Kupi Beungoh
Lima Tesis tentang Posisi Tawar Aceh setelah Pemilu
Dengan penataan diplomasi dan komunikasi tersebut, dapatlah menjadi salah satu bentuk dari pentingnya posisi tawar Aceh nantinya
Oleh Muhammad Alkaf*)
Jabal Ali Husin Sab dalam kolom ini (27/3/2024) memberi pandangan bahwa Teuku Riefk Harsya depat menjadi jembatan posisi tawar Aceh di hadapan Prabowo Subianto kelak.
Alasan yang saya tangkap antara lain karena partai Demokrat menjadi anggota koalisi Prabowo pada Pilpres lalu.
Atas alasan itu juga, seperti yang ditulis Jabbal, Prabowo menyebut nama Riefky dalam pidato kemenangannya.
Saya tidak mendebat keyakinan Jabbal itu. Bahkan, dalam percakapan pribadi setelah tulisannya dirilis, pada titik tertentu saya bersepakat dengannya bahwa Aceh kehilangan orang yang bisa menjembatani kepentingan Aceh di Jakarta secara baik selama ini.
Dalam tulisan ini, saya hendak mengajukan beberapa tesis posisi tawar Aceh di hadapan pemerintah baru nantinya.
Tesis ini saya munculkan karena kita terjebak dalam mitologi sisifus tentang hubungan Aceh dengan Jakarta yang tidak pernah selesai sejak lama.
Hubungan yang tidak hanya pasang-surut, melainkan juga panas-dingin. Dalam imajinasi orang Aceh, wilayahnya harus dihormati.
Baca juga: Pidato Kemenangan Prabowo, Teuku Riefky dan Nilai Tawar Aceh terhadap Pusat
Tentu saja hal itu dikarenakan kontribusinya dalam sejarah untuk negara ini, selain tentang duka yang datang dari masa lalu pada saat konflik bersenjata.
Sedangkan bagi pihak Jakarta, Aceh merupakan wilayah yang harusnya seperti provinsi lainnya di Indonesia: tunduk dan taat pada setiap titah.
Dari dua kondisi kosmik itu pulalah tesis mengenai posisi tawar Aceh saya susun.
Pertama, kita sepertinya harus mengamini pernyataan Muzakkir Manaf yang terlihat jengkel dengan angka yang diraih oleh Prabowo di Aceh pada Pilpres lalu.
Angka yang ditafsirkan oleh Muzakkir seperti membuat Aceh “mendorong mobil tanpa mesin.”
Muzakkir seperti menyadari bahwa lidahnya akan kelu ketika berbicara di depan Prabowo mengenai kepentingan Aceh karena kekalahan telak presiden terpilih itu dari Anies Baswedan.
Posisi Aceh demikian, dalam tafsir Muzakkir Manaf, membuat sulit untuk dibicarakan di lingkaran istana nantinya. Ada hambatan psikologi yang nantinya akan muncul.
Baca juga: VIDEO Kabinet Indonesia Maju Adakan Bukber di Istana, Jokowi Duduk Satu Meja dengan Prabowo
Walaupun, saya tidak terlalu yakin bahwa hal itu akan terjadi, mengingat tipikal Prabowo Subianto yang dari unsur tentara sehingga dianya akan memahami dengan betapa pentingnya Aceh dalam hamparan wawasan Nusantara ini.
Kedua, perlu adanya artikulasi politik yang jernih dari wakil-wakil Aceh yang duduk di Senayan, baik dari anggota legislative, maupun perwakilan daerah.
Kita harus menyampaikan kritik lugas bahwa masa-masa sebelumnya, kecuali era penyusunan Undang-Undang Pemerintah Aceh, bahwa wakil-wakil rakyat di sana belum menampilkan performa dengan baik.
Hal tersebut ditunjukkan dengan terkejutnya kita menerima kabar dari Jakarta tentang poin-poin yang belum tuntas dari kesepakatan politik dan hukum yang sudah ada.
Wakil rakyat yang artikulatif itu penting untuk menjelaskan posisi tawar Aceh di depan pemerintahan baru nantinya. Jangan sampai, wakil rakyat ada secara status, tetapi raib ketika diperlukan.
Ketiga, ini poin yang tidak kalah penting, car akita di Aceh menampilkan wajah ke pubik nasional juga harus diubah. Tidak perlu terus menerus kita menampilkan wajah sengit dan suara keras menyala.
Saya mengambil contoh tentang kegemparan yang disebabkan oleh penyataan Pangliman TNI mengenai Partai Aceh sebagai wadah yang dapat memicu konflik pada pelaksanaan Pilkada 2024 nantinya.
Pernyataan yang terus terang mengejutkan, lalu tidak lama complain pun berdatangan dari Aceh. Saya tentu dapat memahami bantahan yang disampaikan, terutama oleh Partai Aceh.
Baca juga: Lima Tahun Terakhir Otsus Tantangan dan Harapan
Namun, pokok pikiran lain yang hendak saya sampaikan disini adalah bukankah kita juga bisa menampilkan wajah komunikasi dan diplomasi yang berbeda.
Padahal kefasihan berdiplomasi dan berkomunikasi merupakan tradisi kita sejak masa lalu.
Dengan penataan diplomasi dan komunikasi tersebut, dapatlah menjadi salah satu bentuk dari pentingnya posisi tawar Aceh nantinya.
Keempat, memperkuat kembali kepentingan daerah di level wacana dan gerakan. Harus ada sinergi di antara seluruh elemen masyarakat Aceh.
Jangan sampai pihak Jakarta telah melihat bahwa Aceh kini bukan lagi satu entitas yang satu.
Oleh karena itu, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dari berbagai unsur. Kepemimpinan yang memperlihatkan bahwa Aceh bukanlah wilayah tanpa nahkoda sehingga bisa diobrak-abrik sekena hati.
Baca juga: Apakah Sah Puasa Kalau belum Mandi Junub hingga Lewat Waktu Subuh, Ini Penjelasan Buya Yahya
Kelima, tetap menjadikan dunia internasional sebagai kawasan yang lekat dengan bangunan berpikir dan mentalitas orang Aceh.
Bahwa bertemu dan bercakap-cakap dengan bahasa dan suasana internasional bukanlah hal yang asing, melainkan sesuatu yang jamak karena sudah diwariskan sejak berdekade lalu.
Dengan menjalankan lima tesis di atas, kita berkeyakinan posisi tawar Aceh tidak hanya penting di mata pemerintahan yang baru, tetapi juga tetap menjadi prioritas utama.
*) PENULIS adalah Dosen IAIN Langsa
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.