Kupi Beungoh

Dari Rakyat, untuk Siapa? Refleksi atas Praktik Anggaran Publik

Di sebuah desa yang jauh dari pusat kota, warga berinisiatif memperbaiki jembatan gantung dengan bahan seadanya.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Intan Farhana, S.E., M.Com, dosen pada Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Saat ini, ia sedang menempuh studi doktoral di bidang Akuntansi Sektor Publik di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia. 

Forum-forum partisipatif seperti musrenbang memang rutin digelar setiap tahun, tetapi efektivitasnya dalam memengaruhi keputusan anggaran kerap terhambat.

Akibatnya, masukan dari masyarakat tidak selalu memiliki daya tawar yang memadai untuk mengubah arah kebijakan.

Ketika ruang pengambilan keputusan tertutup dari partisipasi yang bermakna, masyarakat tidak hanya kehilangan akses terhadap informasi, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk memahami logika moral di balik alokasi anggaran.

Laporan realisasi anggaran mungkin tersusun rapi, angka dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, namun kepentingan masyarakat tetap belum terpenuhi.

Permasalahan klasik seperti tingginya angka kemiskinan dan stunting masih terus bertahan dan berulang menjadi janji politik para calon pemimpin daerah.

Aceh, sebagai provinsi dengan kekhususan tata kelola dan nilai-nilai keislaman dalam struktur kelembagaan, menyimpan banyak pelajaran.

Semangat keadilan sosial, keberpihakan kepada kelompok rentan, serta amanah dalam pengelolaan harta publik adalah nilai-nilai dasar yang sejak awal tertanam dalam filosofi kebijakan daerah.

Namun, seperti halnya daerah lain, Aceh juga menghadapi tantangan besar dalam menjembatani antara nilai dan praktik.

Kompleksitas kelembagaan, tekanan politik lokal, dan ketergantungan pada rutinitas administratif sering kali menghambat penerjemahan nilai-nilai luhur tersebut ke dalam dokumen APBA yang hidup dan berpihak.

Permasalahan bukan semata terletak pada individu atau jabatan tertentu, tetapi pada sistem yang belum mendukung tumbuhnya praktik justifikasi publik yang bermakna.

Dalam sistem penganggaran yang sehat, setiap rupiah seharusnya dapat dijelaskan secara terbuka: mengapa program ini dipilih, mengapa yang lain ditunda, dan siapa yang akan terdampak langsung.

Sayangnya, pertimbangan atas pilihan anggaran masih banyak terjadi di balik meja birokrasi, tanpa melibatkan masyarakat secara luas. Rakyat hanya melihat hasil akhir tanpa pernah diajak memahami dasar moral dari keputusan tersebut.

Konsep akuntabilitas seharusnya tidak berhenti pada laporan kinerja dan audit Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam masyarakat demokratis yang sehat, akuntabilitas mencakup keberanian untuk tampil di hadapan publik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis.

Akuntabilitas juga berarti menyediakan ruang debat, membuka transparansi argumen, dan bersedia mengoreksi arah kebijakan ketika ditemukan ketimpangan.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved