Kupi Beungoh
Gaza, Hiroshima, dan “Kegilaan” Donald Trump – Bagian II
Besar kemungkinan, formula investasi Gaza menjadi Riviera ini lebih merupakan poros Israel/ ekstrem kanan-Kushner - Trump.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Ada banyak spekulasi yang berkembang, di kalangan ekstrim kanan Israel- anggota kabinet koalisi Netanyahu- yang tak akan pernah mengakui eksistensi rakyat Palestina, sekalipun gencatan senjata telah ditandatangani.
Namun penghentian permusuhan itu belum menemuan jalan akhir yang akan menghentikan kekerasan selamanya.
Besar kemungkinan, formula investasi Gaza menjadi Riviera ini lebih merupakan poros Israel/ ekstrem kanan-Kushner - Trump, terutama setelah Trump terpilih.
Dalam pikiran kalangan ekstrim kanan Israel, ini adalah saat terbaik untuk menghapus negara Palestina di muka bumi dengan beberapa alasan.
Dalam pandangan mereka, sekalipun Hamas masih tetap bertahan, akan tetapi hampir seluruh jaringan perlawanan yang berkaitan dengan Hamas, baik aktor nonnegara, maupun negara telah berhasil dilumpuhkan.
Pembunuhan terhadap beberapa tokoh utama Hizbullah di Lebanon- Syed Nasrullah- yang dilanjutkan dengan ekspansi militer ke Libanon Selatan untuk membasmi Hizbullah telah membuat gerakan itu seolah mati kutu.
Selanjutnya, runtuhnya rezim Bashir Assad di Suriah telah membuat Suriah tidak lagi menjadi jembatan penghubung Iran dengan Hizbullah di Libanon, sekaligus dengan Hamas.
Berbagai bantuan Iran kepada Hizbullah dalam bentuk persenjataan dan uang yang sebelumnya mengalir lewat negara Suriah, kini tak lagi berjalan.
Poros perlawanan yang dimotori Iran itu kini telah musnah.
Sebenarnya, tercabutnya Assad dari kekuasaan di Suriah dalam banyak hal terkait dengan serangan Israel ke Suriah.
Kaum milisi poros perlawanan yang berperang dengan Assad sangat diuntungkan dengan serangan besar militer Israel yang ditujukan kepada target militer pasukan pemerintahan presiden Assad.
Israel tak peduli siapa yang akan berkuasa di Suriah pasca Assad.
Yang penting Assad dilumpuhkan, baik penghancuran pertahanan udara atau lainnya.
Serangan itu pula yang membuat milisi perlawanan diuntungkan, dan memudahkan mereka menjatuhkan Assad.
Bagi Israel, dalam jangka panjang dengan sistem pertahanan udara Suriah yang hampir lumpuh total, membuat penguasaan udara Israel dalam menghadapi Iran lebih mudah.
Itu artinya catatan untuk rezim baru Suriah jangan pernah berpikir untuk menjadi teman seperahu dengan Iran dalam konflik Palestina Israel.
Baca juga: Gaza, Hiroshima, dan “Kegilaan” Donald Trump – Bagian I
Pernyataan Trump tak Boleh Dianggap Enteng
Kejutan pernyataan Donald Trump tentang “Reviera Gaza” sama sekali tak boleh dianggap enteng.
Ada beberapa catatan kaki dengan huruf tebal yang ia lakukan dalam hubungan Israel-Palestina yang banyak pihak lupa.
Lebih dari itu, Trump juga mempertajam konflik antara negara-negara Arab Sunni dengan Syiah Iran.
Semenjak usainya perang Arab-Israel 1967, dimana Israel berhasil menduduki dan menguasai dataran tinggi Golan yang merupakan kawasan Suriah, tak seorangpun presiden AS yang mengakui pendudukan itu.
Setelah lebih dari setengah abad pelanggaran Israel atas hukum internasional itu, pada tahun 2019, Trump membalikkan kebijakan AS itu.
Ia dengan tegas mengakui kendali Israel atas kawasan Golan tersebut.
Tidak berhenti dengan kasus dataran tinggi Golan, Trump juga mengakui penguasaan Israel untuk kawasan Yerussalem Timur.
Seperti diketahui dalam proposal dua negara hidup berdampingan, Yerusalem Timur diproyeksikan akan menjadi calon ibu kota negara Palestina merdeka.
Tidak cukup dengan pengakuan aneksasi, Trump juga setuju Jerusalem secara penuh menjadi ibu kota Israel menggantikan Tel Aviv.
AS pada masa kepresidenan Trump bahkan segera memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerussalem.
Kecuali Hamas, negara-negara Arab dibuat tak berkutik dengan berbagai kegilaan yang Trump lakukan.
Bahkan Otoritas Palestina sekalipun yang lebih merupakan pemerintahan bayangan negara Palestina di West Bank-Tepi Barat, tak berdaya menghadapi tindakan Trump.
Baca juga: Trump Ingin Ambil ALih Gaza dan Bangun Hotel Mewah, Hamas Geram: Gaza Tidak Diperjualbelikan
Baca juga: VIDEO Trump Sebut jika AS Ambil Alih Wilayahnya, Warga Palestina Tak Berhak Kembali ke Jalur Gaza
Trump sangat piawai memecah belah dan menakut-nakuti negara Arab dan Otoritas Palestina.
Terhadap negara miskin seperti Mesir, Yordan kartunya adalah bantuan hibah tahunan melebihi 1 miliar dolar.
Otoritas Palestina juga penerima uang besar dari AS yang jumlahnya ratusan juta dolar AS setiap tahun.
Terhadap negara-negara kaya, seperti Saudi Arabia dan negara-negara Teluk, maka ancaman yang sangat nyata adalah prospek pemberontak Syiah Houthi di Yaman.
Saudi Arabia yang pernah menyerang Houthi Yaman tak mampu menundukan mereka.
Dan ini tentu saja menjadi momok sangat menakutkan bagi negara-negara itu.
Senjata uang untuk kelompok negara miskin dan ancaman Iran untuk negara kaya, membuat negara-negara Arab semakin tak bisa menghindar dari merapat ke AS.
Ketika memerintah 2016-2020, Trump mampu mempertemukan negara-negara itu dengan Israel yang belum diakui pada masa itu.
Dua negara mengakui Israel, yakni Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Dalam pembicaraan lebih lanjut dijadwalkan Moroko dan Saudi Arabia akan mengakui Israel pada waktunya.
Semua langkah-langkah pada masa pertama Trump itu menghasilkan sebuah perjanjian yang tak pernah terbayangkan.
Perjanjian Abraham (Abraham Accord) pada tahun terakhir periode pertama 2020, adalah gempa tektonik terbesar dalam sejarah konflik Arab Israel.
Dalam perjanjian itu dicapai kesepakatan untuk normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara Arab, tanpa syarat, termasuk tanpa Israel harus menerima kehadiran negara Palestina merdeka di masa depan, atau apa yang disebut dengan solusi dua negara.
Padahal solusi dua negara hidup berdampingan adalah proposal yang menjadi tumpuan harapan banyak negara Arab dan masyarakat Internasional.
Bukan tidak mungkin, kali ini Trump akan semakin memperbesar cengkremannya di timur Tengah dengan mempelopori NATO Arab untuk menghadap ancaman Iran.
Para anggotanya adalah AS, Mesir ,Yordan, Israel, Saudi Arabia, dan lima negara kecil namun kaya di kawasan Teluk.
Seorangpun tak tahu seberapa jauh negara-negara Arab akan tunduk dan patuh kepada komando Trump dalam menyelesaian masalah Palestina, utamanya Gaza.
Secara fisik, kini keadaan sebidang tanah yang luasnya sekitar 18.000 hektare, dimana 80 persen penduduknya hidup dalam kemiskinan, mempunyai wajah yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan sebelum serangan Israel selama lebih dari 15 bulan.
Apa yang membuat berbeda, serangan Israel kali ini mempunyai wajah yang sebelumnya tak pernah terjadi.
Pemusnahan ribuan rumah sakit, perusakan sengaja terhadap berbagai sistem kesehatan, dan bahkan penangkapan dan pembunuhan personil kesehatan.
Tidak berhenti di situ, ada blokade bantuan air, bahan bakar, makanan, dan obat-obatan untuk mayarakat sipil.
Semua itu dilakukan dengan sistematis dan menunjukan dengan terang benderang kepada publik dunia model penghancuran sistematis terhadap lembaga-lembaga yang menopang kehidupan masyarakat Palestina.
Kini, Trump dan koalisi extrem kanan Israel merencanakan operasi terakhir untuk mengenyahkan bangsa, dan bahkan mungkin kata Palestina dari muka bumi.
Akankah negara-negara Arab yang sampai tingkat tertentu takut atau tergantung hidupnya kepada AS diam?
Akankah masyarakat internasional membiarkan genoside yang diprakarsai oleh negara adikuasa dibiarkan terjadi?
Banda Aceh, 11 Februari 2025.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.