Kupi Beungoh
Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 : Aceh-Jakarta, Paradigma Aceh Pungo, Jawa Sopan - Bagian XX
Dalam kluster jarak kekuasaan rendah pembicara dan lawan bicaranya tahu bahwa kata-kata itu berarti persis seperti apa yang mereka katakan.
Walaupun ketiga mereka adalah pembelajar ulung, kecuali Ibrahim, kedua pendahulunya Hasymi dan Muzakir tak mendengar dań punya kepustakaan canggih untuk pengetahuan komunikasi lintas budaya, apalagi dalam konteks komunikasi politik dan kekuasaan di Indonesia.
Namun, baik Hasymi, Muzakir, dan Ibrahim, seakan telah membaca keniscayaan bahasa, komunikasi, dan kekuasaan simbolis, dalam ineteraksinya dengan “Jakarta”.
Seakan mereka telah membaca dan menghayati deskripsi Piere Bourdieu,sosiolog kondang Perancis dalam buku Language and Symbolic Power (1993) tentang bahasa, “pasar lingusitik” dan kekuasaan.
Kalau saja mereka masih hidup hari ini, mereka akan sangat terkejut , karena apa yang mereka praktekkan ketika para gubernur Aceh itu berurusan dengan “Jakarta” dahulu justeru ditulis dengan baik oleh Bourdieu, sosiolog kondang Perancis yang menggunakan istilah “pasar bahasa” yang seperti pasar lainnya, tidak pernah menjadi “pasar bebas” karena ada hubungan kekuasaan didalamnya.
Ketika para gubernur itu berurusan dengan Sukarno, maupun Suharto, mereka tahu benar stadar dan alokasi kata dan kalimat yang berlaku dalam “pasar bahasa” kekuasaan itu, terutama bila dikaitkan dengan budaya dominan dalam kekuasaan.
Ketika Muzakir dan Ibrahim berkomunikasi dengan pak Harto, mereka sangat paham bahwa kesopanan tidak hanya terletak dalam kalimat dan kata, namun sikap dan perilaku non bahasa jauh lebih penting.
Mereka mungkin tak pernah tahu ada istilah “kramanisasi,” sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Benedict Anderson (1990) , profesor ilmu politik dan sejarah Universitas Cornel.
Anderson menggambarkan bahwa ada ” stratifikasi bahasa” yang sangat canggih dalam praktek politik, pemerintahan, bahkan pembangunan di Indonesia. Secara tak sadar mereka melakukan persis seperti apa yang diuraikan oleh Anderson itu.
Kita tidak tahu apakah ketiga mereka sadar atau tidak, bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa melayu lisan-bicara, yang di oleh Hamzah Fansuri di “jadikan bahasa tulisan dalam perjalaannya telah mengalami evolusi.
Hal itu terjadi karena berkaitan dengan sebuah negara kebangsaan dengan keragaman budaya yang luar biasa.
Sadar atau tidak ketiga mereka -Hasymi, Muzakir, dan Ibrahim, yang berasal dan memerintah dalam budaya rendah jarak-kekuasaan dan egaliter telah mampu beradaptasi dengan “Jakarta,” dalam penggunaan bahasa Indonesia-melayu yang telah berevolusi.
Ketika mereka berinteraksi dengan Jakarta, secara perlahan dan sadar mereka mulai terbiasa berpindah dari bahasa egaliter dan demokratis yang umumnya dipraktekkan sebelum Indonesia merdeka dan di Aceh, menjadi bahasa Indonesia dengan “tuturan tingkat rendah” dan “tuturan tinggi,” seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa.
Hasymi, Muzakir, dan Ibrahim yang hidupnya antara sekolah, belajar, dan pembelajar, sangat beruntung mempunyai kekayan intelektual yang membuat mereka sangat paham tentang hubungan bahasa, kekuasaan, dan politik, seperti yang disinggung oleh Bourdieu.
Karena kesadaran itu, setiap komunikasi mereka yang berurusan dengan “Jakarta,” mereka menggunakan sumber daya lingusitik mereka dalam “pasar bahasa” yang tak bebas.
Mereka menyesuaikan kata, kalimat, dan bahasa tubuh mereka dengan tuntutan lingkungan “Jakarta” yang menurut deskripis Hofstede (1983) di dominasi oleh budaya jarak kekuasaan tinggi.
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam |
![]() |
---|
Kampung Haji Indonesia dan Wakaf Baitul Asyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.