Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh VIII - Merin: Perampok, Pemeras, Atau Robinhood?

Di sebalik “penindasan”itu ada potret lain yang mendekati perangai Robinhood yang juga ditemui dalam kelakuan Merin keseharian.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Hal itu terjadi pada berbagai proyek APBA, APBK, dan proyek rehab-rekon tsunami Aceh, baik via BRR-Aceh Nias, Pemda, maupun via NGO dan lembaga donor.

Paling kurang antara 2005 akhir sampai dengan tahun 2009, praktek itu seolah dianggap normal, dan diterima sebagai sebuah kenyataan.

Hampir dapat dipastikan, pihak kepolisian tidak pernah mendapatkan laporan ancaman kekerasan atau pemerasan, baik dari pelaksana proyek, maupun dari pengusaha.

Sekalipun mungkin ada laporan dari pihak yang merasa sebagai korban, praktis kepolisian tidak akan menangani, karena kehati-hatian yang sangat tinggi untuk menjaga perdamaian.

Kata kunci yang paling sering ditemui di kalangan pengusaha, pimpinan proyek, kepala dinas, dan berbagai unsur terkait dengan pelelangan dapat disimpulkan dalam dua kalimat, “dont ask-jangan tanya”, dan don’t tell-jangan jawab.

Sikap permisif itu seringkali dikaitkan dengan dua kalimat “pajak nanggroe” dan “awak nanggroe”, yang dalam konotasinya kadang lebih berasosiasi semacam “ghanimah”-istilah bahasa Arab untuk harta dari hasil perang yang berhak diperoleh bagi yang ikut serta di dalam perang itu.

Apa yang menjadi justifikasi terhadap berbagai kejadian itu adalah bayangan janji kesejahteraan terhadap kombatan dan keluarga korban konflik yang berjumlah ribuan orang yang tersebar di seluruh Aceh.

Justifikasi yang paling sering digunakan oleh berbagai pihak pada masa itu terhadap keadaan tak normal itu adalah “masa transisi.”

Yang dimaksud sebenarnya, tidak lain dari praktek ekonomi masa perang, di mana  GAM merasa berhak mendapatkan setoran dari berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan di Aceh.

Fenomena itu tak lain sebagai wujud dari klaim eksistensi Aceh, sebagai “negara” versi GAM.

Justifikasi itu pula yang menjadi pegangan untuk mencari uang sebagai alasan untuk janji perdamaian secara cepat kepada eks kombatan dan korban konflik, menunggu hasil pembangunan yang dijanjikan.

Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh VII - KPK, “French Paradox”, dan “Merin Paradox”

Baca juga: Korupsi , KPK, dan Perdamaian Aceh VI - Merin itu Bukan Orang Baik Sekali

Memang benar bahwa ada harapan yang sangat tinggi di kalangan Gerakan Aceh Merdeka tetang “buah instant” perdamaian yang akan didapatkan setelah MOU ditandatangani.

Harapan itu seringkali diceritakan oleh tokoh tua GAM kepada para anak muda kombatan, betapa perdamaian DI/TII pada 1962 memberikan kesejahteraan yang cukup baik kepada banyak pihak yang terlibat.

Anggota TNI dan Polisi yang menjadi desersi bergabung dengan DI/TII , diampuni dan diberikan izin untuk kembali ke kesatuan asal dengan pangkat yang sama.

Pegawai negeri dari instansi apapun, diampuni dan diberikan peluang kembali untuk bekerja dengan status pangkat yang sama dengan sebelum mereka bergabung dengan DI/TII.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved