Salam
Pelajaran dari Gempa Maroko
Saida Bodchich sedang tidur di rumahnya di Kota Marrakesh, Maroko ketika gempa berkekuatan 6,8 skala Richter terjadi pada Jumat malam. Karena tidak d
Saida Bodchich sedang tidur di rumahnya di Kota Marrakesh, Maroko ketika gempa berkekuatan 6,8 skala Richter terjadi pada Jumat malam. Karena tidak dapat melarikan diri dengan cukup cepat, dia terjebak saat atap runtuh. Beruntung baginya, para tetangga datang menyelamatkannya dan menariknya keluar. "Saya diselamatkan oleh tetangga saya yang membersihkan puing-puing dengan tangan kosong," kata Bodchich. "Saya tinggal bersama mereka di rumah mereka sekarang karena rumah saya hancur total."
Namun, banyak di antaranya yang harus meregang nyawa. Hingga kemarin, lebih dari 2.012 orang tewas dan sedikitnya 2.059 orang terluka akibat gempa tersebut, yang juga menghancurkan bangunan bersejarah di Marrakesh, kota terbesar keempat di Maroko, sekitar 70 km dari pusat gempa.
Banyak penduduk di daerah yang terkena dampak kehilangan tempat tinggal akibat kehancuran tersebut, sementara banyak yang memilih untuk tidur di tempat terbuka pada Sabtu malam, karena takut akan gempa susulan atau atap yang rusak dan dinding yang runtuh.
Khadijah Satou, warga Marrakesh lainnya, merasakan kamarnya "berputar" saat dia mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. "Saya baru saja berada di tempat tidur dan bersiap untuk tidur ketika keadaan mulai terasa agak goyah," katanya kepada Al Jazeera. Itu sekelumit cerita yang dikisahkan wartawan Alazeera, di antara banyak kisah duka dalam peristiwa bencana alam itu.
Gempa Maroko ini mestinya menjadi pelajaran berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia, dimana pada tahun 2004 salah satu provinsinya, Aceh, dihantam gempa kuat dengan jumlah korban seratusan ribu orang. Ini perkiraan pada masa itu. Jumlah korban sesungguhnya tidak ada yang tahu, karena banyak keluarga korban yang tak melapor.
Gempa Maroko mengingatkan berbagai bangsa bahwa bencana itu bisa datang kapan saja. Untuk gempa bahkan belum ada ilmu pengetahuan yang bisa memprediksi kapan dan dimana terjadi. Yang bisa dilakukan manusia hanya berikhtiar, memohon pertolongan-Nya sekaligus memitigasi dengan ilmu pengetahuan.
Mitigasi bertujuan mengurangi risiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi (economy costs) dan kerusakan sumber daya alam.
Jepang sebagai salah satu negara di dunia yang sangat rawan gempa bumi, telah menunjukkan upaya mitigasi yang maksimal. Dalam banyak catatan dengan kekuatan gempa yang kuat, Jepang umumnya bisa memanimalisir jumlah korban jiwa dan harta benda. Jepang seakan 'bersahabat' dengan gempa dan bencana alam lainnya. Seperti halnya Jepang, menurut United States Geological Survey (USGS), Indonesia berada di zona seismik yang sangat aktif, dengan frekuensi gempa bumi terbanyak di dunia.
Aceh bahkan yang punya pengalaman pahit akibat gempa dan tsunami 2004. Gelombang tsunami yang menyapu pesisir Aceh pasca gempa dangkal berkekuatan M 9,3 itu punya dampak besar, dan masih dirasakan hingga hari ini.
Mestinya, dengan pengalaman pahit seperti itu, Pemerintah harus berbuat lebih mensosialisasikan aspek mitigasi bencana kepada masyarakat. Hanya dengan begitulah dampak gempa itu bisa dikurangi. Anak-anak sekolah harus diberikan pemahaman sejak dini apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi. Simulasi-simulasi harus digelar. Namun faktanya, upaya sosialisasi tentang mitigasi bencana masih amat minim. Padahal, pendidikan mitigasi bencana di sekolah sejak dini akan membantu siswa dalam memahami pengetahuan kebencanaan, sikap dalam menghadapi bencana alam, dan mengetahui cara alternatif dalam upaya mitigasi.(*)
POJOK
Banyak pengendara di Aceh Utara tak pakai helm
Yang penting mereka bawa dompet, pak ya
BRIN ngaku tak ada urusan dengan politik praktis
Tapi, Ketua Dewan Pengarah BRIN pimpinan Parpol kan
Nikita Mirzani tak mau huru-hara lagi
Mudah-mudahan insaf benaran
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.