Kupi Beungoh
Banjir Sarjana, Kering Lapangan Kerja
Peluang kerja yang terbatas akibat sektor pekerjaan tidak variatif di Aceh. Pemerintah Aceh sebatas mencari solusi alternatif
Oleh: Akhsanul Khalis*)
Tiba-tiba teringat dengan cerita Gam Cantoi. Ya, ini cerita nostalgia tentang sosok Gam Cantoi ketika melamar pekerjaan. Dengan mengandalkan ijazah S2 nya, Ia percaya diri melamar pekerjaan ke sebuah institusi, alhasil diterima.
Namun, impian Gam Cantoi bekerja profesional di institusi itu tidak sesuai harapan. Sambil menyapu lantai, Gam Cantoi memperlihatkan raut wajah kesal. Wajah kesalnya justru dijadikan bahan tertawaan pimpinan beserta karyawan".
Gam Cantoi adalah cerita karikatur karya Almarhum M. Sampe Edward. Selain berita, kisah satir Gam Cantoi sajian penting media Serambi Indonesia. Dulu sosok karikatur Gam Cantoi sangat digemari publik Aceh dan dianggap legend saat ini.
Lapangan kerja terbatas
Ihwal kisah di atas menjadi inspirasi opini ini: nestapa Gam Cantoi sebagai pemegang ijazah sarjana. Setelah melamar kerja justru yang terjadi, pekerjaannya adalah menyapu lantai -tidak bermaksud merendahkan suatu pekerjaan.
Dengan bahasa lain, tidak adanya kesesuaian keahlian yang sudah dipelajari di bangku perkuliahan dengan dunia kerja (Link and Match).
Baca juga: Sempat jadi Misteri, Si Kembar Penipu iPhone Rihana-Rihani Akhirnya Ditangkap Polisi di Serpong
Baca juga: Patut Ditiru, Polisi di Langsa Ini Ziarah ke Pusara Orang Tuanya Usai HUT Bhayangkara Ke-77
Kisah Gam Cantoi, satir paling relate dengan kondisi Aceh saat ini. Selain dibanjiri dengan peredaran narkoba, Aceh juga sedang dibanjiri sarjana pengangguran akibat sulitnya mengakses pekerjaan yang layak dan profesional.
Persoalan minimnya akses peluang kerja bagi sarjana di Aceh menjadi salah satu variabel tingginya angka kemiskinan. Aceh menduduki peringkat ke 5 nasional sebagai provinsi termiskin di Indonesia, dan itu capaian "prestasi" setiap tahun.
Angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh selalu saling mempengaruhi.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik: Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, pada September 2022, jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 818,47 ribu orang (14,75 persen).
Dan jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh pada tahun 2023 lebih kurang mencapai 149 ribu (5,75 persen). Mayoritas serapan kerja di Aceh pada sektor pertanian, perkebunan dan kelautan.
Catatan dari BPS tersebut merupakan bentuk data umum dari jumlah kemiskinan dan pengangguran di Aceh. Namun yang menjadi fokus opini: mengenai rendahnya serapan pekerja yang berlatar belakang sarjana.
Menggunakan data terdahulu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021: tercatat 136 ribu orang berlatar belakang lulusan universitas menjadi pengangguran di Aceh.
Berdasarkan data 2 tahun yang lalu, kita yakin pemerintah Aceh belum siap membuka lapangan kerja yang variatif untuk tenaga kerja terdidik dan profesional atau dinamakan pekerja kerah putih.
Karena selama ini dalam keyakinan masyarakat Aceh pekerja formal yang berlatar belakang lulusan universitas, terdidik, digaji perbulan adalah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Alhasil menjadi ASN merupakan impian semua anak muda Aceh. Dengan sektor ketenagakerjaan yang kurang variatif itu, sarjana di Aceh yang baru lulus dari universitas cenderung mengandalkan kerja di sektor formal: kebanyakan bekerja di institusi Pemerintah Daerah. Walaupun bukan sebagai ASN, menjadi tenaga kontrak, honorer dengan gaji kecil pun tidak masalah.
Kita tidak menampik bahwa ada fenomena: kian banyak sarjana di Aceh mengandalkan bekerja pada sektor formal seperti di lembaga pemerintah maupun swasta, kendati mereka rela bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas.
Dengan kondisi ketidakpastian, terkadang mereka harus berpikir pragmatis, daripada mutlak sebagai pengangguran, sebagian sarjana di Aceh terpaksa bekerja di ranah "abu-abu": dengan upah kecil, durasi jam kerja banyak, tidak adanya insentif dan jaminan kesehatan. Justru Ini kondisi yang akan berpengaruh kepada kualitas pekerjaan dan kesejahteraan hidup pekerja.
Sebatas solusi alternatif
Peluang kerja yang terbatas akibat sektor pekerjaan tidak variatif di Aceh. Pemerintah Aceh sebatas mencari solusi alternatif yaitu: kampanye kewirausahaan seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di kalangan fresh graduate (lulusan baru).
Pemerintah Aceh dalam berapa tahun ini memang kelihatan sedang giat-giatnya menyebar motivasi menjadi entrepreneur.
Kedengarannya menarik dan meyakinkan. Kampanye mendorong anak-anak muda yang baru selesai kuliah agar mengambil bagian menggerakkan usaha mandiri memang mendapatkan sambutan luas di tengah masyarakat.
Solusi praktis itu tidak ada yang salah, tetapi itu kurang mengakomodasi kelas pekerja yang profesional; terdidik.
Tidak semua sarjana berlatar belakang dari kelas menengah atas. Terkadang kebanyakan sarjana ketika menjalani masa perkuliahan sangat terbatas sumber daya: fasilitas dan keuangan.
Mereka hanya tahu: kuliah mendapat ilmu dan setelah lulus, bekerja untuk menaikkan taraf hidup. Mereka berharap menjadi pekerja profesional, modalnya adalah menjual pikiran dan tenaga.
Seperti diketahui dalam piramida sosial, kelas pekerja lebih banyak. Tidak mudah mencapai posisi sebagai pemilik modal: butuh waktu, privilege dan sumber daya mapan. Dengan demikian sarjana di Aceh yang murni berlatar belakang sebagai kelas pekerja harus diakomodasi bekerja di sektor industri.
Potensi Industri
Menurut penulis, agar sarjana bisa bekerja di sektor Industri. Pemerintah Aceh perlu memastikan rencana strategis industri dulu. Dengan demikian terciptalah industrialisasi skala menengah dan besar di Aceh.
Tanpa pengembangan di sektor industri, ekonomi Aceh akan berjalan secara tradisional. Masyarakat Aceh akan terus tergantung dengan anggaran pemerintah dan dana otonomi khusus.
Sebab deindustrialisasi di Aceh, salah satu yang menyebabkan Aceh kian lama terpojok dan tidak mampu berkembang pada sektor ekonomi.
Kita jangan terlalu alergi dengan istilah industrialisasi. Karena dalam konteks global, investasi melalui jalan industrialisasi hal yang tidak bisa dielakkan.
Mendorong industrialisasi jangan dianggap berpikir kapitalistik tanpa persyaratan. Dengan masuknya industri, pemerintah Aceh diharapkan berupaya konsisten dengan regulasi yang pro kepada pemberdayaan pekerja lokal.
Memang tidak semua industri sebagai solusi terbaik. Kendati begitu pelbagai investasi dibutuhkan untuk menggarap sektor industri. Misalkan industri pariwisata, industri manufaktur makanan dan minuman, agro industri pertanian, perkebunan, kelautan dan industri jasa.
Memang ini terdengarnya klise, selama ini masyarakat merasa tidak percaya (apatis) dengan wacana investasi di Aceh. karena wacana investasi sering lenyap di tengah jalan, gagal pada tahap implementasi
Sering kali investor luar dan lokal tidak berminat berinvestasi bukan karena Aceh tidak ada potensi sumber daya. Pemerintah Aceh sering abai terkait persoalan jaminan hukum, akuntabilitas birokrasi sangat rendah, dan instabilitas politik.
Kalau masih banyak terjadi praktik korupsi, pungli, sistem layanan perbankan bermasalah, gangguan politik-sosial jangan berharap investor masuk ke Aceh dan akan terbuka sektor industri jangka panjang.
Ketika industrialisasi berjalan, dipastikan semua akan berpengaruh kepada lintas sektor yang ada di Aceh. Demografis kerja berubah: menghasilkan tempat dan tenaga kerja beragam.
Lulusan universitas di Aceh hanya perlu dipersiapkan kualitas;kompetensi: hard skill dan soft skill. Kemudian mendapatkan sertifikasi pekerja agar diakui keilmuan dan profesionalitas di dunia kerja.
Harapan terjadinya industrialisasi di Aceh menjadi langkah solutif mengurangi angka pengangguran. Daripada generasi muda terdidik di Aceh banyak yang tidak memiliki pekerjaan, itu jauh lebih bermasalah dan fatal
Penulis adalah Alumni Magister Administrasi Publik UGM.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.