Kupi Beungoh

Dari Rakyat, untuk Siapa? Refleksi atas Praktik Anggaran Publik

Di sebuah desa yang jauh dari pusat kota, warga berinisiatif memperbaiki jembatan gantung dengan bahan seadanya.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Intan Farhana, S.E., M.Com, dosen pada Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Saat ini, ia sedang menempuh studi doktoral di bidang Akuntansi Sektor Publik di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia. 

Jika semua itu tak tersedia, maka yang tersisa hanyalah pengulangan prosedur yang hampa makna, dana publik terbuang percuma.

Anggaran dalam Bingkai Syariah

Aceh yang istimewa agamanya, semestinya mampu menempatkan prinsip-prinsip nilai keislaman dan nilai-nilai universal tata kelola publik sebagai fondasi dalam membangun struktur anggaran yang adil.

Konsep maslahah(kemanfaatan umum), kifayah (kecukupan), dan adl (keadilan) dapat diterjemahkan ke dalam prioritas konkret: memperkuat layanan dasar, menutup kesenjangan antarwilayah, dan memastikan bahwa anggaran menjangkau kelompok yang paling rentan terlebih dahulu.

Namun, semua ini tentu membutuhkan kemauan politik untuk keluar dari zona nyaman birokrasi dan memulai percakapan yang lebih jujur tentang siapa yang sebenarnya dilayani oleh sistem fiskal daerah.

Sudah cukup alokasi anggaran yang hanya fokus pada pembangunan infrastruktur yang tidak terlalu berdampak luas bagi masyarakat.

Sudah waktunya arah anggaran digeser ke program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat: pendidikan, kesehatan, air bersih, dan bantuan sosial.

Ketimpangan selama ini mencerminkan ketidakmampuan merespons kebutuhan rakyat secara utuh.

Paradigma yang lebih Islami seharusnya menempatkan aspek kemanfaatan dan keberpihakan sebagai prioritas utama.

Di Aceh, pengelolaan anggaran yang berlandaskan nilai keislaman juga merupakan bagian dari amanah sejarah.

Nilai-nilai ini seharusnya tidak berhenti sebagai simbol administratif, tetapi dihidupkan dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Dengan demikian, anggaran tidak lagi dipandang hanya sebagai dokumen teknis, melainkan sebagai instrumen perubahan sosial yang konkret dan bermakna.

Perlunya Keberanian Pemimpin Daerah

Tentu, perubahan tidak bisa dicapai dalam semalam.

Namun langkah awalnya bisa dimulai dengan keberanian untuk bertanya secara jujur: apakah anggaran kita hari ini sungguh mencerminkan kebutuhan masyarakat, ataukah sekadar mempertahankan kenyamanan struktur birokrasi?

Apakah proses perencanaan anggaran memberikan ruang untuk koreksi dan masukan dari warga, atau justru terus meneguhkan praktik lama yang terus berulang?

Sebab pada akhirnya, anggaran bukan semata soal uang. Ia adalah cerminan nilai. Soal kepercayaan.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved