Opini

Dayah Sebagai Pemantik Kebangkitan Aceh

Dalam konteks Aceh, dayah belakangan ini mengalami perkembangan yang begitu pesat melalui integrasi pendidikan agama dan pendidikan umum dengan membuk

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk Mukhtar Syafari MA, alumnus Dayah MUDI dan Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI) Samalanga serta seorang pemerhati politik. 

Melalui UNISAI diharapkan lahir lulusan berwawasan luas dan pengetahuannya terintegrasi dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Seperti ekonomi, pertanian, politik, sosial, kebudayaan, administrasi, pemerintahan, teknik, kedokteran dan disiplin ilmu lainya untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang makmur dan sejahtera secara berkeadilan dalam naungan syariat. Tidak hanya MUDI, seribuan dayah lainnya juga akan melahirkan generasi yang ilmunya terintegrasi.

Ketua Umum Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab yang akrab dikenal dengan panggilan Ayah Sop dalam satu wawancara dengan salah satu TV lokal belum lama ini mengatakan: *Kita memiliki potensi sumber daya manusia (SDM) dan juga potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah tapi kita belum bisa menggunakan potensi kultural (syariat Islam) sehingga dua potensi sebelumnya tidak bisa kita manfaatkan dengan baik untuk kepentingan agama dan kesejahteraan ummat.”

Peran ulama

Peran ulama harus berfungsi sebagaimana yang telah didelegasikan oleh Rasulullah, termasuk sebagai pemimpin. Kita berharap akan lahir kembali tokoh pemimpin dari dayah sebagai pemantik dan pelopor kebangkitan menuju kejayaan Aceh. Gagasan memberikan kesempatan bagi orang alim (ahli agama) menjadi pemimpin Aceh terus bergulir menjelang Pilkada 2024.

Sudah terjawab secara jelas bahwa; Islam mensyaratkan seorang pemimpin harus ahli agama sebagaimana ditulis para ulama dalam berbagai kitabnya. Dalam konteks sejarah Aceh juga demikian sebagaimana tertulis dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi bahwa seorang pemimpin disyaratkan alim perintah agama dan Qanun negeri (baca: Saatnya Ulama Memimpin Aceh, Serambinews 19/5/2024).

Dikotomi peran ulama hanya bidang pendidikan agama merupakan tindakan penyempitan pengetahuan Islam. Imam Al Mawardi (w. 450 H) dalam kitabnya Ahkam Assultaniah menyebutkan bahwa kepemimpinan menurut Islam ditempatkan untuk mengganti posisi kenabian, baik dalam menjaga agama maupun mengurus dunia. Dan ini juga diperkuat oleh pernyataan Imam Al Ghazali dengan menulis agama adalah fondasi (dasar) dan kekuasaan (kekuatan politik) adalah penjaganya. Suatu yang tidak ada fondasi akan rapuh dan sesuatu yang tidak ada penjaga maka akan hilang (al Iqtishad fi al I’tiqad: 199).

Ulama sebagai penerima waris dari Nabi sangat tepat menggantikan posisi Nabi dalam menjaga agama dari kerusakan dan mengatur kemaslahatan dunia. Kepemimpinan ulama yang telah tereliminasi oleh pengaruh paham sekuler mesti dioptimalkan kembali.

Ulama karismatik Aceh, Abu Syekh H. Hasanoel Basry HG (Abu MUDI Samalanga) menyebutkan dalam buku Ulama dan Politik Meyongsong Aceh Baru hlm. 47 bahwa selain fungsi dakwah dan pendidikan, ulama saat ini harus menambah fungsi kepemimpinan. Artinya para ulama harus berpikir dan bertindak sebagai pemimpin Aceh masa depan.

Ulama harus berani mengambil peran yang begitu penting untuk memimpin Aceh ke depan. Masyarakat Aceh harus kembali memberikan kepercayaan kepada orang alim untuk memimpin Aceh sebagaimana kejayaan Aceh di masa silam. Sepatutnya kita menunggu keikhlasan dan kerendahan hati para pimpinan partai politik untuk mendukung dan mendampingi ulama diusung sebagai pemimpin Aceh ke depan. Allah tidak akan merubah nasib negeri kita kalau kita sendiri tidak mengubahnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved