Kupi Beungoh

Epidemi Narsisme dan Tumpasnya Kewarasan

Tulisan ini bentuk refleksi dan kritik sosial terhadap fenomena dan dinamika masyarakat yang terseret gelombang industrialisasi teknologi dan medsos

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Teuku Muzwari Irza adalah Penulis Lepas, Pecinta Kupi Phet dan Kader Muda Partai NasDem Aceh 

Di tengah perjalanan ada seorang peri yang bernama Echo jatuh hati kepada ketampanannya, cinta peri Echo di tolak oleh Narcissus, sehingga ia bersedih dalam berlarut-larut.

Dewi Nemisis mengutuk Narciciuss supaya jatuh cinta pada bayangannya diri sendiri setelah mendengar kabar cinta peri Echo ditolak.

Baca juga: Racun Viralitas pada Akalbudi

Kutukan itu menjadi kenyataan yang harus dijalani oleh Narcissus, ketika melihat bayangan dirinya sendiri yang memantul di atas air kolam.

Ia tiada berhenti memandanginya sampai dia tak sadarkan diri dan mati tenggelam, dan di tempat itu pula tumbuh mekar sebuah bunga yang disebu bunga narsis.

Konsep narsisme kemudian dipopulerkan oleh psikoanalis Sigmund Freud melalui karyanya “Ego dan Hubungannya dengan Dunia Luar.”

Karyanya ini menjadi titik awal bagi banyak orang lain mengembangkan teori tentang narsisme.

Sebelumnya juga filusuf Jean-Jacques Rousseau dalam buku kecilnya berbentuk cerpen yang berjudul narcicism menjelaskan dengan makna yang berbeda dengan Frued.

Bagi Rousseau narsis itu adalah bayangan kita yang keluar dari diri kita dan bayangan itu pula yang mencintai kita, dalam definisi tradisional adalah kita mencintai bayangan kita sendiri.

Jika kita memakai definisi Rousseau maka hampir tidak ada kekerasan dan ini paralel dengan kedaluatan dan tatanan masyarakat bijak dan arif.

Narsisme sudah menjalar dan menular dengan cepat seperti kecepatan cahaya, terkhusus generasi muda hari hari ini, mencintai diri yang berlebihan hingga melampaui batas, berpikir diriinya lebih cantik, tampan, lebih pintar.

Dalam penelitian psikologi, orang yang narsis seperti ini mudah tersinggung dan kecewa atau baperan.

Fenomena dalam bersosialisasi di media sosial adalah ekspresi berlebihan seperti seorang ratu atau raja yang kehilangan singgasana paras kecantikan yang fiktif.

Akhirnya kesehatan mental dan kewarasan adalah korban utama dari arus globalisasi sebegitu cepat ini, supply ilmu pengetahuan yang dangkal sehingga tenggelam mati seperti Narcissus.

Kewarasan manusia atau kewarasan komunitas menjadi mati, kondisi narsisme ditambah dengan pengakuan eksistensi dari orang lain menjadi kegilaan yang di sepakati seperti yang di sampaikan oleh George Bernard Shaw.

Baca juga: Ulah Istrinya Pamer Gaya Hidup Mewah di Medsos, Pejabat Kemenhub Diperiksa

Yang mengerikan sekali ialah bukan hanya akses banyak orang pada informasi saja, tetapi akses banyak orang kepada orang lain, disini narsisme dan pengakuan eksistensi dari orang lain bermain.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved