Jurnalisme Warga

Bergiat di Kebun Sawit Sambil Menunggu Waktu Wisuda

Joko Supriyono, saat memberikan sambutan pada pembukaan Rapat Kerja Cabang Gapki Aceh di Sabang, 22 November 2021, berkisah bahwa dari kebun Sungai Li

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
PIPI MURFIZA, Mahasiswi Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, melaporkan dari Aceh Jaya 

Oleh: Pipi Murfiza, Mahasiswi Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, melaporkan dari Aceh Jaya

ACEH dikenal sebagai daerah yang memiliki berbagai keindahan alam, juga keberagaman budaya dan bahasa. Sumber daya alam dan tumbuh-tumbuhan yang dimiliki provinsi ini pun sangat banyak. Terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta hektare (ha) dan di kawasan Ulu Masen, bagian utara wilayah Aceh, sekitar 738.856 ha.

Aceh memiliki sejarah panjang tentang sawit, di samping karet, sejak masuknya Kolonial Belanda. Sawit secara komersial pertama kali dibudidayakan di kebun Sungai Liput, Aceh Tamiang, tahun 1911, disusul di Lae Butar, Singkil, tahun 1933.

Joko Supriyono, saat memberikan sambutan pada pembukaan Rapat Kerja Cabang Gapki Aceh di Sabang, 22 November 2021, berkisah bahwa dari kebun Sungai Liput di Tamiang, selanjutnya kebun sawit komersial menyebar ke wilayah Aceh lainnya.

Baca juga: Perkebunan Sawit dan Masyarakat Saling Membutuhkan, Dr Ismadi: di Aceh Sudah Serap 578 Ribu Pekerja

Kelapa sawit (Elaeis guinensis jack) ini tergolong tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia tahun 1848, dibawa dari Mauritius, Amsterdam, oleh seorang warga Belanda. Masyarakat Aceh alhamdulillah semakin hari semakin banyak membudidayakan kelapa sawit.

Bicara kelapa sawit otomatis ikut terbicarakan tentang pengalaman hidup keluarga saya.

Saya berasal dari keluarga yang sederhana, dari keluarga petani. Orang tua saya yang dulunya memang seorang yang kurang mampu secara finansial, kegiatannya sehari-hari adalah bertani.

Hari demi hari dan masa demi masa berganti, orang tua saya fokus bercocok tanam biji sawit hingga jadi bibit dan laku dijual. Syukur alhamdulillah, sampai sekarang kami sekeluarga bisa menikmati hasilnya walau tidak banyak.

Bercocok tanam sawit sebetulnya tidaklah terlalu susah, juga tidak terlalu mudah. Dari pengalaman yang saya lihat di kampung saya, Aceh Jaya, banyak warga setempat bisa mengola bibit sawit hingga sampai bisa ditanam.

Dikutip dari Disbun Kaltimprov, cara menumbuhkan kecambah atau bibit sawit adalah dengan dimasukkan ke dalam polybag 12 x 35 cm atau 15 x 23 cm. Polybag tersebut diisi dengan tanah lapisan atas yang telah diayak sekitar 1,5–2,0 kg. Kecambah sawit atau bibit sawit lalu ditanam ke dalam polybag yang telah berisi tanah sedalam 2 cm.

Jangan lupa mengecek agar tanah di dalam polybag selalu dalam keadaan lembab. Jika tanahnya kering, kecambah bibit tidak akan dapat tumbuh dengan baik.

Kemudian, polybag disimpan pada bedengan berdiameter 120 cm. Setelah disimpan dan dirawat sekitar 3-4 bulan, kecambah bibit tersebut telah tumbuh daunnya sekitar 4-5 helai. Bibit yang telah berdaun 4-5 helai telah siap untuk dipindahtanamkan.

Kemudian, bibit dari pendederan tersebut dipindahkan ke polybag setebal 0,11 mm yang berukuran 40 x 50 cm. Polybag tersebut diisi dengan tanah lapisan bagian atas yang telah diayak sebanyak 15–30 kg.

Sebelum bibit dipindahkan, tanah pada polybag disiram terlebih dahulu menggunakan 0,5 tutup botol POC NASA atau 5 ml per 1 liter air. Kemudian polybag diatur ke posisi segitiga sama sisi dengan jarak antarpolybag 90 x 90 cm.

Ketika proses pembibitan, lakukan perawatan tanaman berupa penyiraman, penyiangan, penyulaman, dan pemupukan. Penyiraman dilakukan dua kali sehari setiap pagi dan sore. Penyiangan dilakukan dua sampai tiga kali dalam sebulan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved