KUPI BEUNGOH
Jasa Teungku Dayah dan Kombatan GAM Terhadap Aceh
Tidak perlu menyesali dan mencaci maki kenapa ada ulama dayah yang menjadi kontestan Pilkada Aceh. Begitu juga sebaliknya.
Oleh Teuku Zulkhairi *)
KOMBATAN GAM yang telah bermetamorfosis ke dalam Partai Aceh memiliki jasa besar terhadap bangsa Aceh. Mereka mengorbankan jiwa dan raga dalam menuntut keadilan kepada Pemerintah Pusat.
Sekiranya bukan tanpa pengorbanan besar para Kombatan itu, Aceh mungkin tidak akan menerima keadilan dalam pembangunan sampai saat ini.
Kita semua paham bahwa begitu banyak pengorbanan mereka untuk bangsa Aceh dalam menuntut keadilan. Begitu banyak yang menjadi syuhada.
Dan hasilnya Aceh pun memperoleh status Daerah Istimewa dan berlanjut memperoleh status Daerah Otonomi khusus yang diiringi dengan dana otonomi khusus untuk Aceh yang kemudian dinikmati oleh semua elemen di Aceh.
Saya ingat persis bahwa Syar'iat Islam di pelosok-pelosok Aceh itu mulai eksis dengan dorongan para kombatan jauh sebelum Syar'iat Islam di Aceh dilegalformalkan Pemerintah Pusat.
Dalam penguatan Syari'at Islam ini, para kombatan GAM dulu senantiasa mengedepankan elemen kombatan yang pernah belajar di dayah.
Saya juga ingat persis bahwa ceramah-ceramah agama yang sering disampaikan para kombatan dulu itu penceramahnya adalah elemen kombatan dari kalangan Teungku Dayah.
Baca juga: Ketika Sibak Agam Menantang Raksasa Jalut
Baca juga: Bek Ulok-ulok ke Mualem
Sebab, tidak sedikit kombatan yang tadinya mereka adalah santri atau Teungku yang pernah belajar di Dayah. Atau setidaknya belajar di balai-balai pengajian yang didirikan para Teungku Dayah.
Bahkan saya dengar tidak sedikit Kombatan yang "nyantri" di Dayah di masa konflik.
Itu artinya, bahwa perjuangan para kombatan dan cita-cita mereka dalam hal Keislaman itu sangat terkait erat dengan konektivitas mereka dengan para Teungku Dayah.
Di kemudian hari, Partai Aceh sebagai wadah para Kombatan juga bahkan memiliki satu organisasi khusus yang bernama Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) yang ketuanya selalu diisi oleh para Teungku Dayah, dan Teungku Dayah terakhir yang menjabat sebagai Ketua MUNA adalah Abu Paya Pasi yang merupakan seorang Teungku Dayah.
Jadi itu adalah pengakuan mereka bahwa Teungku Dayah adalah elemen yang tidak bisa dipisahkan dari perjuangan mereka. Sekaligus pengakuan bahwa eksistensi Aceh sebagai bangsa tidak bisa dipisahkan dari Teungku Dayah dan segala kontribusinya untuk Aceh.
Kontribusi Teungku Dayah
Para Teungku Dayah meskipun tidak berperang seperti halnya GAM, namun juga telah memberikan kontribusi yang juga tidak ternilai harganya kepada bangsa Aceh, yaitu penguatan keislaman bangsa Aceh dan pendidikan.
Peran Teungku Dayah ini yang fokus dalam mendidik, fokus dalam tafaqquh fiddin (pendalaman agama) itu sejalan dengan perintah Allah SWT bahwa dalam situasi perang sekalipun tetap harus ada sebagian umat Islam yang fokus menuntut ilmu, fokus dalam kerja-kerja _tafaqquh fiddin&.
Maka dengan kontribusi para Teungku Dayah inilah keislaman Aceh itu selalu membara. Para Teungku Dayah ini bukan saja membuat keislaman Aceh tetap membara, namun juga membuat Aceh tetap berstatus sebagai mercusuar Islam di Nusantara.
Tidak sedikit santri-santri di Dayah-dayah di Aceh itu berasal dari luar Aceh. Setelah nyantri di Aceh mereka pulang dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.
Jadi..
Sekiranya tanpa peran Teungku Dayah dalam mendidik anak-anak Aceh dari masa ke masa, maka mungkin umumnya "aneuk-aneuk Aceh meu aleh ba hana ji teupue".
Sekiranya tanpa peran Teungku-teungku Dayah ini, mungkin Islam di Aceh sudah seperti keadaan di luar Aceh dimana Islam tidak menjadi agama yang dominan di Aceh.
Makanya kan Belanda dulu melihat para Teungku Dayah ini sebagai musuh besar yang harus dihabisi sebab para Teungku Dayah ini telah menjadi benteng kokoh dari setiap agenda Kristenisasi dan sekulerisasi yang dijalankan Belanda.
Baca juga: Birahi Teungku dan Politik Panglima Tibang
Baca juga: Kolaborasi Ulama dan Umara
Belanda membunuh banyak Teungku Dayah dan membakar banyak kitab serta juga membakar banyak dayah.
Jadi kalau sekarang ada yang membenci Teungku Dayah secara membabi-buta karena beda afiliasi politik, beda pilihan paslon Pilkada, maka memang ada sejarahnya yang dulu dimulai oleh Belanda.
Kenapa Belanda membenci Teungku Dayah? Karena mereka paham bahwa Keislaman Aceh yang menjadi spirit perlawanan bangsa Aceh dalam melawan penjajah Belanda itu berasal dari proses pendidikan Islam yang diajarkan para Teungku Dayah.
Patut diingat bahwa sebelum ada sekolah dan madrasah di Aceh, satu-satunya lembaga pendidikan yang mendidik bangsa Aceh itu adalah Dayah yang dulu disebut dengan "Zawiyah".
Di antara Zawiyah yang terkenal adalah Zawiyah Cot Kala Langsa, Zawiyah Tanoh Abee dan Zawiyah/Jama'ah Baiturrahman. Zawiyah-zawiyah ini menjalankan kurikulum kitab kuning sebagaimana ahri ini juga diajarkan di dayah-dayah.
Dua Zawiyah ini berperan besar dalam mewujudkan Aceh sebagai mercusuar Islam di Asia Tenggara.
Oleh sebab itu...
Pilkada Aceh ini tidak boleh memecah belah dua elemen penting Aceh ini sebagai bangsa.
Baca juga: Daftar 31 Mobil yang Masih Boleh Isi BBM Pertalite 1 September 2024 di SPBU, Apa Saja?
Baca juga: Bakal Calon Kepala Daerah di Aceh Mulai Jalani Pemeriksaan Kesehatan
Berbeda pilihan dalam Pilkada Aceh 2024 adalah hal yang biasa saja. Sampai kiamat donya kita nggak bisa menyamakan pikiran manusia. Tidak perlu menyesali dan mencaci maki kenapa ada ulama dayah yang menjadi kontestan Pilkada Aceh. Begitu juga sebaliknya.
Satu-satunya cara terbaik menghadapi pesta demokrasi ini adalah dengan saling menghargai. Nggak ada cara lain kalau kita benaran mengikuti akhlak Rasulullah Saw.
Maka..
Kalau kita membaca ada tulisan yang secara membabi-buta mencaci maki para Teungku Dayah karena terlibat dalam politik, menuduh para Teungku Dayah yang terlibat dalam Pilkada Aceh karena birahi politik dan sebagainya itu atau bahasa-bahasa lain yang menjatuhkan, maka mereka harus membaca dan memahami sejarah ini.
Jika tetap seperti itu, memfitnah dan menjatuhkan, maka tidak ubahanya kita seperti "ureung cok akai Belanda", atau bahkan sedang meneruskan apa yang dilakukan Belanda dulu.
Begitu juga siapa saja yang mencaci para kombatan. Siapa yang paham sejarah Aceh masa lalu dan sejarah Aceh kontemporer niscaya tidak akan mencaci mereka.
Lebih khusus lagi, siapa yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan hadits, maka dia tidak akan mencaci maki dan memfitnah siapapun hanya karena beda pilihan politik.
Siapa yang mencaci maki, memfitnah dan menyakiti, maka itu bertentangan dengan ajaran Islam.. Wallahu a'lam bishshawab
*) PENULIS Sekjend Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD).
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
kupi beungoh
Opini Kupi Beungoh
Teungku Dayah dan Kombatan GAM
Pilkada Aceh 2024
Teuku Zulkhairi
Ikatan Sarjana Alumni Dayah
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.