Opini
Peran BPK Memberantas Korupsi di Sektor Konstruksi
Hal ini dapat menjadi bukti awal atau dasar untuk penyelidikan lebih lanjut oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), apab
Nadia SE MSi, Alumnus Magister Akuntansi Universitas Syiah Kuala saat ini bekerja di salah satu Lembaga Independen Negara
BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan Lembaga Independen Negara yang memiliki kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga lain yang mengelola keuangan negara.
Melalui pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu, sebagaimana Pasal 23 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, BPK juga mempunyai peran penting dalam memberantas tindak pidana korupsi. BPK dapat menghitung, menilai, dan/atau menetapkan kerugian negara atas penggunaan anggaran oleh suatu entitas.
Korupsi merupakan salah satu isu yang tidak pernah terlepas dalam tubuh birokrasi.
Praktik tersebut sangat sulit dihilangkan karena penyelewengan ini pada umumnya melibatkan banyak pihak yang memiliki kekuasaan penting dalam sektor pemerintahan. Korupsi yang terus terjadi tentu akan berakibat fatal pada kesejahteraan masyarakat. Uang publik yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan pelayanan telah dipergunakan untuk kepentingan oknum-oknum tertentu.
Berdasarkan laporan Indonesian Corruption Watch (ICW), kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan korupsi mencapai Rp 42,747 triliun atau sekitar 579 kasus sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu 533 kasus.
Sektor konstruksi
Sektor jasa konstruksi merupakan pilar utama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia yang memegang peranan penting dorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan sebagai landasan untuk meningkatkan daya saing di tengah pesatnya persaingan global saat ini. Urgensi keberlanjutan pembangunan infrastruktur semakin dirasakan di tengah meningkatnya persaingan ekonomi antarkawasan, karena dengan membangun infrastruktur sama halnya dengan membangun masa depan sebuah peradaban. Sebab, dapat berperan sebagai stimulus untuk menggerakkan beragam aktivitas ekonomi.
Adapun isu yang saat ini kerap diperbincangkan di kalangan masyarakat adalah kasus korupsi yang terjadi di PT Waskita Karya (Persero) Tbk, salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di Bidang Konstruksi. BUMN selaku penerima modal dari pemerintah, tentu mengelola dana dalam jumlah yang cukup besar untuk menjalankan usahanya.
Besarnya dana yang dikelola ini membuka celah atau kesempatan bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan penyelewengan anggaran secara sistemik dengan orientasi untuk memperkaya dirinya sendiri. Kasus korupsi Waskita Karya ini merupakan salah satu kasus korupsi terbesar yang terjadi di Indonesia.
Kasus ini melibatkan sejumlah petinggi dan pegawai Waskita Karya, serta pihak swasta. Modus operandi kasus korupsi Waskita Karya adalah dengan menggunakan skema Supply Chain Financing (SCF) yang merupakan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada perusahaan untuk membayar tagihan kepada pemasok.
Dalam kasus ini, para tersangka diduga melakukan penyimpangan penggunaan dana SCF dengan membuat dokumen palsu dengan alasan untuk pembayaran utang-utang Waskita Karya, padahal dana tersebut digunakan untuk membangun sejumlah proyek fiktif.
Tentu hal ini terus membuat kondisi keuangan perusahaan ini semakin runyam di tengah beban utang yang juga terus meningkat. Kasus korupsi Waskita Karya pertama kali terungkap pada tahun 2019. Saat itu, KPK menetapkan dua tersangka, yaitu Fathor Rachman selaku Kepala Divisi II PT Waskita Karya dan Yuly Ariandi Siregar selaku Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya.
Kedua tersangka diduga telah melakukan korupsi pada 14 proyek fiktif di PT Waskita Karya. Kasus korupsi Waskita Karya kemudian terus dikembangkan oleh KPK. Pada tahun 2023, KPK kembali menetapkan sejumlah tersangka, termasuk Destiawan Soewardjono selaku Direktur Utama PT Waskita Karya. Destiawan diduga telah menyetujui pencairan dana SCF dengan dokumen palsu. Hingga saat ini, kerugian negara imbas dari korupsi Waskita telah mencapai lebih dari Rp 2,5 triliun. Kerugian ini berpotensi dapat terus bertambah dalam proses penyidikan lebih lanjut.
Peran BPK
BPK sebagai lembaga negara yang diberi mandat oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara menjadi begitu penting dan strategis. BPK memiliki peran kunci dalam upaya memberantas korupsi di sektor keuangan dengan mengidentifikasi, mengungkap, dan mencegah tindakan korupsi yang terjadi dalam pengelolaan dana publik. BPK selain memberikan opini, juga menyampaikan hasil pemeriksaannya secara terperinci dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Pada LHP diungkapkan semua permasalahan yang ditemui BPK dan menjadi exposures bagi entitas termasuk pejabat dan pegawai yang melakukan penyimpangan pengelolaan keuangan negara.
Hal ini dapat menjadi bukti awal atau dasar untuk penyelidikan lebih lanjut oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), apabila ditemukan indikasi tindak pidana yang merugikan keuangan negara, khususnya korupsi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.