Kupi Beungoh
Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 : Aceh-Jakarta, Paradigma Aceh Pungo, Jawa Sopan - Bagian XX
Dalam kluster jarak kekuasaan rendah pembicara dan lawan bicaranya tahu bahwa kata-kata itu berarti persis seperti apa yang mereka katakan.
Salah satu akar utama egaliter masyarakat Aceh berasal dari fakta sosiologis ini, yang menyatakaan, “kami rakyat” tidak berbeda jauh dari ‘kalian” para elitę kekuasaan dań ułama, ketika kami dihadapkan dengan kehormatan dan agama.
Apa artinya ini semua ? Ingatan bawah sadar rakyat Aceh yang kemudian mengumpal menjadi fakta kultural adalah, bahwa Aceh ini milik semua, ada rakyat dan ada elit, tanpa pemeringkatan yang menononjol kecuali “sedikit” tanda dan rasa hormat kepada pemimpin.
Refleksi akar egaliter Aceh menjadikan komunikasi dalam melaksanakan pemerintahan harus dilakukan dengan cara Aceh.
Secara kultural ini adalah komunikasi konteks rendah. Yang dimaksud adalah model komunikasi yang bersifat langsung, apa adanya, lugas tanpa berbelit-belit atau yang biasa kita kenal dengan cara bicara blak-blakan. Tepatnya bicara “to the point” dan tidak ada basa-basi.
Memang, sekalipun untuk ketiga mereka, model komunikasinya dapat digeneralisasikan , namun setiap mereka mempunyai keunikan tersendiri.
Muzakir dan Ibrahim mempunyai banyak kemeripan dalam hal sopan santun, dan ketika saatnya keras, dan kasar. Hasymi jarang bahkan tidak menggunakan kata, dan bahkan ekspresi, tetapi ia akan bertindak dengan sangat lugas dan tegas.
Dalam komunikasi konteks rendah, pada kepemimpinan Aceh, tak jarang melekat istilah “tungang” yakni komunikasi tahan banting dengan menggunakan jargon-jargon yang merefleksikan kasar, dan bahkan sangat kasar.
Sang pemimpin tidak pernah menyembunyikan apa yang dimaksudkannya kepada bawahannya, ataupun kepada rakyatnya. Lagee crah meunan beukah- sampaikan asli apa adanya, adalah rangkuman istilah blak-blakan.
Komunikasi pemimpin Aceh yang disebut “tungang”, bahkan menggunakan istilah “aceh pungo”- aceh gila, “pue yang katem kutem,”- apa yang kau mau aku mau- “ pat kapreh”, -dimana kau tunggu “ pue galak kah, get na brok chit lee?- kau boleh suka apapun, cara baik ada, cara buruk pun tak kurang.
Semua istilah itu dapat dimengerti, karena kadang bahasa isyarat tak cukup, dan ketika sampai pada sebuah titik tertentu dinyatakan dengan lugas, baik dalam kata , nada, maupun ekspresi.
Menariknya, Hasymi ,Muzakir dan Ibrahim memang sangat sopan dan bersahaja, tetapi ketika sampai pada sebuah titik, berbagai kata, nada, bahasa tubuh akan benar-benar eksplosif.
Namun harap diingat, semua itu hanya berlaku di Aceh dalam konteks Aceh.
Mereka perkasa, bahkan sangat perkasa dengan kompetensi komunikasi Acehnya yang mumpuni. Semua keperkasaan dan “tungang” dalam komunikasi mereka di Aceh dengan sangat sadar mereka tanggalkan ketika mereka mendarat di Jakarta.
Mereka sangat sadar akan status mereka baik sebagai kepala daerah, maupun sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Mereka tahu apa arti “relasi kekuasaan” antara yang diatas dan yang dibawah.
Pada masa itu mereka- Hasymi, Muzakir, dan Ibrahim- belum membaca buku-buku hebat yang menjelaskan perspektif kebudayaan dalam kekuasaan dan relasi kekuasan nasional yang secara “defacto” hanya dapat dimengerti dalam konteks “budaya jawa”.
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam |
![]() |
---|
Kampung Haji Indonesia dan Wakaf Baitul Asyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.