Opini
Kurikulum Merdeka: Idealitas dan Realitas
Mungkin karena berangkat dari pengalaman para guru di lapangan saat ini, betapa banyak honorer yang sudah bekerja bertahun-tahun tidak menentu masa de
Oleh Prof Dr Jarjani Usman MSc MS
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Ar Raniry
KURIKULUM Merdeka Belajar telah mulai dicobaterapkan di sekolah, yang diharapkan (idealnya) bisa meraih cita-cita luhur Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara. Cita-cita tersebut adalah agar pendidikan dapat membimbing bakat, minat, dan potensi peserta didik agar meraih tingkat keamanan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat (Kompas, 3/5/2023). Namun, apakah semudah itu menciptakan idealitas tersebut?
Kiranya harapan Pemerintah tersebut masih terlalu jauh dari realitas Indonesia saat ini. Pasalnya, ada beragam masalah mendasar yang menyulitkan pelaksanaan kurikulum tersebut di lapangan. Misalnya, ada kebingungan para mahasiswa calon guru dalam menentukan profesionalisme di masa depannya di era yang penuh ketidakmenentuan ini.
Mungkin karena berangkat dari pengalaman para guru di lapangan saat ini, betapa banyak honorer yang sudah bekerja bertahun-tahun tidak menentu masa depannya. Bahkan ada guru honorer yang bertahan dengan gajinya hanya 300 ribu sebulan, walaupun Upah Minimum Regional (UMR) di daerah tersebut sudah beberapa juta rupiah.
• Guru SD dan SMP Aceh Besar Ikuti Pelatihan Aksi Nyata Kurikulum Merdeka, Kadisdikbud Keynote Speaker
Saya pernah menanyakan sejumlah mahasiswa calon guru mata pelajaran Bahasa Inggris, apakah benar mereka mau menjadi guru bahasa Inggris? Ternyata rata-rata menjawab tidak (ada motivasi menjadi guru). Rata-rata mereka hanya ingin belajar bahasa Inggris agar bisa keluar negeri, bekerja di perusahaan atau bekerja di NGO-NGO internasional.
Jawaban ini bisa jadi tak terlepas dari apa yang mereka lihat dalam kenyataan di Indonesia. Guru di negeri kita ini masih bergaji kecil. Rentang gajinya sangat jauh dengan gaji para pekerja di sektor lain, seperti BUMN yang bahkan hingga ratusan juta dan bahkan miliaran.
Fenomena ini jangan dianggap sepele, karena itu berarti mereka bukan sedang membentuk identitas mereka sebagai calon guru kelak. Upaya untuk tidak membangun identitas sebagai calon guru bisa menghambat perkembangan profesionalisme mereka sebagai guru. Alasannya, profesi guru tidak bisa dibentuk secara simsalabin, tetapi membutuhkan motivasi yang kuat dan pengalaman bertahun-tahun. Apalagi guru bukan hanya wajib memiliki kemampuan bidang studi.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat 1 disebutkan: “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.”
• Perkuat P5 Kurikulum Merdeka, Plt Kadisdikbud Aceh Besar Serahkan Bibit Pepaya untuk SMPN Ali Hasjmy
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan atau keterampilan guru mengelola proses pembelajaran atau interaksi belajar mengajar dengan peserta didik. Sedangkan kompetensi kepribadian berkaitan dengan karakter guru, yang wajib dimiliki agar menjadi teladan bagi para peserta didik. Para guru juga harus mampu mendidik para muridnya agar membantu mereka memiliki kepribadian yang baik.
Selanjutnya, kompetensi profesional ini adalah kemampuan atau keterampilan yang harus dimiliki guru agar tugas-tugas keguruan dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Yang tidak boleh tidak juga kompetensi sosial, yaitu kemampuan guru untuk berkomunikasi efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi pedagogik
Jelas bahwa kemampuan menguasai mata pelajaran saja tidak cukup untuk menjadi guru. Mereka perlu belajar untuk membekali diri dengan kompetensi pedagogik atau kompetensi mengajar, yang dipadu dengan kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Bila guru hanya mahir dalam bidang tertentu, tetapi tidak memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial, akan menjadi monster-monster menakutkan bagi para peserta belajar. Juga akan terjadi miskomunikasi terus-menerus antara guru dengan para orang tua. Bila ini yang terjadi, maka harapan untuk terciptanya merdeka belajar bagi para siswa sungguh jauh panggang dari api.
Belum lagi berkaitan dengan pelaksanaan program pendidikan yang mencetak calon guru, seperti Fakultas Keguruan atau Fakultas Tarbiyah. Kiranya ada sejumlah permasalahan yang dihadapi para dosen, termasuk yang mengajar sebagai pencetak calon guru. Harusnya dosen dalam melaksanakan Kurikulum Merdeka Belajar merasa senang dan fokus dalam membekali diri untuk mempersepsikan dengan benar kurikulum tersebut dan kreatif dan inovatif dalam membantu mahasiswa calon guru.
Namun realitasnya, para dosen super sibuk dan dihantui ketakutan dengan seabrek tugas administratif yang menggunung. Belum selesai memahami kurikulum melalui sejumlah training peningkatan profesionalisme, mereka sudah disibukkan dengan kewajiban-kewajiban melaporkan kinerjanya seperti menulis karya ilmiah untuk jurnal-jurnal nasional dan internasional, mengajar, melakukan pengabdian kepada masyarakat, dan lain-lain.
Bila tidak, mereka berisiko tidak memperoleh tunjangan sertifikasi. Bila tidak memperoleh tunjangan sertifikasi, mereka hanya memperoleh gaji pokok yang hanya 3 juta atau 4 juta. Itu pun banyak sudah dipotong bank karena sudah berutang untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti membangun rumah, membeli kendaraan, dan menyekolahkan anak-anak. Ada dosen yang sudah habis gajinya dipotong bank, bagaimana bisa fokus mengajar dan meningkatkan profesionalismenya?
Dalam keadaan kuet pade reudok (istilah Aceh untuk keadaan serba tumpang tindih dan mepet) seperti itu, bagaimana mungkin para dosen bisa fokus membantu mahasiswa calon guru agar menjadi guru-guru yang hebat. Harusnya, dosen diberikan kesejahteraan yang cukup agar bisa tenang dan fokus dalam melaksanakan tugasnya. Kalau tidak, dosen bukan hanya berpeluang melakukan kecurangan akademik dengan menyuruh orang lain untuk menulis, tetapi juga tidak bisa maksimal atau fokus dalam mengajar.
Ada dosen yang bahkan membayar orang lain untuk mengajar mata kuliahnya, mungkin karena tidak sempat mengajar atau tidak profesional dalam mengajar mata kuliah tersebut. Padahal setiap dosen diberikan kewajiban untuk mengajar secara mandiri sejumlah SKS (Satuan Kredit Semester) mata kuliah, tidak boleh diwakilkan kepada asistennya.
Belum lagi ada dosen yang sebenarnya tidak layak menjadi dosen karena tidak memiliki kompetensi sebagai dosen dan sulit untuk dikembangkan kompetensinya menjadi dosen. Dosen-dosen seperti ini biasanya diangkat melalui ‘jalur belakang’. Ada yang dipindahkan dari kantor tertentu atau dipindahkan dari tenaga administrasi, tanpa melalui proses seleksi kompetensi yang ketat karena kedekatan atau hubungan keluarga dengan penguasa kampus.
Seharusnya ketika dialihkan status mereka, diuji dulu kompetensi mereka. Dosen-dosen bermasalah seperti ini sering dikomplain oleh kebanyakan mahasiswa, tetapi kadang kala tidak ada follow up dari kampus. Akibatnya, mahasiswa harus menerima kenyataan, suka atau tidak suka, karena mereka lebih memilih memperoleh nilai yang baik. Dalam realitas seperti ini, apakah mahasiswa bisa belajar secara merdeka?
Itulah sekelumit realitas dari implementasi Kurikulum Merdeka Belajar, yang jauh dari fase idealnya. Seharusnya, dalam melaksanakan Kurikulum Merdeka Belajar, berbagai elemen yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum tersebut dipertimbangkan dengan baik. Kalau tidak, ibarat kata pepatah, arang habis besi binasa. Guru-guru dan dosen-dosen habis energi dan usia untuk belajar kurikulum-kurikulum baru, tetapi inti dari pelaksanaan kurikulum tersebut tidak tercapai.
• VIDEO Jokowi Plot Rp 800 Miliar untuk Perbaiki 15 Ruas Jalan di Lampung
• Golkar Pidie Klaim Rapat Banmus Baru 1 Kali Bukan 2 Kali, Terkait Mengagendakan PAW Pimpinan DPRK
• AHY: Demokrat dan PKB Sepakat Jaga Pemilu 2024 Jangan Ada Intervensi, Intimidasi, dan Kecurangan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.