Kupi Beungoh
Kita Rusak, Pusat Tak Mengembalikan 4 Pulau Milik Aceh
Hampir semua kalangan di Aceh ikut menyuarakan keberatan atas pemberian 4 pulau milik Aceh kepada Sumatera Utara.
Oleh: Risman Rachman
“Kita rusak”
“Rusak punya kita”
“Sabar aja ya”
“Sabar ndak juga”
“Habis kita”
Begitu dialog viral baru-baru ini, yang sepertinya mewakili suasana batin Aceh kala mengetahui Pusat tidak mengembalikan 4 pulau milik Aceh.
Dalam Kemendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tertanggal 9 November 2022 4 pulau itu masih masuk dalam wilayah administratif Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Padahal, salah satu alasan untuk melakukan koreksi Kemendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tertanggal 14 Februari 2022 karena adanya keberatan dari Aceh.
Sayangnya, 70 hari usai rapat pemutakhiran kode, data wilayah administrasi pemerintahan yang digelar Direktorat Toponimi dan Batas Daerah Wilayah Sumatera Kementerian Dalam Negeri lahir Kemendagri yang kembali merugikan Aceh.
Baca juga: Setelah Nova, Giliran Marzuki Protes Mendagri Terkait 4 Pulau Aceh yang Masuk Wilayah Sumut
Baca juga: Soal 4 Pulau Milik Aceh Masuk Wilayah Sumut, Begini Penjelasan Pemerintah Aceh
Baca juga: Menjemput Kembali 4 Pulau Milik Aceh
Gema Advokasi Aceh
Padahal, jika diingat-ingat, advokasi Aceh untuk menyoal Kemendagi Nomor 050-145 Tahun 2022 lumayan cukup bergema.
Hampir semua kalangan di Aceh ikut menyuarakan keberatan atas pemberian 4 pulau milik Aceh kepada Sumatera Utara.
Gema advokasi yang bertepatan dengan musim penentuan Pj Gubernur Aceh itu berhasil mendorong Kemendagri membentuk tim verifikasi dan melakukan verifikasi faktual ke 4 pulau yang ada, yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang.
Buktinya, pada pertengahan Mei 2022, Direktorat Jenderal Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin putra Aceh, Safrizal merespon keberatan Pemerintah Aceh dengan mengatakan pihaknya akan membentuk tim bersama untuk mengecek lokasi empat pulau.
Dan, dalam rentang waktu 31 Mei sd 4 Juli 2022 tim verifikasi melakukan Survey faktual turun ke lapangan untuk melihat dari dekat, mengumpulkan bukti-bukti, walau pada saat itu cuaca sedang tidak bersahabat.
Dalam kesempatan itu, tim Aceh memperlihatkan beragam bukti fisik, termasuk jejak makam keramat. Bahkan, pihak Aceh ikut pula memberi bukti dokumen tambahan berupa peta 1992 yang ditandatangani Gubernur Sumut (Raja Inal Sregar) dan Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan).
Temuan lapangan ini dituangkan dalam Berita Acara Nomor 01/TOPOBAD/STATUS PULAU//BAK/2022 dalam rapat tindak lanjut survey faktual yang berlangsung di Jakarta, Senin (20/6).

Sementara Sumut, sudah tak punya argumen tambahan, kecuali mengulangi dasar verifikasi yang pernah dilakukan tahun 2008, hasil konfirmasi Gubernur Aceh tahun 2009 yang kemudian dikoreksi oleh Gubernur Nova, dan berita acara 2017 serta berita acara Januari 2018 terkait RZWP3K plus Kemendagri 050-145/2022.
Gema advokasi Aceh bahkan mendorong Mendagri Tito Karnavian menyatakan akan meninjau ulang Kemendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tertanggal 14 Februari 2022. Hal itu disampaikan pada Rabu, 6 Juli 2022 usai melantik Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki.
Gema advokasi 4 pulau milik Aceh juga mendorong pihak Kemenko Polhukam tergerak ikut membahas status 4 pulau dengan menggelar Forum Koordinasi dan Konsultasi dalam Rangka Pembahasan Permasalahan Status Kepemilikan Empat Pulau yang diklaim Aceh dan Sumut pada Kamis, 21 Juli 2022 di Bali.
Pada Selasa, 22 Agustus 2022 Direktorat Toponimi dan Batas Daerah Wilayah Sumatera Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggelar rapat pemutakhiran kode, data wilayah administrasi pemerintahan.
Dari Aceh yang hadir dalam rapat ini adalah Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya. Tidak disebutkan ada wakil dari Pemerintah Aceh.
Tidak diketahui juga apa yang disampaikan Pemerintah Aceh Singkil untuk mempertahankan 4 pulau yang sudah masuk dalam wilayah administrasi Tapanuli Tengah, Sumut. Apakah dalam rapat itu terbangun kesepakatan dengan Sumut terkait 4 Pulau, juga tidak diketahui. Dan, apakah yang mewakili Aceh ada mengingatkan kewajiban Pusat untuk berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.
Habis Kita, Agenda Mei 2023
Akhirnya, 70 hari usai pertemuan 22 Agustus 2022 terbitlah Kemendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tertanggal 9 November 2022 yang masih mencantumkan 4 pulau milik Aceh dalam wilayah administrasi Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Sehari usai keluar Kemendagri itu, pada Kamis, 10 November 2022 digelar Rapat Koordinasi Nasional Kebijakan Toponimi dan Batas Daerah Tahun 2022.
Tidak diketahui apakah ada dihadiri oleh wakil dari Aceh. Namun yang jelas dalam rapat yang berlangsung di Hotel Grand Horison Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten itu disampaikan akan ada agenda penting pada Mei 2023.
Pada 1 sd 5 Mei 2023 hasil pemutakhiran data pulau yang tertuang dalam Keputusan Kemendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 bakal menjadi bahan Country Report RI pada 3rd Session of the United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat.
Data tersebut juga menjadi bahan revisi Gazeter Nasional terbaru yang akan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Baca juga: Anggota DPRA Minta Pemerintah Pusat Kembalikan 4 Pulau Milik Singkil
Misi Advokasi Berulang
Dua bulan usai terbitnya Kemendagri yang “melukai Aceh” itu, Aceh kembali lagi mengulangi langkah yang pernah ditempuh sebelumnya.
Pada 7 Februari 2023 Achmad Marzuki menyampaikan surat keberatan ke Mengdari Tito Karnavian dengan Nomor 125.1/2387.
Dulu, dua bulan usai Kemendagri 050-145 tahun 2022 terbit, Nova Iriansyah juga melayangkan Surat Gubernur Aceh no.125.1/6371 tanggal 22 April 2022 tentang permohonan keberatan atas Kepmendagri 050-145 tahun 2022.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh dalam waktu yang berbeda-beda (2018, 2019, 2021, dan 2022) juga sudah menyurati Pusat perihal revisi koordinat, fasilitasi penyelesaian garis batas, dan lainnya.
Pada 19 Januari 2022, melalui surat Gubernur Aceh Nomor 136/836 Pemerintah Aceh juga pernah meminta difasilitasi penyelesaian permasalahan empat pulau dan garis batas laut antara Aceh (Kabupaten Aceh Singkil) dengan Provinsi Sumut (Kabupaten Tapanuli Tengah).
Peristiwa Berulang?
Dahulu, 7 hari usai pertemuan 7 Februari 2022 terbitlah Kepmendagri Nomor 050 145 Tahun 2022 ditandatangani oleh Mendagri. Padahal pada pertemuan sebelumnya tidak ada kesepakatan terkait 4 pulau yang ada, termasuk keharusan konsultasi dan pemberian pertimbangan oleh Gubernur Aceh.
Sangat mungkin, keluarnya Kemendagri yang baru juga tidak diawali dengan konsultasi dan permintaan pertimbangan Gubernur Aceh yang menjadi bukti akan kekhususan Aceh.
Jika tidak ada, “maka kita rusak, rusak punya kita.”
Momentum
Tidak ada yang sia-sia. Pasti disemua peristiwa ada hikmahnya, bahkan sangat mungkin terdapat momentum kunci.
Artinya, bisa jadi peristiwa “hilangnya” 4 pulau milik Aceh, merujuk Peta 1992 yang ditandatangi Raja Inal Siregar dan Ibrahim Hasan menjadi pemicu persatuan Aceh untuk menyelesaikan soal batas Aceh dengan Sumatera Utara merujuk Peta 1 Juli 1956.
Bukankah secara fisik Peta 1 Juli 1956 juga masih misteri keberadaannya. Buktinya, ketika Yayasan Advokasi Rakyat Aceh meminta fisik Peta 1 Juli 1956 kepada Kementrian Hukum dan HAM dan Biro Hubungan Masyarakat, Sekretariat Negara Kementerian Sekretariat Negara, tidak diberikan.
Padahal, secara retorik terus didengungkan bahwa sebagian wilayah Langkat dan Tanah Karo, di Sumatera Utara, berada dalam wilayah administrasi Aceh.
Ketua DPR Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yahya pada 28 Juli 2022 juga pernah mengatakan permasalahan batas Aceh dengan Sumatera Utara ini menjadi poin penting dalam Perjanjian Damai Helsinki. Hal ini tercantum pada poin 1.1.4 tentang perbatasan Aceh.
Terhadap 4 pulau milik Aceh yang masuk dalam wilayah Sumut dinilainya cacat hukum bahkan berpotensi memicu konflik.
Gara-gara Peta 1 Juli 1956 yang secara fisik belum terlihat, pihak Pemerintah Aceh kerap kena tegur terkait pembuatan tapal batas sebagaimana terjadi dalam rapat kerja Komisi I DPR Aceh, 17 Juni 2020. Dalam rapat itu bahkan anak-anak syuhada dibawa-bawa sebagai teguran terhadap Pemerintah Aceh terkait tapal batas.
Sekarang waktunya bagi DPR Aceh melalui Komisi I menginisiasi “perlawanan” politik dengan membentuk Pansus Tapal Batas sebagaimana pernah disebutkan oleh Azhar Abdurrahman saat meninjau perbatasan Aceh - Sumut, 1 Oktober 2021.
Bila perlu, dilakukan revisi APBA agar semua Pokir anggota DPRA sebagiannya dijadikan anggaran pemasangan patok batas, termasuk secara serentak menyurati Google untuk memperbaiki Maps mereka terkait 4 pulau milik Aceh. Berani?!
*) PENULIS adalah Pemerhati Politik dan Pemerintahan.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
kupi beungoh
Pulau milik Aceh
Aceh Singkil
Serambi Indonesia
Serambinews
Risman Rachman
opini serambi
Berita Serambi hari ini
Menjaga Semangat Helsinki, Menjamin Keadilan OTSUS Aceh |
![]() |
---|
Dari Aceh Untuk Indonesia dan Dunia: Ajarkan Sejarah Aceh Dalam Muatan Lokal di Sekolah |
![]() |
---|
Kolegium Kesehatan Antara Regulasi dan Independensi |
![]() |
---|
Revisi UUPA, Pengkhianatan di Balik Meja Legislatif yang Menjajah Hak Rakyat Aceh |
![]() |
---|
Baitul Mal Aceh: Masihkah Menjadi Lentera Umat? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.