Jurnalisme Warga
Suka Makmur, Kampung Ubi Jalar dan Kepiting Bakau
Desa ini banyak ditumbuhi bakau (mangrove), tempat berpijah dan berkembangbiaknya kepiting bakau
Namun, bila dia seorang nonmuslim hendak tinggal dan menjadi penduduk desa ini hanya diberikan waktu tangguh lima tahun. Bila yang bersangkutan tidak juga memeluk agama Islam maka tidak diberikan lagi izin untuk menetap di desa tersebut.
Secara bertahap warga nonmuslim berpindah dan membuka lahan baru, yakni di Dusun Anak Ui dan Kualo Fangulu dan memilih tinggal di sana hingga kini.
Dasarnya kampung ini dulu bernama Kualo Gadang karena memiliki kuala atau muara yang besar dan luas. Di pinggirnya berjejer pohon bakau hingga ke arah rumah penduduk.
Seiring dengan pemekaran kecamatan, dusun ini pun berubah status menjadi desa dan mereka beri nama Desa Suka Makmur.
Selain ditumbuhi banyak pohon bakau, desa ini juga berada di area pegunungan yang tanahnya subur. Penduduk desa ini menyulap area tersebut menjadi ladang untuk bercocok tanam. Tanaman yang paling banyak dibudidayakan di desa ini adalah ubi jalar atau ubi rambat.
Hampir rata-rata penduduk desa ini berpenghasilan dari menjual kepiting bakau dan ubi jalar.
Dari sanalah awal mulanya desa ini dikenal oleh masyarakat Kepulaun Banyak dengan julukan sentranya ubi jalar dan kepiting bakau.
Adapun ikan laut hasil tangkapan bagi warga desa ini hanyalah sebagai penambah pemasukan (income) saja. Itu pun dilakukan apabila cuaca mengizinkan untuk melaut. Sebab, hampir semua warga desa ini berprofesi sebgai petani ubi jalar dan nelayan kepiting bakau.
Hanya satu-dua orang saja warga desa ini yang bekerja di sektor pemerintahan.
Karena dulunya pendidikan formal di desa ini belum ada sehingga banyak di antara penduduk desa ini yang tidak bersekolah. Setelah beranjak dewasa mereka langsung menekuni suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hariannya: menjadi petani ubi jalar atau pencari kepiting bakau.
Seiring dengan pemekaran Kecamatan Pulau Banyak Barat dari kecamatan induknya, Kecamatan Pulau Banyak, barulah dibangun sarana pendidikan tingkat SD di sini. Sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA belum ada di sini.
Murid yang tamat SD umumnya lebih memilih untuk menyambung sekolah ke pesantren atau dayah yang ada di Banda Aceh atau Aceh Besar karena mendapat beasiswa dari yayasan.
Sementara untuk perumahan penduduk desa ini berada di pinggiran pegunungan dan jauh dari bibir pantai. Alasan mereka tinggal dekat pegunungan karena memudahkan untuk bercocok tanam dan terhindar dari gangguan berkala ketika air pasang laut (rob) naik.
Jaringan internet di desa ini belum memadai. Bila kita hendak berkomunikasi menggunakan jaringan selular haruslah memilih lokasi di area pelabuhan yang jaraknya 1 kilometer dari perumahan penduduk. Sedangkan di lokasi perumahan warga hanya ada titik (spot) tertentu yang kuat sinyalnya.
Begitulah saban harinya yang mereka lalui, sedangkan pengguna handphone (hp) di desa ini hampir setiap orang memilikinya. Namun, hanya untuk pajangan saja dan sesekali mereka gunakan untuk mendengarkan musik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.