Kupi Beungoh
Dari Rakyat, untuk Siapa? Refleksi atas Praktik Anggaran Publik
Di sebuah desa yang jauh dari pusat kota, warga berinisiatif memperbaiki jembatan gantung dengan bahan seadanya.
Soal pertanggungjawaban sosial. Soal janji yang pernah diucapkan oleh negara kepada rakyatnya. Dan janji itu tidak boleh berhenti di meja rapat.
Anggaran daerah harus menjadi refleksi dari kemauan politik untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, bukan hanya mempertahankan status quo yang menguntungkan segelintir pihak.
Salah satu langkah konkret yang bisa ditempuh adalah memperkuat akuntabilitas publik di setiap tahap penganggaran.
Proses penyusunan dan perencanaan anggaran perlu lebih terbuka dan inklusif, dengan melibatkan masyarakat secara lebih aktif.
Forum-forum seperti musrenbang harus dioptimalkan, bukan hanya dijalankan sebagai kewajiban administratif.
Perubahan cara kita memandang dan menyusun anggaran menjadi semakin mendesak ketika kita menyadari bahwa skema Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh akan berakhir pada tahun 2027.
Ketergantungan yang selama ini dibangun terhadap dukungan fiskal pusat harus segera diimbangi dengan reformasi tata kelola dan perubahan orientasi belanja daerah.
Tanpa pergeseran paradigma menuju anggaran yang adil, partisipatif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, kita berisiko menghadapi tekanan fiskal yang besar tanpa kesiapan struktural maupun sosial yang memadai.
Dalam konteks ini, penguatan akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan dalam penganggaran publik bukan sekadar idealisme tata kelola melainkan prasyarat utama agar Aceh mampu bertahan dan tumbuh secara mandiri di fase pasca-Otsus.
Perubahan ini tentu memerlukan waktu, komitmen, dan tentu saja keberanian dari para pemimpin daerah untuk meninggalkan praktik lama yang nyaman namun tidak memberi keberkahan.
Jika tidak dimulai sekarang, kesempatan untuk berubah mungkin akan tertinggal, apalagi di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks ke depan.
Tanpa perbaikan yang signifikan dalam penyusunan dan alokasi anggaran, Aceh terancam stagnan hanya tinggal dalam kenangan masa jayanya pada era Sultan Iskandar Muda. (*)
*) PENULIS merupakan dosen pada Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Saat ini, ia sedang menempuh studi doktoral di bidang Akuntansi Sektor Publik di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel KUPI BEUNGOH lainnya.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.