Kupi Beungoh

Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 : Aceh-Jakarta, Paradigma Aceh Pungo, Jawa Sopan - Bagian XX

Dalam kluster jarak kekuasaan rendah pembicara dan lawan bicaranya tahu bahwa kata-kata itu berarti persis seperti apa yang mereka katakan.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Sosiolog dan Guru Besar USK, Prof Ahmad Humam Hamid 

Ahmad Humam Hamid *)

Berbeda dengan Indonesia, Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam, negara-negara Eropah, Afrika, AS, dan sejumlah kawasan Asia tergolong memiliki jarak kuasa rendah.

Di negara-negara dalam kluster jarak kekuasaan rendah, Hofstede memberikan ciri yang sebaliknya, menekankan kesetaraan, komunikasi lebih informal, dan individu merasa nyaman menantang otoritas.

Komunikasi dalam kluster ini mungkin terasa lebih mudah terlibat dalam dialog terbuka.

Dalam kluster jarak kekuasaan rendah pembicara dan lawan bicaranya tahu bahwa kata-kata itu berarti persis seperti apa yang mereka katakan.

Sebaliknya dalam budaya jarak kekuasaan tinggi, makna kata-kata diambil dari konteks proses komunikasi yang berjalan. Dalam kluster ini, kata-kata sangat berpeluang tidak pernah berarti seperti apa yang dikatakan.

Saya pernah berdiskusi dengan beberapa orang yang dekat, dan bahkan sangat dekat dengan ketiga gubernur Aceh itu- Hasymi, Muzakir, dan Ibrahim tentang pola komunikasi mereka dengan “Aceh” dan “Jakarta.”

Mereka bertiga tahu benar “medan” yang dihadapi. Kapan harus dan bagaimana bertindak dalam dua lapangan dan tantangan yang berbeda.

Tanpa harus menggunakan indikator dan skala Hofstede, untuk pengukuran jarak kekuasaan di Aceh, sepertinya Aceh masuk dalam kategori kluster jarak kekuasaan yang rendah.

Apa ukurannya? Budaya egaliter Aceh tidak memberi jarak kekuasaan yang terlalu tinggi kepada penguasa mempunyai persoalan tersendiri pula.

Tak jarang yang diperintah, bahkan rakyat sekalipun berani melawan penguasa dengan menantang mulai dări yang cara sopan, atau bahkan juga kasar sekalipun.

Hal ini dapat dimengerti,karena ada akar sejarah panjang tentang”kepemilikan” Aceh.

Ambil saja contoh, ketika Sułtan Mohamad Daud berdamai dan “menyerah” kepada Belanda pada 1903, Aceh tetap melawan, karena para raja kecil, dan hulu balang mengambil alih.

Bersamaan dengan para hulubalang, para Ulama juga ikut berperang. Ketika Jenderal Van Huestz berhasil “memaksa” para hulu balang pada 1904 untuk menanda tangani plakat “korte verklaring”-perdamaian pendek pada 1904, rakyat tidak setuju.

Mereka tetap melawan. Ada perlawanan kelompok di hampir semua tempat di Aceh, dan sangat sering ada perlawanan individu, hanya karena ingin mati terhormat dan syahid.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved