KUPI BEUNGOH
Bagaimana Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan Memandang Tradisi Tolak Bala?
Kajian filsafat pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai persoalan yang dihadapi manusia dari suatu lapisan kehidupan.
Oleh Dana Ismawan *)
Kajian filsafat pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai persoalan yang dihadapi manusia dari suatu lapisan kehidupan.
Beragam permasalahan mendasar yang dihadapi manusia ditemukan jawaban dan pemecahannya oleh filsafat yang berlandaskan pada akal dan pikiran. Mulai dari persoalan yang berhubungan dengan eksistensi Tuhan, realitas alam semesta, sampai dengan persoalan hakikat manusia itu sendiri.
Namun, filsafat tidak menjadi basis keilmuan tunggal untuk merespon berbagai persoalan mendasar tersebut.
Agama dan ilmu pengetahuan turut berperan penting sebagai pisau analisis yang dapat digunakan untuk menjawab beragam persoalan serta menemukan realitas kebenaran.
Dalam hal ini, kajian mengenai ritual tolak bala, yang juga disebut dengan beberapa nama berbeda di berbagai tempat, merupakan ritual yang dilakukan untuk menghindarkan diri dari musibah, penyakit, atau bencana.
Tradisi ini lazimnya menggabungkan elemen kepercayaan masyarakat setempat dan keagamaan, dan melibatkan aktivitas spiritual seperti do’a bersama, melakukan syukuran, atau mengadakan upacara-upacara tertentu.
Apabila ditinjau dari perspektif agama, terutama dalam Islam, pelaksanaan tradisi tolak bala terkadang menghadirkan pandangan kritis dari aspek teologis.
Beberapa kelompok ulama berpandangan bahwa tradisi ini dapat mengarah pada perbuatan syirik atau kepercayaan yang menyimpang, terutama jika disertai keyakinan bahwa ada kekuatan selain Tuhan yang dapat menghindarkan bencana.
Ajaran Islam menekankan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia adalah takdir Allah SWT, dan langkah untuk memohon perlindungan sejatinya dilakukan melalui ibadah shalat dan do’a.
Pernyataan ini merujuk pada firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 153, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar".
Namun, di sisi lain, terdapat pula sebagian ulama melihat ritual dalam tradisi tolak bala ini sebagai bentuk wasilah atau perantara yang sah, sejauh pelaksanaannya tidak melanggar akidah syari’at Islam.
Beberapa tokoh agama juga menilai bahwa selama niatnya adalah untuk memperkuat iman dan kebersamaan, maka tradisi ini bisa diterima dalam batas tertentu.
Tolak bala juga dianggap memperkuat hubungan sosial dan spiritual, serta mempererat silaturahmi antar anggota masyarakat.
Dari sudut pandang filsafat, tradisi tolak bala sering dipandang kurang rasional karena didasarkan pada keyakinan bahwa upacara atau ritual tertentu dapat menjadi suatu jalan untuk menghindarkan diri dari bencana.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.