Citizen Reporter

Nilam dan Kopi, Dua Komoditas Aceh yang Memiliki Potensi Besar

Ini menunjukkan potensi besar yang harus dikelola dengan lebih serius agar Aceh dapat terus berkembang dalam industri halal internasional.

Editor: mufti
IST
AMALIA,  S.H., M.E., Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Aceh Besar, melaporkan dari Makkah, Arab Saudi 

AMALIA,  S.H., M.E., Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Aceh Besar, melaporkan dari Makkah, Arab Saudi

Keikutsertaan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Aceh Besar dalam Makkah Halal Forum 2025 pada pengujung Februari lalu bukan sekadar ajang pamer produk, melainkan bukti bahwa Aceh memiliki daya saing tinggi di pasar global.

Produk-produk unggulan seperti nilam (Pogostemon cablin) dan kopi Gayo tidak hanya diminati, tetapi juga laris manis. Ini menunjukkan potensi besar yang harus dikelola dengan lebih serius agar Aceh dapat terus berkembang dalam industri halal internasional.

Aksi borong seluruh stok nilam Aceh di forum tersebut oleh seorang pengusaha Spanyol menjadi salah satu pencapaian yang membanggakan.

Patchouli oil atau nilam dari Aceh telah lama dikenal memiliki kualitas terbaik di dunia dan digunakan secara luas dalam industri parfum serta kosmetik dunia.

Namun, sejauh mana Aceh mampu mempertahankan daya saingnya di tengah persaingan global?

Kopi Gayo, yang telah memiliki reputasi sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, juga menarik banyak perhatian. Namun, apakah petani dan pelaku usaha kecil telah mendapatkan keuntungan yang adil dari ekspor ini?

Sering kali, rantai distribusi yang panjang mengakibatkan nilai tambah terbesar justru dinikmati oleh pihak lain di luar Aceh.

Tantangan ekspor produk Aceh

Meski potensi besar telah terlihat, ada beberapa tantangan mendasar yang harus segera diatasi. Salah satunya adalah soal akses ekspor langsung.

Hingga hari ini, pengusaha-pengusaha Aceh masih kesulitan menembus pasar global secara mandiri. Jalur ekspor yang lebih mudah justru melalui Medan atau Jakarta, bukan langsung dari Aceh. Ini menjadi ironi tersendiri, mengingat Aceh punya posisi strategis sebagai pintu gerbang Indonesia di wilayah barat yang seharusnya bisa menjadi pusat ekspor unggulan.

Contohnya bisa dilihat pada salah satu pengusaha kopi Aceh yang telah sukses mengekspor produknya ke Brunei, Thailand, Malaysia, hingga Singapura. Saat ini ia tengah menjajaki pasar Timur Tengah.

Menariknya, meski biaya pengiriman langsung dari Bandara Sultan Iskandar Muda bisa mencapai belasan ribu rupiah per kilogram, ia tetap memilih mengirim langsung dari Aceh. Ini bukan sekadar soal bisnis, tetapi juga soal harga diri dan semangat kemandirian. Jika satu pengusaha saja mampu bertahan dengan segala keterbatasan, mengapa pemerintah tidak hadir meringankan jalannya?

Kita tidak boleh terus-menerus bergantung pada jalur dan kebijakan ekonomi daerah lain. Saatnya Pemerintah Aceh—di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf dan Fadhullah—mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa ekspor langsung dari Aceh bukan sekadar wacana. Kemandirian ekonomi harus dibangun, dimulai dari keberanian mengatur rumah sendiri.

Keberhasilan pengusaha kopi yang mampu mengekspor hingga 3 ton per bulan, dengan potensi bertambah menjadi 5 ton ke depan, adalah bukti bahwa Aceh mampu bersaing di pasar internasional. Tidak perlu langsung mengejar volume besar. Tiga hingga lima ton per bulan sudah cukup untuk mengembangkan ekonomi lokal.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved