KUPI BEUNGOH
Bagaimana Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan Memandang Tradisi Tolak Bala?
Kajian filsafat pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai persoalan yang dihadapi manusia dari suatu lapisan kehidupan.
Selain itu, praktik tolak bala sering kali bertentangan dengan pengetahuan modern atau ilmiah yang telah teruji.
Misalnya, untuk bencana alam, sains memiliki penjelasan yang berlandaskan hukum alam dan pola-pola fisik.
Tolak bala sering dianggap tidak sejalan dengan pandangan ilmiah ini dan bisa membuat masyarakat mengandalkan hal-hal yang irasional dibandingkan upaya preventif dalam menyikapi situasi buruk yang mungkin terjadi.
Lebih lanjut, ditinjau pula dari sisi aksiologi, dalam beberapa kasus, tradisi tolak bala sering kali melibatkan ritual atau sesajen yang dinilai tidak praktis, tidak relevan dan bertentang dengan prinsip-prinsip keagamaan.
Cara-cara yang dilakukan lebih bersifat simbolis dan tidak langsung menyelesaikan masalah, sehingga nilainya dapat berpotensi bertentangan dan menyalahi pemahaman ajaran agama.
Dari beragam analisis tersebut, didapati bahwa tolak bala menjadi wadah yang mempertemukan beragam perspektif mengenai kebenaran.
Meskipun dari konteks ilmiah, ritual ini mungkin tidak memenuhi aspek keilmiahan tersebut, dalam konteks kebudayaan dan kepercayaan lokal, tradisi ini tetap memiliki makna dan dianggap benar oleh mereka yang mempercayainya.
Apabila dilihat dari perspektif filsafat, agama dan ilmu pengetahuan, maka tradisi tolak bala akan memunculkan berbagai argumen kritis terkait rasionalitas, aqidah, dan fungsi sosialnya.
Meski ada kekhawatiran terkait ketidaksesuaian dengan ajaran agama tertentu atau ketidakrasionalan ritual, pada sisi lain tradisi ini memiliki makna penting bagi masyarakat, terutama dalam memperkuat rasa kebersamaan.
Tradisi Tolak bala dalam konteks filsafat dan kebenaran juga menantang kita untuk memahami hubungan antara kebenaran, kepercayaan, dan simbolisme.
Tradisi ini adalah cerminan dari kebenaran yang bersifat subjektif dan sosial, yang mengakar pada kepercayaan masyarakat.
Meskipun mungkin tidak dapat diverifikasi secara ilmiah, nilai filosofis dari tradisi ini tetap relevan, terutama dalam menggambarkan bagaimana manusia memahami dan menghadapi konsep kebenaran dalam berbagai bentuk.
Melalui pendekatan yang baik dan menghormati berbagai bentuk tradisi lokal yang berkembang di masyarakat, tradisi tolak bala akan dapat terus bertahan, namun dengan tetap berpedoman dalam koridor aqidah dan etika yang benar.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Prodi KPI UINAR/Peminat Komunikasi Budaya
BACA JUGA KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.