Kupi Beugoh
Pidie Jaya, Tempat Harapan Disusun Ulang di Antara Rak Buku
Keesokan harinya, saya menerima telepon dari Ibu Woro, Deputi Perpustakaan Nasional RI. Suara beliau terdengar tulus,
Oleh Dr. TAUFIQ A. GANI *)
PUKUL 05.03 WIB, 7 Desember 2016. Waktu itu masih pagi buta, tetapi tanah di Pidie Jaya sudah lebih duluan terbangun. Gempa berkekuatan 6,5 skala Richter mengguncang bumi Aceh dengan kekuatan yang tidak hanya meruntuhkan bangunan, tetapi juga menggoyahkan rasa aman masyarakat.
Saya memantau dari Banda Aceh kabar duka itu menyebar begitu cepat. Sebagai Kepala Perpustakaan Universitas Syiah Kuala (USK) saat itu, hati saya tergugah.
Keesokan harinya, saya menerima telepon dari Ibu Woro, Deputi Perpustakaan Nasional RI. Suara beliau terdengar tulus, "Pak Taufiq, apakah ada pustakawan kita yang menjadi korban?"
Saya sangat tersentuh oleh perhatian itu, sebuah pengakuan bahwa pustakawan bukan hanya pelayan buku, melainkan juga bagian dari jiwa layanan publik yang harus dijaga.
Belum ada laporan detail, tetapi saya segera menyampaikan bahwa Prof Samsul Rizal, Rektor USK, telah menginstruksikan pembentukan tim tanggap darurat yang dipimpin oleh Prof Khairul Munadi dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) USK.
Sebagai kepala perpustakaan, saya langsung memutuskan untuk bergabung dalam misi tersebut meskipun kami belum tahu pasti apa yang akan kami hadapi.
Saya menugaskan dua staf perpustakaan, Khaizal dan Hendra, untuk turun langsung ke Pidie Jaya melakukan asesmen awal. Hasilnya jelas: tidak ada korban jiwa dari kalangan pustakawan. Namun, trauma menyebar.
Para pustakawan telah berpencar mengungsi dan belum dapat dihimpun kembali. Buku-buku berserakan, rak-rak besi bengkok, dan ruang baca lumpuh.
Saat itu, Kepala Kantor Perpustakaan Kabupaten Pidie Jaya adalah Bapak Bachtiar. Beliau yang menerima langsung kedatangan tim kami.
Perlu dicatat, pada waktu itu status lembaga perpustakaan di Pidie Jaya masih unit setingkat eselon IV di bawah sekretariat daerah. Di tengah kondisi darurat, Pak Bachtiar tetap hadir di lokasi, menyambut tim kami dengan tenang meski kantornya dalam kondisi porak-poranda.
Beliau memberikan gambaran situasi serta kebutuhan mendesak yang dapat kami bantu. Kami melaporkan kondisi itu ke tim USK dan akhirnya bergabung dalam misi kemanusiaan terpadu.
Inilah awal dari misi literasi pascabencana Pidie Jaya. Kami tidak membawa logistik besar, bukan pula alat berat. Kami hanya membawa yang mungkin dianggap sederhana—buku, semangat, dan harapan—tetapi justru itulah yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali ruang-ruang belajar dan berpikir di tengah reruntuhan.
Bersama tim Perpustakaan USK, saya memimpin langsung misi kemanusiaan literasi untuk mendampingi masyarakat yang terdampak.
Kami datang bukan membawa logistik besar, melainkan buku-buku, rak darurat, dan kegiatan literasi sederhana, dengan satu tujuan: menghadirkan kembali harapan melalui pengetahuan.
Kami mengunjungi sekolah-sekolah dan ruang baca yang rusak berat. Salah satu yang paling membekas adalah perpustakaan SMU Negeri 1 Lueng Putu, yang koleksinya berserakan dan raknya roboh. Kami bantu membereskan apa yang bisa diselamatkan.
Di lokasi lain seperti Grong-Grong dan Capa Ulim, kami bertemu anak-anak yang masih diliputi rasa takut. Kami ajak mereka membaca, bermain, menggambar apa saja untuk membuat mereka tersenyum kembali.
Di Meureudu, kantor perpustakaan kabupaten dalam keadaan porak-poranda. Kami bantu menyelamatkan buku yang masih bisa dipakai sambil berdialog dengan pengelola yang tetap bertahan meski ruang kerjanya sudah nyaris tak layak pakai.
Saat itu saya makin yakin, perpustakaan bukan sekadar tempat menaruh buku. Ia bisa menjadi tempat orang-orang mencari ketenangan, membangun semangat, dan perlahan-lahan memulihkan diri.
Namun, saya juga sadar, kerja sukarelawan seperti ini hanya awal. Pemulihan sejati butuh napas panjang. Harus ada orang-orang yang terus menjaga semangat itu ketika sorotan media sudah pergi, ketika para sukarelawan sudah kembali ke kota.
Dan di tengah itulah saya mengenal dua perempuan hebat yang tetap berdiri tegak bersama perpustakaan Pidie Jaya—Ibu Manfajriah dan Ibu Cut Nurlali.
Dua perempuan tangguh, satu mimpi besar
Sebagai Kepala Dinas dan staf andalannya di Perpustakaan Kabupaten Pidie Jaya, mereka memikul tugas berat dalam sunyi.
Tahun 2021, saat mereka mengajukan proposal pembangunan gedung perpustakaan ke Perpusnas, saya turut menyaksikan bahwa proposal itu ditolak karena belum memenuhi standar kualitas perencanaan.
Saya tahu mereka kecewa, tetapi saya juga tahu: mereka tidak menyerah.
Mereka kembali ke kampung, merevisi proposal, menyusun data teknis, dan mengonsultasikan setiap detail. Saya sendiri di tahun 2022 mendapat kabar bahwa proposal mereka sudah siap.
Namun, takdir berkata lain. Tahun itu Pidie Jaya justru tidak termasuk dalam daftar daerah yang diundang oleh Bappenas untuk mengajukan proposal.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana kekecewaan itu nyaris menghentikan langkah mereka. Akan tetapi, ternyata tidak.
Mereka melengkapi seluruh dokumen, memperkuat argumentasi, dan bahkan menggalang dukungan lintas sektor.
Lalu pada tahun 2023, Bupati Pidie Jaya, Aiyub Abbas, turun langsung mempresentasikan proposal itu di pusat. Presentasi itu bukan sekadar dokumen teknis, melainkan itu adalah bukti komitmen daerah, dari pimpinan hingga akar rumput.
Dan akhirnya, Allah Swt merestui ikhtiar itu. Tahun 2024, pembangunan dimulai. Rp10 miliar dialokasikan untuk mendirikan gedung perpustakaan yang kini berdiri megah di tengah kots Meureudu.
Gedung itu kini telah digunakan melayani masyarakat, dan pada 15 April 2025, saya kembali ke tanah ini untuk menyaksikan langsung peresmiannya.
Selama periode 2019 hingga 2025, Kabupaten Pidie Jaya menjadi salah satu daerah penerima bantuan pengembangan perpustakaan paling lengkap di Provinsi Aceh.
Melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik, total bantuan yang telah dikucurkan pemerintah pusat mencapai Rp11 miliar, mencakup pembangunan gedung perpustakaan senilai Rp10 miliar, serta pengadaan perabot (Rp500 juta), perangkat TIK (Rp300 juta), dan bahan pustaka (Rp200 juta).
Pada tahun 2025, dukungan ini dilengkapi dengan DAK Nonfisik sebesar Rp500 juta yang dialokasikan untuk memperkuat program budaya baca masyarakat, pelestarian naskah kuno, dan operasional layanan perpustakaan.
Bantuan ini tidak hanya hadir sebagai wujud dukungan teknis, tetapi juga merupakan bentuk nyata kepercayaan pemerintah pusat terhadap kesiapan dan komitmen Pidie Jaya dalam membangun sektor literasi secara berkelanjutan.
Di luar dukungan anggaran, Perpusnas juga telah menyalurkan berbagai program strategis yang memperkuat dimensi sosial dan edukatif perpustakaan.
Di antaranya adalah bantuan bahan bacaan bermutu untuk 13 desa, satu unit mobil perpustakaan keliling, serta penetapan Pidie Jaya sebagai penerima Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) pada tahun 2022 dan 2023.
Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan perpustakaan di Pidie Jaya bukan semata inisiatif lokal, melainkan juga hasil dari relasi timbal balik antara pusat dan daerah yang saling percaya dan saling mendukung.
Ketika pusat melihat kesiapan dan ketekunan daerah, maka bantuan tidak hanya turun, tetapi juga diarahkan secara strategis untuk menciptakan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan.
Monumen keteguhan
Bagi saya, gedung ini bukan sekadar pencapaian fisik. Ia adalah monumen dari keteguhan dua perempuan pustakawan yang tak pernah menyerah. Ia adalah wujud dari mimpi yang terus diperjuangkan, bahkan ketika ditolak, bahkan ketika dilewati.
Dari pengalaman saya sebagai kepala perpustakaan di masa krisis hingga kini menjadi bagian dari Perpusnas, saya bisa berkata:
Bangkitnya Pidie Jaya adalah pelajaran tentang apa arti keberanian, ketekunan, dan cinta pada literasi. Gedung ini adalah bukti bahwa mimpi tentang masyarakat literat itu bukan utopia, asalkan ada yang setia mengawalinya.
Saya bersaksi, Pidie Jaya sudah membuktikannya.
Semoga kisah Pidie Jaya ini menjadi refleksi bahwa literasi bisa lahir dari puing-puing, dan perpustakaan tak akan pernah runtuh selama ada yang bersedia membangunnya kembali. (*)
*) PENULIS adalah Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi – Perpustakaan Nasional RI. Sebelumnya menjabat Kepala Perpustakaan Universitas Syiah Kuala
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.