Opini
Membingkai Revisi UUPA
Poin pertama tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dengan Otonomi Khusus atau asimetris diuraikan secara lengkap dalam UUPA.
Oleh Dr Drs H Nadhar Putra MSi
Analis Kebijakan Publik dan ASN Pemkab Pidie
BEBERAPA waktu terakhir, elite politik Aceh di DPRA sedang fokus melanjutkan tahapan penyiapan draf revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau yang populer disingkat UUPA.
UUPA adalah produk politik hasil Perjanjian Damai Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.
Perjanjian Damai RI-GAM yang terkenal dengan sebutan MoU Helsinki terdiri atas 6 poin penting yaitu kesepakatan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, penegakan HAM semasa konflik, pemberian amnesti bagi anggota GAM, pengaturan keamanan pasca MoU, pembentukan Misi Monitoring Aceh pasca MoU dan penyelesaian perselisihan dalam implementasi MoU.
Poin pertama tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dengan Otonomi Khusus atau asimetris diuraikan secara lengkap dalam UUPA.
• Anggota DPR Aceh Sosialisasi UUPA di Pidie Jaya, Ini Tujuannya
Undang-Undang inilah kemudian menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh.
Setelah tahapan penyusunan draf revisi oleh Tim Ahli Advokasi DPRA, kini sedang berlangsung tahapan sosialisasi dan penjaringan aspirasi dari masyarakat Aceh.
Sepertinya DPRA tidak ingin kecolongan, proses penjaringan aspirasi masyarakat Aceh ini didesain ketat dengan sistem zonasi sehingga diharapkan tidak ada stakeholder kabupaten/kota yang luput untuk diberi sosialisasi dan dimintai masukan terhadap draf revisi UUPA.
Mengapa DPRA yang proaktif? Ya, karena sesuai pasal 269 ayat (3) pada BAB XL Ketentuan Penutup UUPA disebutkan; Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.
Alasan revisi UUPA
Revisi UUPA mendapatkan perhatian penuh elite politik Aceh di DPRA serta Badan Legislasi DPR-RI karena: Pertama, secara teknis UUPA yang mengatur tentang otonomi daerah asimetris untuk Aceh kini telah berusia 17 tahun diimplementasikan, tentu sudah saatnya untuk dievaluasi dan disesuaikan dengan kondisi terkini, ditambah lagi adanya beberapa pasal krusial UUPA belum dapat direalisasikan dan ada beberapa pula yang perlu penguatan-penguatan.
Kedua, sejak 2023 hingga 2027 Aceh akan menikmati fase kedua Dana Otonomi Khusus Aceh yaitu 1 persen dari DAU Nasional, artinya bahwa Aceh menikmati anggaran DOKA hanya setengah dari jumlah DOKA yang telah diterima selama 15 tahun terakhir sebesar 2 persen DAU Nasional. Proporsi ini diatur dalam pasal 183 ayat (2) UUPA yaitu: DOKA berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara 2 persen DAU Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara 1 persen DAU Nasional.
Sepertinya alasan kedua inilah yang menjadi motivasi kuat agar UUPA segera direvisi agar DOKA dapat dinikmati menjadi dana abadi bagi Aceh, atau paling tidak angka 2 persen tetap dapat dipertahankan hingga 2027.
Kekhususan UUPA

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.