Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh VII - KPK, “French Paradox”, dan “Merin Paradox”
Pada tahun 2021 Merin sudah nampak seperti warga biasa, minum kopi di tempat ramai, ada yang menyebutnya pulang pergi ke Sabang, menumpang kapal cepat
Ada urutan kejadian yang mungkin atau sama sama sekali mustahil berkaitan?
Pertama, Merin ditangkap pada 21 Januari 2023.
Kedua, ketika Irwandi menjalani acara pelaminan dengan isterinya Stefy Burase di Aceh Jaya pada tanggal 8 Januari 2023, Irwandi memberikan sambutan singkat kepada publik.
Dalam pidato kecil sambil duduk dan berdiri, Irwandi menyebutkan dirinya masuk penjara sebagai “korban” terkait dengan seorang pejabat tinggi negara di Jakarta.
Artinya, tahanan penjara yang dijalani Irwandi karena berbagai kasus yang ditangani KPK adalah sebuah kasus yang beraroma politik yang berhubungan dengan seorang pejabat negara di Jakarta.
Statemen video itu terekam dengan baik, dan kemudian tersebar luas.
Apakah keceplosan ataukah memang disengaja, itulah kebiasaan Irwandi sejak dalam masa konflik, ketika Gubernur, sampai dengan hari ini.
Selalu saja Irwandi mengeluarkan “unexpected statement” yang dapat membuat orang ketawa, shock, heran, marah, atau kontroversial.
Memang, ucapan itu pernah disampaikan oleh Irwandi ketika ia pertama kali menjalani proses pengadilan di Jakarta pada 2018.
Seorangpun tak peduli dengan kata itu.
Segera setelah itu, beberapa orang mulai berkomentar, bahwa Irwandi sedang mencari masalah baru.
Bahkan tak kurang ada yang bertaruh, Irwandi segera akan memasuki periode KPK jilid II.
Dan ramalan itu terbukti kemudian.
Pada 14 Februari ia menerima panggilan dari KPK untuk diminta keterangan sebagai saksi.
Itu artinya, ucapan “bersayap” Irwandi tentang kasusnya itu berbau politik, walaupun masih diragukan, tetapi tidak boleh dibiarkan hilang seperti angin lalu saja.
Pada 16 Februari Irwandi diperiksa lagi sebagai saksi Ayah Merin untuk kasus yang sama yang pernah dijalani Irwandi pada tahun 2018.
Menurut pengakuannya, ia hanya diminta KPK untuk memberikan keterangan tambahan, jika ada, dari pemeriksaan sebelumnya ketika diadili pada 2018.
Ia meresponsnya dengan tetap berpegang pada keterangan 2018.
Dalam pengadian kasus dermaga Sabang itu, hakim memvonis bebas sang mantan Gubernur itu.
Ada sesuatu yang menjadi catatan tentang buron KPK Merin yang ditegaskan oleh Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK-Karyoto tentang kemungkinan terlibatnya pihak lain selama 4 tahun buron Merin yang membantu tersangka.
Merin yang terlihat publik Sabang dan sebagian Banda Aceh selama 3.5 tahun seolah punya “doa perabun”- istilah bahasa Aceh untuk jampi-jampi untuk seseorang yang membuatnya tak terlihat. Doa itu seolah hanya berlaku untuk petugas KPK.
Seperti kasus Harun Masiku, kasus Merin juga sepertinya memerlukan “kecerdasan khusus” publik untuk mampu mengérti fenomena Merin yang “bersaudara” dengan kasus tokoh hebat PDI perjuangan itu.
Merin berkeliaran selama 3,5 tahun di Banda Aceh dan Sabang, tak ubahnya seperti bebasnya Syamsu Nursalim yang berlangsung belasan tahun di Singapore.
Bandingkan dengan pegawai pajak Gayus Tambunan yang ditangkap di Singapore dan dibawa pulang ke Jakarta.
Yang paling luar biasa adalah Nazarudin yang ditangkap KPK di negara Amerika Latin, Kolumbia yang berjarak 19,808 km, dan dibawa pulang ke Jakarta pada tahun 2011.
KPK memang lembaga super dalam penanganan korupsi di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Aceh.
Karena KPK lembaga super, diperlukan juga kecerdasan dan logika super publik kenapa KPK membiarkan Merin berkeliaran 3,5 tahun padahal ia buron?
Selanjutnya, ketika Merin ditangkap lalu dengan berani pula KPK membuat statemen aneh, yang membuat publik Sabang dan sebagian Banda Aceh bingung.
Pernyataan Karyoto mengesankan seolah Merin betul betul bersembunyi total selama 3.5 tahun, tak terlihat publik sama sekali, dan bahkan seolah ia disembuyikan.
Padahal ia berkeliaran seperti orang bebas selama waktu itu.
Dalam konteks “criminal justice”, KPK telah menambahkan satu istilah baru.
Istilah itu adalah “merin paradox”
Jawaban terhadap teka-teki Merin paradoks itu mungkin ada semacam kimia penanggung jawab, seperti layaknya senyawa dalam anggur erah-“reservatrol” yang berpengaruh pada kesehatan jantung.
Tentang apa nama senyawa “kimia itu” tentu ahli kimia KPK lah yang paling tahu.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
kupi beungoh
KPK di Aceh
perdamaian aceh
Ayah Merin
Izil Azhar
Sosiolog humam hamid
humam hamid aceh
Ahmad Humam Hamid
opini serambi
Serambi Indonesia
Berita Serambi hari ini
Indonesia di Simpang Jalan Ke-80: Refleksi atas Ujian Kemerdekaan |
![]() |
---|
Renungan Buya Hamka untuk Dunia Kedokteran |
![]() |
---|
Urgensi Pendidikan Politik untuk Merawat Perdamaian Aceh Pasca Dua Puluh Tahun |
![]() |
---|
Aceh Damai, Perspektif Jurnalistik |
![]() |
---|
Kurikulum Pendidikan Islam Itu "Berbasis Cinta", Solusi Masalah Lokal & Jawaban Tantangan Global |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.