Kupi Beungoh
Epidemi Narsisme dan Tumpasnya Kewarasan
Tulisan ini bentuk refleksi dan kritik sosial terhadap fenomena dan dinamika masyarakat yang terseret gelombang industrialisasi teknologi dan medsos
Oleh: Teuku Muzwari Irza*)
When the world goes mad, one must accept madness as sanity; since sanity is, in the last analysis, nothing but the madness on which the whole world happens to agree. (― George Bernard Shaw)
Ini adalah sebagai bentuk akumulasi kegelisahan yang terjadi berdasarkan fenomena saat ini, setelah mengamati dengan proses yang sangat panjang dan ikut andil merasakan disekitar orang sekeliling.
Tulisan ini bentuk refleksi dan kritik sosial terhadap fenomena dan dinamika masyarakat yang terseret gelombang industrialisasi teknologi dan media sosial.
Secara ontologis kemajuan sains dan teknologi ini baik, terkadang yang menjadi permasalahnnya adalah manusia-manusia iliterasi dan pemahaman yang dangkal terhadap konsep atau reasioning yang dangkal dan banal, sehingga fenomena narsisme dan kewarasan menjadi permasalah pada abad 21.
Segala sesuatu hal berubah sangat cepat, bahkan seperti Elon Musk sudah melompat pikirannya untuk membuat huniannya di Mars.
Perkembangan biotechnologi juga mengubah banyak industri kesehatan dan kedokteran, perkembangan Artificial Intelegence yang sudah melampaui kecerdasan manusia bahkan mampu mengalahkan kecerdasan manusia.
Baca juga: VIDEO Generasi Muda Diajak Buat Narasi Positif di Medsos
Dalam konteks perkembangan sosial media kita bisa mendapatkan atau bertukar informasi secara real time, kendati informasi itu berasal dari kutub antartika.
Semua manusia pada era sekarang punya akses terhadap informasi, apapun informasinya. Dengan perkembangan media sosial ini juga hukum-hukum wilayah secara teritori berubah.
Manusia bisa mengakses negara mana saja tanpa harus berada di negara tesebut, apakah itu tentang politik, ekonomi, budaya dll.
Perkembagan media sosial ini juga membentuk behavioral masyarakat yang bervariasi, salah satunya yang menjadi berbahaya adalah narsisme.
Kenapa narsisme ini berbahaya ? apakah ia mempunyai efek jangka panjang terhadap kematian kewarasan ?
Perlahan kita menyadari narsisme ini merusak tatanan masyarakat, terkhusus lagi seperti masyarat Aceh yang mempunyai arti atau nilai falsafah kehidupan berdasarkan keluhuran dan kebudayaan secara berkepanjangan berdasarkan sejarah-sejarah terdahulu.
Narsisme ini bukan istilah baru, di dalam ilmu pengetahuan pun terminologi ini sudah berusia 2.000 tahun lebih.
Secara filosofis istilah ini memilik sejarah dalam Mitologi Yunani. Kisah ini ada seorang pria tampan yang bernama Narcissus, ia berkeliling dunia mengejar misi cinta.
Di tengah perjalanan ada seorang peri yang bernama Echo jatuh hati kepada ketampanannya, cinta peri Echo di tolak oleh Narcissus, sehingga ia bersedih dalam berlarut-larut.
Dewi Nemisis mengutuk Narciciuss supaya jatuh cinta pada bayangannya diri sendiri setelah mendengar kabar cinta peri Echo ditolak.
Baca juga: Racun Viralitas pada Akalbudi
Kutukan itu menjadi kenyataan yang harus dijalani oleh Narcissus, ketika melihat bayangan dirinya sendiri yang memantul di atas air kolam.
Ia tiada berhenti memandanginya sampai dia tak sadarkan diri dan mati tenggelam, dan di tempat itu pula tumbuh mekar sebuah bunga yang disebu bunga narsis.
Konsep narsisme kemudian dipopulerkan oleh psikoanalis Sigmund Freud melalui karyanya “Ego dan Hubungannya dengan Dunia Luar.”
Karyanya ini menjadi titik awal bagi banyak orang lain mengembangkan teori tentang narsisme.
Sebelumnya juga filusuf Jean-Jacques Rousseau dalam buku kecilnya berbentuk cerpen yang berjudul narcicism menjelaskan dengan makna yang berbeda dengan Frued.
Bagi Rousseau narsis itu adalah bayangan kita yang keluar dari diri kita dan bayangan itu pula yang mencintai kita, dalam definisi tradisional adalah kita mencintai bayangan kita sendiri.
Jika kita memakai definisi Rousseau maka hampir tidak ada kekerasan dan ini paralel dengan kedaluatan dan tatanan masyarakat bijak dan arif.
Narsisme sudah menjalar dan menular dengan cepat seperti kecepatan cahaya, terkhusus generasi muda hari hari ini, mencintai diri yang berlebihan hingga melampaui batas, berpikir diriinya lebih cantik, tampan, lebih pintar.
Dalam penelitian psikologi, orang yang narsis seperti ini mudah tersinggung dan kecewa atau baperan.
Fenomena dalam bersosialisasi di media sosial adalah ekspresi berlebihan seperti seorang ratu atau raja yang kehilangan singgasana paras kecantikan yang fiktif.
Akhirnya kesehatan mental dan kewarasan adalah korban utama dari arus globalisasi sebegitu cepat ini, supply ilmu pengetahuan yang dangkal sehingga tenggelam mati seperti Narcissus.
Kewarasan manusia atau kewarasan komunitas menjadi mati, kondisi narsisme ditambah dengan pengakuan eksistensi dari orang lain menjadi kegilaan yang di sepakati seperti yang di sampaikan oleh George Bernard Shaw.
Baca juga: Ulah Istrinya Pamer Gaya Hidup Mewah di Medsos, Pejabat Kemenhub Diperiksa
Yang mengerikan sekali ialah bukan hanya akses banyak orang pada informasi saja, tetapi akses banyak orang kepada orang lain, disini narsisme dan pengakuan eksistensi dari orang lain bermain.
Sadar atau tidak, setelah narsisme, eksistensi (ingin di afirmasi oleh banyak orang) kecenderungan dari kita ingin mendapatkan pantulan dari jawaban kita.
Jean-Paul Sartre pernah berkata “in this world its is much easier to hear the echo than the answer”. Terasa lengkap kebahagian semu yang didapatkan berdasarkan kebenaran kuantitatif.
Greta Thuberg adalah seorang aktivis lingkungan yang berasal dari negara Skandinavia, ia memiliki followers sebanyak 14,8 juta.
Kendall Jenner salah seorang aktris berasal dari Amerika dengan followers 228 juta, ini merupakan trade off letak narsisme manusia dan kewarasan yang hilang.
Greta Thunberg sudah berjuang hampir 5 tahun lebih dan fokus pada pemanasan global dan perubahan iklim.
Dengan usia yang terbilang masih remaja ia berani speak up di depan semua pemimpin dunia berhadap hadapan dengan argumentasi yang benar,
Sedangkan Kendall Jenner hanya seorang entertain, seorang aktor penghibur, tetapi memiliki ketertaikan yang sangat besar den bahkan ingin meniru semua hal yang berkiatan dengannya dari fashion hingga kehidupan secara keseluruhan.
Artinya hal yang sangat urgensi seperti di perjuangkan oleh Greta terlihat buta dan terdengar tuli.
Padahal kita sedang mengalami pemanasan global dan perubahan iklim yang begitu serius.
Baca juga: Why Not The Best? Alasan Surya Paloh dan NasDem Pilih Anies Baswedan sebagai Capres 2024
Lantas, kemana kewarasan kita melihat fenomena seperti ini. Berawal dari penyakit narsisme ini, generasi muda ini jika terus terusan tidak di pupuki dengan ilmu pengetahuan dan tradisi intelektualitas yang harus di rawat, maka kita akan sampai pada kematian kewarasan yang sebenar benarnya.
Memperluas khazanah ilmu pengetahuan dalam kehidupan adalah jalan keluar dan solusi dari permasalahan generasi yang masih memiliki kesadaran mistis (kesadaran ikut-ikutan) dan mudah memar terhadap kritik.
“ Seorang narsis menggambarkan dirinya sebagai koran atau tidak sealah dalam segala aspek. Mereka akan tersinggung oleh kebenaran tapi apa yang dilakukan dalam kegelapan akan menjadi terang. Waktu memiliki cara untuk menunjukkan warna asli orang” (Karla Grimes)
*) PENULIS adalah Penulis Lepas | Pecinta Kupi Phet | Kader Muda Partai NasDem Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
| MBG “Mimpi Buruk” Membangun Generasi Cerdas |
|
|---|
| Meretas Makna di Balik Gelar Pendidikan Tinggi dalam Dinamika Profesi dan Pergulatan Makna Hidup |
|
|---|
| Perubahan Wajah Epidemi HIV di Aceh, dari Isu Medis ke Krisis Sosial Remaja |
|
|---|
| Perlindungan Anak vs Pendidikan Moral: Saat Regulasi Menyimpang dari Amanat Konstitusi |
|
|---|
| Saat Buku Fisik Mulai Tersisih oleh Layar |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Teuku-Muzwari-Irza-adalah-Penulis-Lepas-Pecinta-Kupi-Phet_2023.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.