Jurnalisme Warga
Ajaran Islam dalam Tambeh, Nazam, dan Hikayat Aceh
Sementara yang mengandung ajaran/hukum Islam hanya sebagian kecil saja, seperti Tambeh Tujoh (1208 H), Qaulur Ridhwan (1220 H), dan Nazam Tuhfatul Ikh
Oleh TA Sakti
Alumnus Dayah Titeue Meunasah Cut, asuhan Tgk Muhammad Syekh Lam Meulo dan Dayah Titeue Meunasah Cut, Kecamatan Titeue Keumala, Pidie, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie
DALAM 40 judul manuskrip Aceh yang telah saya salin dari aksara Arab Melayu/Jawoe ke huruf Latin selama 30 tahun terakhir, amat sedikit yang membahas masalah agama Islam.
Hal ini tidaklah aneh, karena sebagian besar naskah yang sudah saya transliterasikan/alih aksarakan itu merupakan hikayat yang kebanyakan isinya perihal perebutan kuasa di antara raja.
Sementara yang mengandung ajaran/hukum Islam hanya sebagian kecil saja, seperti Tambeh Tujoh (1208 H), Qaulur Ridhwan (1220 H), dan Nazam Tuhfatul Ikhwan (1224 H). Ketiga naskah ini karya Syekh Abdussalam.
Kemudian, Tambihul Ghafilin alias Tambeh Limong Kureueng Sireutoh (Tambeh 95 bab), disusun Syekh Jalaluddin Lam Gut (1242 H/1827), Tambeh Tujoh Blah, dan “Tambeh Gohna Nan”, yang ditulis Tgk Di Cucum, Nazam Mikrajus Shalat, karangan Teungku Sulaiman Abdullah, Andeue Lala, Nazam Masailal Auwaliyah/Masailal Meunadham, tulisan Teungku Abdullah Arif (1948 M), dan Hikayat Akhbarul Karim, karya Teungku Seumatang.
Tambeh berarti tuntunan, nasihat, atau pedoman. Nadham atau nazam merupakan suatu bentuk syair yang berasal dari Tanah Arab, yang di Aceh hanya membicarakan nasihat atau petunjuk yang terkait dengan ajaran Islam.
• Menggairahkan Kembali Tradisi Baca Nazam di Aceh Besar
Menurut amatan saya, tambeh isinya lebih kental dibandingkan nadham, karena di dalam tambeh lebih sering mengutip langsung secara utuh ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis, sedangkan isi nadham hanya menguraikan intisari saja dari kedua sumber tersebut.
Sampai akhir tahun ‘60-an, saya masih menyaksikan orang-orang membaca dan mempelajari Tambeh Tujoh Blaih (17 bab). Nama-mana tambeh lain, seperti Tambeh Tujoh dan Tambeh 95 belum pernah saya dengar keberadaannya. Hanya sewaktu melacak manuskrip Aceh, secara kebetulan saya menemukannya.
Menurut perkiraan saya, tambeh-tembeh yang lain itu tentu sudah puluhan tahun yang lalu tak pernah disentuh orang lagi. Hanya lewat laporan wartawan Belanda, Zentgraaf, kita dapat mengetahui bahwa Tambeh 95 masih dibaca orang sekitar tahun 1930-an. Dari 95 bab, enam bab di antaranya khusus menjelaskan terkait “perang di jalan Allah alias kisah Perang Sabil.
Mengapa tambeh lebih duluan jatuh popularitasnya? Hal ini mungkin saja karena isinya lebih kental masalah agama Islam–lengkap dengan bunyi ayat dan hadis–padahal di pasaran buku-buku yang serupa terkait agama Islam dalam huruf Latin cukup mudah diperoleh dan murah harganya. Daripada repot-repot membaca bahasa Aceh dalam huruf Jawoe, tentu lebih praktis dibeli saja buku-buku agama tersebut.
Lebih beruntung nasib nadham dan hikayat; walaupun perannya hampir tak terdeteksi lagi, tetapi hingga sekarang ‘nyawanya’ belum tercabut total. Paling kurang kita masih dapat mendengar Tgk Ismail alias Cut ‘E Tanjung Seulamat, Aceh Besar, membaca Nadham Teungku di Cucum pada beberapa tempat di Aceh Besar, terutama di Meunasah Cucum setiap menjelang bulan Ramadhan.
Tambeh Gohna Nan adalah karya Tgk Dicucum juga, tetapi bukan nadham yang biasa dibaca Tgk Ismail Tanjung Seulamat. Tambeh ini telah saya Latinkan. Karena belum diberi judul oleh pengarangnya, maka saya beri nama sementara “Tambeh Gohna Nan” (Tambeh Belum Bernama).
Sementara sebagai contoh masih hidupnya hikayat, beberapa waktu lalu kita masih dapat mendengar bacaan cae (syair) dan hikayat dari siaran AcehTv pada setiap malam Minggu dalam acara “Cae Bak Jambo” yang dilantunkan Cek Medya Hus.
Penjelasan singkat
Dalam reportase ini saya hanya membahas tiga kitab saja, yaitu Masailal Meunadham, Hikayat Akhbarul Karim, dan Tambihul Ghafilin.
Menurut penjelasan Dr Salmawaty Arif kepada saya, Kitab Tambihul Ghafilin (Nasihat bagi yang Lalai), merupakan saduran dari kitab asli. Kitab ini karya Al Faqih Az Zahid Abul Laits Nashr bin Ibrahim As Samarqandi (wafat 373 H/983 M). Di dalamnya memuat nasihat, teguran, dan peringatan sebagai bekal pengertian dan kesadaran yang mendalam untuk memperbaiki jiwa dan moral umat Islam dari kelalaiannya.
Di Aceh, pada tahun 1242 H/1827 M kitab Tambihul Ghafilin disadur dari bahasa Arab ke dalam bentuk hikayat Aceh dengan huruf Arab Melayu/Jawoe oleh Syekh Jalaluddin yang lebih dikenal Teungku Chiek Di Lamgut. Dr Salmawati Arif yang Dosen Fakultas MIPA Universitas Syiah Kualla (USK) adalah keturunan generasi ke-5 dari Teungku Di Lamgut ini.
Mengenai isi Tambihul Ghafilin, kita dapat menyimak penjelasan Tuanku Raja Keumala saat memberi pengantar pada penyalinan ulang Hikayat Akhbarul Karim. Selesai membahas seluk-beluk isi Hikayat Akhbarul karim, beliau juga mengomentari kitab-kitab Aceh pilihan lainnya, antara lain, adalah Tambihul Ghafilin.
Menurut Tuanku Raja Keumala, kualitas muallif (pengarang) dan isi kitab ini amat meyakinkan. Siapa saja yang telah mempelajarinya dengan kesungguhan hati, beliau memastikan orang itu akan menjadi mukmin sejati. Oleh karena itu, beliau mengajak segenap warga Aceh agar mengkaji kitab ini agar sembuhlah (jinoh) segala penyakit hatinya.
Masailal Meunadham atau Masailal Auwaliyah adalah karya Teungku Abdullah Arif MA. Abdullah Arif lahir di Gampong Langga, Pidie dan merupakan cucu dari cucu (bahasa Aceh: cong) Teungku Di Lamgut tersebut di atas.
Salah satu karya beliau yang pernah saya miliki berjudul Kitab Masailal Meunadham, yang ditulisnya ketika berumur 17 tahun. Saya sendiri menyalin (tetap dalam huruf Jawoe) kitab ini pada tahun 1972 ketika saya masih kelas 1 siswa SMAN Sigli.
Kitab ini berbentuk syair bahasa Aceh yang disebut nazam/nadham. Naskah Masailal Meunadham dicetak di Pulo Pinang (sekarang: Penang, Malaysia) pada tahun 1948. Kitab yang dicetak dengan huruf Arab Jawi (tulisan Jawoe) ini isinya tentang berbagai masalah Hukum Islam.
Hikayat Akhbarul Karim tertulis dalam bahasa Aceh dengan memakai huruf Arab Melayu/Jawi atau Jawoe. Isinya menjelaskan mengenai ilmu fikih, tasawuf, dan ilmu tauhid. Hikayat ini juga mengandung nasihat-nasihat agar umat Islam melaksanakan syariat Islam secara kafah.
Pengarang Hikayat Akhbarul Karim digelar Teungku Seumatang. Nama asli beliau tak dikenal. Menurut informasi yang saya peroleh, beliau berasal dari Gampong Cot, Kecamatan Sakti, Pidie. Digelar Teungku Seumatang, karena ia pernah ‘jak meudagang’,yaitu merantau untuk menuntut ilmu ke Dayah Seumatang di Peureulak, Aceh Timur.
Tuanku Raja Keumala (1880–1930) yang merupakan salah seorang cucu Sultan Aceh yang terkenal malem (alim), dalam kata pengantar beliau saat menyalin ulang Hikayat Akhbarul Karim seperti tersebut di atas menyebutkan bahwa Hikayat Akhbarul Karim adalah kitab yang amat patut dipelajari oleh seluruh umat Islam di Aceh.
Alasannya, karena isi kitab ini mengandung serbalengkap seluk-beluk agama Islam mulai tauhid hingga segala hukum fiqah yang terkait dengan rukun Islam yang lima dan ilmu tasawuf.
• Hari Raya Idul Fitri 2023 Tak Sama: Muhammadiyah, NU hingga Pemerintah Dipredikasi Berbeda
• Pangdam I/BB Lantik 304 Prajurit Dikmata TNI AD Gelombang II
• Gempa Guncang Padang Sidempuan Sumut, Berikut Keterangan BMKG, Lengkap Cara Memahami Arti Skala MMI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.