Opini
Syair Tauhid Hamzah Fansuri
Katanya "Pada jamannya pula tidak ada yang mampu menandingi Hamzah Fansuri dalam kesusastraan. Karya-karyanya berpengaruh besar dalam gaya maupun tema
Syah Reza, Penggiat diskursus filsafat dan peradaban di Islamic Institute of Aceh
KEMASYHURAN nama Hamzah Fansuri ibarat harumnya mawar dalam tangkainya berduri. Di satu sisi ia disanjung karena kontribusinya sebagai tonggak bagi perkembangan tasawuf di dunia melayu. Di sisi lain mendapat kecaman karena ajarannya dianggap menyimpang dari tauhid oleh ulama setelahnya, yaitu Nuruddin Ar-Raniry.
Fenomena demikian bukanlah sesuatu yang ganjil. Tokoh berpengaruh cenderung dilingkupi dengan dua hal tersebut, dikagumi dan dikritik, disanjung sekaligus dimusuhi. Hatta nabi yang maksum dari kesalahan sekalipun, juga berada di antara Abu Talib yang setia membelanya, dan Abu Lahab yang selalu memusuhinya. Apatah lagi hanya seorang ulama sufi asal Fansur Aceh Singkil itu, kritikan dari pihak lain akan mudah sekali terjadi.
Jika dilihat dari sisi kemasyhuran, Hamzah dikenal sebagai penyair ulung dan juga guru sufi. Pengaruhnya terbilang cukup mengakar pada dua aspek tersebut. Sebagian besar karyanya yang tersebar berbentuk syair seperti Muntahi, syair Dagang, syair Perahu, syair Burung Pingai, dan sebagian lain dalam bentuk pengajaran tasawuf. Karya-karya itu yang kemudian membuat pemikirannya banyak dikaji hingga ke dunia Barat.
Sarjana Barat cukup mengagumi kedalaman sastra dalam syair gubahannya. Hal itu tampak dari minat mereka menulis tentang pemikiran Hamzah terutama di akhir abad ke-20. Di antara karya orientalis itu, seperti, G.W.J Drewes dan L.F Brakel dengan karya The Poems of Hamzah Fansuri, John Doorenbos yang mengkaji prosa sastra Hamzah Fansuri dalam karyanya De Geschriften van Hamzah Pansoeri, Claude Guillot dan Ludvik Kalus dengan karya La Stele Funeraire de Hamzah Fansuri, dan banyak lain.
Begitu juga di nusantara yang tak terhitung jumlah pengkajinya. Atas kontribusi Hamzah di panggung sejarah, secara kolektif para sarjana sepakat menyematkan Hamzah Fansuri sebagai Bapak Sastra Melayu modern.
Syed M. Naquib Attas dalam karya fenomenal The Mysticism of Hamzah Fansuri tidak hanya menyebut Hamzah sebagai pujangga terbesar Melayu abad 17 yang tiada taranya, tetapi juga mengapresiasi kontribusi guru sufi yang hidup masa Sultan Iskandar Muda itu dalam jejak keilmuan melayu.
Katanya "Pada jamannya pula tidak ada yang mampu menandingi Hamzah Fansuri dalam kesusastraan. Karya-karyanya berpengaruh besar dalam gaya maupun tema terhadap sastra Melayu berikutnya."
Tak berhenti pada hal itu, Hamzah juga kerap disejajarkan dengan maestro sastrawan sufi dunia yang masyhur pada abad pertengahan seperti Sa'di Syirazi dengan karyanya Ghulistan, Omar Khayyam dengan Rubai'at, dan Fariduddin Attar dalam Karya alegoris berbentuk hikayat yaitu Manthiq At-Thair, hingga Jalaluddin Rumi dengan magnum opusnya Matsnawi. Keseluruhan syair-syair gubahan Hamzah Fansuri berisi tentang ajaran tauhid, petuah agama dan panduan menjalani kehidupan menuju Tuhan secara ideal. Seperti salah satu bait dalam syair Burung Unggas berikut;
Mahbubmu itu tiada berhasil,
Pada ainama tuwallu jangan mau ghafil,
Fa samma Wajhullah sempurna wasil,
Inilah jalan orang kamil.
Kekasihmu dlahir terlalu terang,
Pada kedua alam nyata terbentang,
Ahlul Makrifah terlalu menang,
Wasilnya daim tiada berselang.
Hempaskan akal dan rasamu,
Lenyapkan badan dan nyawamu,
Pejamkan hendak kedua matamu,
Di sana lihat peri rupamu.
Sepintas beberapa bagian dari syairnya rumit dipahami. Tetapi bagi yang punya basis ilmu tasawuf dan tauhid akan mampu menjangkau makna metafor yang berada di balik gubahannya. Dan terasa bahwa karyanya bukanlah ekspresi bebas layaknya seniman temporer.
Kedalaman spiritual terpancar kuat dibalik bait-bait yang ia susun dengan irama beraturan gaya rubai'at itu. Begitu juga pada pemilihan kosakata Arab Islam yang tepat, bukti bahwa Hamzah tampak tidak hanya memahami betul struktur bahasa Arab tetapi juga memiliki samudera intuisi yang luas.
Kontroversi syair
Selain syair, ajaran tasawufnya juga banyak dituangkan dalam Asrarul Arifin, Sharabul Ashiqin, Zinatul Muwahhidin, dan beberapa yang lainnya. Dalam karya itu memuat pengajaran tauhid tertinggi, yang menjadi ciri khas dari corak tasawuf abad ke-17. Pengaruhnya itu mengakar kuat dalam pengamalan agama di pemerintahan dan masyarakat Aceh setidaknya hingga 2 abad pasca ia wafat.
Ajaran tauhid yang dikembangkan oleh Hamzah dan pengikutnya memang kental dengan nuansa tasawuf wujudiyah. Istilah wujudiyah muncul dalam karya Nuruddin Ar-Raniry, seorang ulama asal India yang menjadi Qadhi pada masa Sultan Iskandar Tsani dan Sri Ratu Safiatuddin. Ia menisbahkan istilah itu kepada kalangan sufi yang berpaham wahdatul wujud di Aceh.
Dalam karyanya Hujjat As-siddiq li Daf'i Adz-dzindiq, Nuruddin memasukkan hamzah dalam paham wujudiyah mulhidah (sesat) disebabkan oleh beberapa ajarannya yang diklaim mengandung paham pantheistik, yaitu bersatunya wujud Tuhan dengan wujud alam (hulul). Seperti bunyi bait dalam syair perahu;
Dengarkan sini hai anak ratu.
Ombak dan airnya asalnya satu.
Seperti manikam muhith dengan batu.
Inilah tamsil engkau dan ratu.
Secara tekstual, syair tersebut mengandung makna persatuan Tuhan dan hamba terutama pada bait kedua (ombak dan airnya asalnya satu). Namun, jika didekati menggunakan konsepsi tasawuf, Hamzah membangun argumentasi Tauhid yang cukup jelas. Ia berusaha menjelaskan penegasian Tuhan dari makhluk yang dikenal dengan istilah Tanzih (transedensi), sekaligus membenarkan Tasybih (immanensi) Tuhan atas makhluk secara hakikat, bukan pada wujud lahiriyah yang sering disalahpahami.
Justru Nuruddin menggunakan sudut pandang ilmu Kalam yang membagi wujud itu pada dua yaitu wujud Tuhan dan makhluk, sehingga ia memahami syair hamzah dengan perspektif kalam yang bertumpu pada penalaran lahiriah teks. Maka, konsekuensinya jelas akan tampak seakan Hamzah mengakui persatuan Tuhan dan makhluk secara hakiki. Padahal, tidaklah demikian yang dimaksudkan Hamzah.
Penjelasan Hamzah Fansuri atas prinsip Tauhidnya itu terdapat dalam karya lain, seperti Zinatul Muwahhidin. Ia menjelaskan ajaran Tauhid dengan sangat lurus sebagaimana yang diyakini oleh mazhab masyarakat Aceh yaitu Ahlussunnah. Katanya;
"Allah Subhanahu wa Ta'ala tiada bercherai dengan 'alam. Tiada di dalam alam, di luar alam, dan tiada di atas alam, tiada di hadapan alam, tiada di belakang 'alam, tiada bercherai dengan alam dan tiada bertemu dengan alam, tiada hampir (dekat) dengan alam, tiada jauh dengan alam." Seperti yang dikatakan Imam Junaid Al-Baghdadi juga, "Huwa-l ana kama kana." Dia sekarang sebagaimana Ia terdahulu." Dan Firman Allah, "Subhanallahi 'amma yasifun."
Merujuk pada argumentasinya di tempat lain, Nuruddin meyakini bahwa konsepsi wujud dalam tasawuf itu lebih benar secara hakikat, dan tidak ada pertentangan dengan pandangannya tentang Tauhid. Tetapi, kasus fatwa dzindiq terhadap ajaran Hamzah Fansuri menjadi tanda tanya banyak kalangan, termasuk Syed Naquib Al-Attas mempertanyakan motif serangannya pada paham wujudiyyah.
Karena dampak atas tahkim tersebut melegitimasi sikap politik pemerintah saat itu untuk mengejar pengikut wujudiyah, serta karya-karya yang berafiliasi pada ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani dibakar, dan dimusnahkan. Sebuah catatan kelam dalam sejarah intelektual di kawasan melayu.
Peristiwa bibliosida itu juga disesali oleh Ali Hasyimi, katanya, "Dan amat disayangkan, oleh karena adanya permainan politik yang haus kekuasaan itu, telah menyebabkan musnahnya sekian banyak karya-karya yang berharga dari kedua Ulama Besar abad XVII ; Syekh Hamzah Fansury dan Syekh Syamsuddin Sumatrani." Andai saja karya-karya itu tidak dibumihanguskan, mungkin Aceh masih menjadi poros khazanah keilmuan Islam di Asia.
Hari ini jejak pemikiran Hamzah masih membekas dalam ekspresi seni, tarekat sufi, dan sebagian dalam pendidikan Aceh. Tetapi yang disayangkan, minim sekali yang mengkaji secara mendalam pemikirannya. Padahal pemikirannya, telah menjadi bagian dari falsafah hidup masyarakat Aceh dan dunia Melayu secara luas yang selalu bertumpu pada tauhid dalam menyikapi realitas hidup.
Milad UIN Ar-Raniry: Mengawal Nilai Keislaman dalam Kurikulum |
![]() |
---|
Rotasi Birokrasi Era Disrupsi: Bukan Kursi, tapi Motivasi |
![]() |
---|
Infrastruktur Pariwisata Bernapaskan Syariat untuk Kemakmuran Aceh |
![]() |
---|
Tubuh Kurus di Tengah Piring Penuh karena Cacingan dan Ketimpangan Gizi Anak Indonesia |
![]() |
---|
Dari Meunasah ke Meja Makan, Menyatukan Sosial, Perilaku, Lingkungan, & Gizi demi Generasi Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.