itu.
Memori Mitsuhide telah menyebabkan pemersatu Jepang yang paling hebat itu tewas.
Memori Kolektif Kaum Yahudi
Kekuatan “memori kolektif” yang paling dahsyat didemonstrasikan oleh bangsa Yahudi.
Mereka terusir dari tanah Palestina yang merupakan kawasan bersama dengan bangsa Palestina- ada debat versi ini yang tak pernah selesai.
Kekejaman penguasa Romawi membuat mereka berkelana ke semua tempat di dunia selama 3.000 tahun, termasuk ke Aceh- terdapat beberapa bangunan milik Yahudi sepanjang jalan Ahmad Dahlan, Banda Aceh.
Memori kolektif kaum Yahudi dirawat dengan tulisan dalam bentuk narasi sejarah, tradisi, dan berbagai elemen budaya yang diturunkan kepada lebih dari ratusan generasi.
Memori kolektif itu akhirnya menjadi pengumpul energi Yahudi untuk kembali ke Israel setelah ribuan tahun terusir.
Dengan tekad, sumber daya, dan gabungan berbagai keahlian kaum itu, yang tersebar di berbagai penjuru bumi, utamanya di Eropa, memori kolektif Yahudi itu kini menjadi Israel yang digdaya di Timur Tengah.
Ketika AS melancarkan berbagai serangan dimanapun di dunia, terutama yang berhubungan dengan apa yang disebut Islam radikal, negeri ini juga mendasarinya pada bangunan dan rawatan memori kolektif dengan sistematis.
Bangunan Ground Zero Memorial yang terletak dibekas bangunan World Trade Center, Manhattan, New York, adalah perwujudan “memori kolektif” yang konkrit tentang bagaimana kelompok radikal Islam menyerang jantung ibukota keuangan dunia, New York.AS.
Bangunan itulah yang selalu menjadi sumber inspirasi acuan politik luar negeri AS, baik masyarakat, terutama pemerintahnya dalam melihat negara, dan ummat Islam secara keseluruhan, baik positif, maupun negatif.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.