Breaking News

Jurnalisme Warga

Belajar Editing Bersama FAMe

Bagi seorang penulis, menjadi editor terhadap karyanya sendiri adalah hal yang terbaik. Namun, tak semua penulis memiliki kemampuan editing yang bagus

Editor: mufti
IST
RISMA, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Langkat, Sumatera Utara 

RISMA, Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

Editing atau menyunting merupakan proses akhir dari sebuah tulisan yang disertai tindakan perbaikan, termasuk memperjelas, mengurangi, bahkan menambahkan teks dan tanda baca sehingga sebuah naskah mudah dipahami oleh pembaca.

Sebelum karya tulis dipublikasi, maka penulis perlu menyunting atau mengoreksi berkali-kali tulisannya. Penyuntingan karya tulis dilakukan agar suatu karya layak dipublikasikan, nihil kesalahan semantic, dan pembaca mudah mencernanya.

Bagi seorang penulis, menjadi editor terhadap karyanya sendiri adalah hal yang terbaik. Namun, tak semua penulis memiliki kemampuan editing yang bagus. Oleh karenanya, kita harus siap mental dan ikhlas jika tulisan kita dipermak oleh penyunting. Kedudukan penyunting di sini adalah sebagai pemoles kata dan kalimat agar apa yang diinginkan penulis terhubung dengan baik ke benak pembaca.

Atas dasar itu nyatalah bahwa teknik editing itu sangat perlu dipelajari dan didalami, termasuk oleh mahasiswa seperti saya yang tak lama lagi akan menulis tugas akhir (skripsi).

Ketika bingung di mana harus belajar teknik editing atau siapa gurunya, alhamdulillah kelas lanjutan  Forum Aceh menulis (FAMe) di Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh mengagendakan pelatihan teknik editing karya jurnalistik dan artikel opini bagi mahasiswa UBBG. Saya tertarik dan ikut kelas ini.

Pematerinya adalah Pak Yarmen Dinamika, Wartawan Harian Serambi Indonesia dan Pembina FAMe. Semester lalu, materi teknik editing ini belum diajarkan, maka kesempatan yang kini ada tidak saya sia-siakan.

Bukan saja saya, hampir 100 mahasiswa UBBG ikut kelas editing yang berlangsung hanya dua jam pada hari Jumat lalu. Seperti biasa, pelatihannya berlangsung di Aula Kampus UBBG Banda Aceh.

Menurut pemateri, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam mendalami teknik editing. Di antaranya teliti, tekun, berwawasan luas, dan bersahabat dengan kamus, dalam hal ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terutama yang versi daring.

Sebetulnya, kata Pak Yarmen, editing ini ada sekolahnya, yakni program studi editologi, seperti yang terdapat di Malang, Jawa Timur. Namun, lulusannya masih sangat minim dan belum mencukupi kebutuhan yang ada. Banyak penerbitan membutuhkan editor yang profesional dan bersertifikat, tetapi tenaga editor ini masih kurang. Masih lebih banya jumlah penulis dan layouter dibandingkan editor.

Pemateri juga menyebutkan bahwa untuk mendapatkan sertifikasi profesi sebagai editor kita bisa ikut tes. Di Aceh, salah satu lembaga yang memfasilitasi tes menjadi editor ini adalah UPT Percetakan Universitas Syiah Kuala atau USK Press. Ikut tes ini berbayar. Kalau dulu Rp 1,5 juta, sekarang sudah naik menjadi Rp 2,5 juta per orang. Tapi, USK menyediakan bonus kepada editor yang lulus, yakni bisa cetak buku gratis di USK Press.

Dalam ceramahnya, Pak Yarmen memberikan beberapa tips untuk menjadi seorang editor yang andal. Pertama, haruslah  mengetahui dasar-dasar penyuntingan. Kedua, memiliki kemampuan menulis, minimal mampu memperbaiki kalimat yang salah, seperti salah diksi rancu, kalimat yang ambigu (taksa), dan kalimat yang salah nalar.

Diksi adalah pilihan kata yang tepat serta selaras dalam penggunaannya. Contoh diksi yang dapat diperbaiki yaitu pada kalimat "Semua siswa diam saat guru menerangkan pelajaran." Diksi “diam” dapat diubah menjadi "bergeming”, “hening”, atau “senyap". Diksi tersebut dapat diperbaiki agar tulisan lebih menarik dibaca.

Selanjutnya rancu. Rancu berarti kalimat yang kacau atau kalimat yang susunannya tidak teratur. Kalimat tersebut mengakibatkan informasinya sulit dipahami. Contoh kalimat rancu adalah, "Menurut para pakar sejarah mengatakan bahwa Masjid Raya Baiturrahman dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda." Nah, kalimat ini rancu karena susunannya terdiri atas dua struktur kalimat. Struktur pertama dimulai dengan kata ‘menurut’, sedangkan yang kedua dimulai dengan subjek ‘pelaku’ (pakar sejarah) yang diikuti oleh predikat 'mengatakan'.

Kalimat rancu ini dapat diperbaiki menjadi, "Pakar sejarah mengatakan, Masjid Raya Baiturrahman dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda."

Kemudian kalimat ambigu (taksa). Kalimat ambigu merupakan bentuk kalimat yang memiliki makna ganda. Contoh kalimat ambigu seperti "RSUD Meuraxa menyumbang 80 kantong darah." Kalimat tersebut ambigu karena sebagian orang berpikir sumbang 80 kantong darah berarti menyumbang kantong darah sebanyak 80 unit, atau menyumbang 80 kantong yang berisi darah. Kalimat tersebut dapat diubah menjadi "RSUD Meuraxa sumbang darah 80 kantong." Maka, jelas apa yang disumbang.

Yang terakhir salah nalar. Contoh kalimat salah nalar ini seperti "mengejar ketertinggalan". Seharusnya kalimat tersebut diubah menjadi "mengejar kemajuan" atau “mengatasi ketertinggalan”.

Contoh kalimat salah nalar lainnya adalah "untuk menyingkat waktu". Kalimat ini sering digunakan moderator atau MC, tanpa mereka sadari bahwa kalimat tersebut tidak nalar karena waktu tetap berputar 24 jam sehari-semalam tanpa seorang pun mampu menyingkatnya, katakanlah menjadi 20 jam saja. “Seharusnya kalimat seperti itu bisa diubah menjadi ‘untuk menghemat waktu’," kata pemateri.

Syarat berikutnya menjadi seorang editor adalah memiliki pengetahuan luas. Jika ingin menjadi penyunting maka haruslah menjadi seorang pembaca yang lahap agar tidak ketinggalan informasi. Misalnya, tahu ranking kemiskinan Aceh di Sumatra dan di Indonesia, tahu kenapa segelintir warga Aceh dulunya ingin memisahkan diri dari Indonesia, dan di mana akhirnya konflik diakhiri dengan jalan damai. Tahu juga siapa mediatornya.

Syarat selanjutnya menjadi seorang editing harus menguasai ejaan.  Menjadi seorang editor tulisan opini haruslah paham Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), bahkan paham hingga ke penggunaan tanda baca. Misalnya, tanda titik, titik dua, elipsis, apostrof, koma, titik koma, tanda tanya, tanda seru, tanda petik tunggal, dan tanda petik dua.

Pastikan juga kita menguasai kata-kata yang baku, bukan justru yang tidak baku. Contohnya, yang benar itu adalah familier, bukan familiar. Yang benar itu mengubah, bukan merubah. Contoh lain, kata prasarana harus mendahului kata sarana. Jadi, salah kalau di kantor-kantor ada kepala seksi sarana dan prasarana. Seperti halnya prasejarah dan prabayar, bentuk terikat pra- itu bermakna sebelum atau di muka. Maka, tak boleh ia diletakkan di belakang seperti dalam kasus sarana dan prasarana.

Ternyata banyak sekali kesalahan tanda baca maupun diksi dalam penulisan maupun percakapan kita selama ini. Ikut kelas yang diasuh Pak Yarmen ini membuat saya sadar bahwa ilmu editing adalah sesuatu yang sangat penting.

Apa yang disampaikan pemateri dengan berbagai contoh yang terkadang lucu, membuat saya kian tertarik untuk mendalami ilmu editing ini.

Harapan saya, semoga kelas menulis seperti ini terus berjalan di sela-sela perkuliahan kami. Apalagi di era modern saat ini, kelas menulis tidak harus berlangsung secara tatap muka, tetapi bisa juga dilakukan secara virtual dengan bantuan smartphone. Semoga dengan dilaksanakannya kelas menulis maka terlahirlah bibit-bibit unggul baru yang akan menjadi penulis hebat dengan kemampuan editing yang andal dari Kampus UBBG. Terima kasih, FAMe.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved