Kupi Beungoh

Fenomena Pasangan Uzur di Aceh: Mengurusi Anak Disabilitas sambil Mencari Tiram di Krueng Cut

Dalam kondisi fisik yang semakin ringkih, Abu Bakar bersama isteri tercinta terpaksa mencari nafkah dengan berjualan tiram di tepi Sungai Krueng Cut

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Silvia (6 kanan) dan Audy (4 kiri) serta mahasiswa PMI FDK foto bersama Abu Bakar dan Raziah (tengah) 

Oleh: Silvia Febrina dan Audy Safalas 

Pada usia lanjut (lansia), manusia seharusnya memasuki masa pensiun atau tidak lagi menjadi pekerja keras dalam mencari nafkah. Departemen Kesehatan RI, sebagaimana dilansir BKKN RI, menyebut batasan usia lansia adalah 60 tahun (https://golantang.bkkbn.go.id).

Atas dasar pembatasan itu, maka usia pensiun PNS di Indonesia dibatasi hingga 58-60 tahun. Usia di atas 60, apalagi mendekati 80 tahun, sejatinya masa-masa menikmati sisa kehidupan dengan cara ibadah, healing atau memperkuat silaturahmi sesama sanak saudara.

Akan tetapi, kenyataan hidup indah di masa tua tidak dirasakan oleh pasangan suami – isteri bernama Abu Bakar Shiddiq (75) dan Raziah (65), warga Gampong Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Dalam usia uzur, pasangan kekasih ini harus berjuang mencari nafkah agar dapur tetap mengepulkan asap sembari menjaga anak yang menderita disabilitas kejiwaan.

Kian Uzur dan Anak Disabilitas

Usia Abu Bakar kian uzur. Tahun 2025 atau bulan depan usianya akan menginjak angka 76. Kondisi fisiknya semakin melemah. Untuk berdiri dan berjalan dia harus dibantu tongkat.

Dalam kondisi fisik yang semakin ringkih, Abu Bakar bersama isteri tercinta terpaksa mencari nafkah dengan berjualan tiram di tepi Sungai Krueng Cut, Aceh Besar.
 
Salah satu putra dari Abu Bakar yaitu A (26), menderita disabilitas mental bawaan dari lahir. Setiap hari ia harus mengonsumsi obat agar emosinya stabil. 

Meskipun biaya berobat sang anak ditanggung oleh BPJS, namun untuk pergi ke tempat berobat juga memerlukan biaya transportasi.

Jualan Tiram di Tepi Krueng Cut

Dengan kondisi fisik yang tidak lagi kuat dan penglihatan yang sudah berangsur kabur, mereka harus tetap berjualan tiram setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sudah 16 tahun mereka berjualan tiram dengan mendirikan lapak seadanya di ujung jembatan Krueng Cut, Desa Baet, jalan menuju universitas UBBG. 

Setiap paginya mereka membeli tiram pada pencari tiram yang lain untuk dijual kembali (reseller). Biasanya mereka membeli tiram dengan harga Rp 50 ribu/karung.

Tak hanya itu, jika kondisi fisik sedang fit, mereka akan turun ke sungai untuk mencari tiram sendiri. Hal ini dilakukan agar mendapat keuntungan lebih.

Tiram per bungkusnya dijual dengan harga yang beragam, tergantung pada jenis. Tiram yang sudah dikupas dijual dengan harga Rp 15 – 20 ribu per bungkusan kecil. Sedangkan tiram yang bercangkang dijual sesuai permintaan dari pembeli.

“Terkadang, kalau lagi ramai, kami mendapatkan Rp 100 ribu per harinya. Terkadang hanya dapat Rp 50 ribu saja per hari,” ungkap Abu Bakar kepada kami, mahasiswa dari Kelas Media Komunitas pada Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) UIN Ar-Raniry yang diasuh Hasan Basri M Nur, Sabtu (07/12/2024).

Setiap pagi, Abu Bakar dan Raziah berangkat dari rumah ke tempat berjualan menggunakan becak tua. Jarak dari rumah ke tempat berjualan sekitar 2 km, sehingga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi.

Rumah Memprihatinkan

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved