KUPI BEUNGOH

Bagaimana Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan Memandang Tradisi Tolak Bala?

Kajian filsafat pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai persoalan yang dihadapi manusia dari suatu lapisan kehidupan.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Dana Ismawan, Mahasiswa S2 KPI UIN Ar-Raniry, Peminat Komunikasi Budaya. 

Pandangan ini tentu berdasar sebab filsafat menyandarkan argumentasinya pada penjelasan-penjelasan rasional dan empiris, sehingga akan mengkritik praktik ini karena tidak ada bukti ilmiah yang mendukung bahwa tindakan ritual atau tradisi tolak bala memiliki dampak nyata dalam upaya menangkal terjadinya bencana atau musibah.

Meskipun dari sisi rasionalitas tradisi tolak bala dianggap kurang rasional, namun perspektif filsafat memberikan pandangan bahwa tradisi tolak bala dapat dipahami sebagai fenomena sosial yang menggambarkan sistem keyakinan masyarakat, sehingga kebenaran dalam konteks ini tidak hanya sekadar berdasarkan pada bukti empiris atau logika ilmiah, melainkan terkait dengan kebenaran pragmatis.

Dalam bukunya Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jujun Suriasumantri menuliskan pada teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth), dikemukakan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal dan sosial, sehingga benar tidaknya sesuatu tergantung pada bermanfaat atau tidaknya hal tersebut bagi manusia untuk kehidupannya.

Dalam hal ini, jika ritual atau tradisi tolak bala tersebut membawa kebermanfaatan, rasa aman, atau bahkan kebahagiaan bagi masyarakat yang melaksanakannya, maka ia dianggap benar.

Namun demikian, dalam paradigma kritis, filsafat akan mempertanyakan apakah ritual tolak bala ini benar-benar memiliki efek pada realitas objektif atau hanya merupakan hasil dari kepercayaan masyarakat.

Dalam tradisi ini, kebenaran tentang sebab dan akibat belum mampu diverifikasi secara ilmiah, melainkan diterima sebagai sesuatu yang diyakini turun-temurun.

Bagi sebagian masyarakat, ritual ini adalah bentuk keyakinan yang memperkuat ikatan sosial dan memberikan ketenangan batin, tetapi akan cukup sulit untuk mengukurnya secara empiris.

Di sisi lain, ontologi atau hakikat dari konsep bala itu sendiri menarik untuk dikaji lebih jauh, salah satunya adalah pandangan bahwa bala tersebut merupakan wujud nyata atau hanyalah produk konstruksi sosial.

Jika bala dianggap ada secara nyata, maka perlu dibuktikan objektifitasnya untuk mendukung keberadaan serta efektivitas tindakan penolakannya.

Dalam tradisi ini, bala sering kali disimbolkan sebagai musibah, penyakit atau sesuatu hal buruk yang kemudian menempatkan konsepnya di luar ranah verifikasi ilmiah.

Dari sisi epistemologis, dapat diperdebatkan berkaitan dengan asal-usul pengetahuan dan keyakinan dalam tradisi tolak bala.

Kebanyakan tradisi tolak bala bersumber dari pengetahuan turun-temurun.

Hal ini menjadikan dasar pengetahuan tersebut sebagai sesuatu yang sulit dibuktikan secara empiris dan lebih berbasis pada kepercayaan.

Pengetahuan dalam tradisi tolak bala sering dianggap valid oleh komunitas yang meyakininya tanpa adanya proses verifikasi atau bukti yang kuat.

Dalam epistemologi ilmiah, kebenaran suatu pengetahuan idealnya dibuktikan melalui uji empiris yang konsisten.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved