Kupi Beungoh

Pak Kun, Integritas, dan Keberuntungan Aceh – Bagian II

Di tengah kompleksitas kordinasi berbagai pemangku kepentingan, dan status darurat milter tak membuat Kuntoro gentar.

Editor: Zaenal
KOMPAS/Lucky Pransiska
Kuntoro Mangkusubroto 

Untuk kunjungan wisatawan apalagi pekerja reguler, urusan seperti itu dianggap biasa.

Tetapi jika standar itu diberlakukan kepada pekerja kemanusian untuk mengurus “mega bencana” seperti itu, seharusnya lembaga yang menangani membuat terobosan tersendiri.

Baca juga: Mantan Kepala BRR Aceh Kuntoro Mangkusubroto Meninggal Dunia, Sosok di Balik Pemulihan Pasca Tsunami

Kuntoro membuat improvisasi, tepatnya inovasi dalam hal visa.

Hasilnya ada jenis visa baru di Indonesia.

Namanya “visa on location”, bukannya visa on arrival yang hanya untuk keperluan wisatawan saja.

Seperti pernah diceritakan kepada beberapa media, dengan izin Kuntoro, hanya sekedar melalui email seorang pekerja kemanusian di belahan bumi Eropa, akan keluar visa kerjanya hanya dalam hitungan satu hari saja.

Atas penglaman itu akhirnya BRR membangun sendiri “one stop shop” kantor satu atap untuk pergurusan imigrasi, bea cukai, dan keperluan lain yang berurusan dengan  kelancaran kinerja BRR yang terkait bukan wilayah “non domestik”.

Ini adalah bukti betapa perlunya terobosan-terobosan dari model pikiran “out of the box” yang ditekuni dan diperkenalkan oleh Kuntoro, utamanya dalam menangani kawasan bencana.

Kuntoro telah berhasil membangun sebuah “birokrasi mega bencana” yang efisien.

Pembangunan “partisipatif” adalah sebuah konsep yang kemudian dijadikan “jargon” pembangunan.

Ini seakan menjadi ayat kitab suci yang wajib diamalkan oleh banyak kalangan, terutama birokrat pemerintah.

Enak dihapal, namun sulit dilakukan adalah kalimat pamungkas untuk menyimpulkan realitas pembangunan sehari-hari, di desa, di kota, dan dimana-mana tentang partisipasi itu.

Hal inilah yang sangat tidak diharapkan Kuntoro terjadi dalam penanganan rehab-rekon di bawah komandonya.

Kuntoro tahu disamping pendekatan participatory itu ideal, karena menempatkan korban tsunami sebagai subjek, bukan objek pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Ia juga sangat hapal semua donor, baik negara maupun nonnegara, mensyaratkan proses partisipatif dalam proses rehab-rekon yang dilakukan BRR.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved