KUPI BEUNGOH

Perkebunan Sawit dan Hutan dalam Perspektif Hidrologi: Menakar Limpasan dan Risiko Banjir

Perkebunan sawit kembali menjadi topik diskusi hangat di ruang publik setelah pernyataan yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan primer.

Editor: Yocerizal
Serambinews.com
Dr Cut Izazah, Dosen Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana, Prodi Teknik Sipil dan Prodi Ilmu Lingkungan Universitas Almuslim serta Ketua Pusat Kajian DAS Peusangan. 

Perkebunan sawit dengan penutup rumput penuh sekitar 0,417 (41,7 % ), menghasilkan limpasan terendah, setengah penutup rumput dengan nilai 0,456 (45,6 % ) dan perkebunan sawit dengan setengah daun kering mempunyai nilai 0,534 (53,4 % ).

Data ini menunjukkan bahwa penutup tanah yang lebih baik dapat secara signifikan mengurangi limpasan, tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer yang memiliki koefisien limpasan rata-rata 0,30. Artinya, lebih dari 40 % hingga 70 % curah hujan yang jatuh di area perkebunan sawit dapat menjadi limpasan permukaan, tergantung pada kondisi tanah dan penutupnya. 

Hal ini terjadi karena struktur tanah di perkebunan sawit seringkali terkompaksi akibat aktivitas seperti pemanenan dan penggunaan alat berat, serta lapisan vegetasi bawah yang minim, sehingga mengurangi infiltrasi dan meningkatkan risiko limpasan.

Dampak pada Banjir

Limpasan yang tinggi dapat menyebabkan air mengalir lebih cepat dan dalam volume yang lebih besar ke daerah hilir. Jika limpasan ini terakumulasi di wilayah yang dihuni manusia atau digunakan untuk aktivitas seperti pertanian, hal ini disebut banjir-suatu istilah yang menggambarkan bencana yang berdampak pada manusia atau aktivitasnya.

Pada hutan primer, kemampuan menahan air lebih baik berkat akar yang dalam dan lapisan humus yang tebal, yang memungkinkan infiltrasi air secara optimal. Hal ini menciptakan sistem alami yang membantu meredam aliran air, menjaga kestabilan aliran sungai, dan mengurangi risiko banjir di hilir.

Pada wilayah dengan dominasi perkebunan sawit, peningkatan limpasan permukaan sering kali menyebabkan kejadian banjir lebih sering dan intensif. Hal ini dikarenakan beberapa faktor: 

Percepatan Aliran Air ke Sungai Limbasan dari perkebunan sawit akan bergerak lebih cepat menuju badan air, meningkatkan debit sungai secara signifikan dalam waktu singkat. Lonjakan ini sering memicu banjir bandang, terutama di DAS dengan kapasitas sungai yang terbatas.

Peningkatan Sedimentasi di Sungai Limpasan dari perkebunan sawit membawa partikel tanah yang tererosi akibat minimnya penutupan vegetasi di bawah pohon sawit. Akumulasi sedimen ini mempersempit alur sungai dan mengurangi kapasitas tampungnya, sehingga air meluap lebih mudah. Sebaliknya, hutan primer berfungsi melindungi tanah dari erosi, menjaga kualitas air sungai, dan mencegah sedimentasi yang berlebihan.

Baca juga: Benarkah Nasib Anak Ditentukan dari Bagaimana Dia Menghormati Orangtuanya, Ini Penjelasan Buya Yahya

Baca juga: Pasutri Muda Live Streaming Adegan Dewasa Selama 10 Jam, Sudah Beraksi 2 Bulan, Begini Nasibnya Kini

Berubahnya Pola Aliran Air di Hilir Wilayah hilir yang sebelumnya terlindungi oleh hutan alami kini menghadapi aliran air yang lebih besar dari biasanya. Akibatnya, daerah pertanian, infrastruktur, dan permukiman menjadi lebih rentan terhadap banjir. Hutan primer, dengan fungsi hidrologi alaminya, mampu mengatur pola aliran air sehingga mengurangi risiko seperti ini.

Menurunnya Kapasitas Penyimpanan Air Tanah Perkebunan sawit, dengan tanah yang terkompaksi, mengurangi infiltrasi dan menghambat pengisian ulang air tanah. Kondisi ini memengaruhi keseimbangan air di DAS, memperburuk dampak banjir selama musim hujan. Sebaliknya, hutan primer meningkatkan kapasitas penyimpanan air tanah, memberikan perlindungan alami terhadap kejadian banjir.

Kesimpulan

Secara hidrologi, hutan primer dan perkebunan sawit memiliki perbedaan mendasar dalam pengelolaan limpasan. Hutan primer berfungsi sebagai sistem alami yang dapat mengurangi limpasan dan mencegah banjir, sementara perkebunan sawit, dengan limpasan yang lebih tinggi, meningkatkan risiko akumulasi air di wilayah yang dihuni manusia.

Oleh karena itu, pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap hidrologi, khususnya dalam konteks risiko banjir.

*) PENULIS adalah Dosen Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana, Prodi Teknik Sipil dan Prodi Ilmu Lingkungan Universitas Almuslim serta Ketua Pusat Kajian DAS Peusangan.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved