KUPI BEUNGOH

Mencari Jalan Terbaik untuk Geurutee:Jembatan Spiral, Terowongan, Jembatan Layang atau Revitalisasi?

Keempatnya memiliki kelebihan dan kekurangan yang patut ditimbang secara hati-hati, bukan hanya dari sisi teknis dan biaya, tetapi juga dari aspek..

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Guru Besar Bidang Geologi Kelautan Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Muhammad Irham, S.Si, M.Si. 

*) Oleh: Prof. Dr. Ir. Muhammad Irham, S.Si, M.Si.

KAWASAN Geurutee di pesisir barat Aceh tepatnya di Aceh Jaya memiliki posisi yang sangat strategis dalam sistem transportasi Provinsi Aceh.

Menghubungkan Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya atau tepatnya penghubung provinsi Aceh ke Barat Selatan Aceh, jalur ini adalah bagian dari lintas barat Sumatra yang menghubungkan wilayah-wilayah penting seperti Calang, Meulaboh, hingga Tapaktuan.

Namun, kondisi geografis kawasan ini yang berbukit curam, berhutan lebat, dan berbatasan langsung dengan laut lepas, membuatnya menjadi salah satu jalur paling rawan dan sulit dilalui di Aceh. 

Selama bertahun-tahun, longsor, jalan amblas, dan bahaya tikungan ekstrem menjadi permasalahan yang berulang.

Untuk mengatasi masalah tersebut, muncul empat opsi besar yaitu membangun jembatan spiral Geurutee, membangun jembatan laut, membangun terowongan menembus bukit Geurutee, atau membangun jalan yang merevitalisasi jalan eksisting.

Keempatnya memiliki kelebihan dan kekurangan yang patut ditimbang secara hati-hati, bukan hanya dari sisi teknis dan biaya, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan, dan keberlanjutan jangka panjang.

1. Jembatan Spiral

Jembatan spiral (spiral bridge atau spiral viaduct) adalah struktur inovatif yang dirancang untuk mengakomodasi medan curam dengan membentuk jalur melingkar atau berkelok menurun secara bertahap.

Jika diterapkan di Geurutee, jembatan spiral dapat menggantikan bagian-bagian jalan yang terlalu curam dan rawan longsor.

Dengan desain yang menarik, jembatan ini juga bisa menjadi ikon pariwisata baru di Aceh, menghadirkan pemandangan laut dan pegunungan secara bersamaan dari ketinggian. Namun, jembatan spiral tetap rentan terhadap abrasi, badai, dan korosi akibat lingkungan pesisir.

Jembatan spiral memiliki sejumlah keunggulan signifikan, terutama untuk kawasan berbukit seperti Geurutee.

Struktur ini mampu mengurangi kemiringan tajam, sehingga kendaraan berat tetap aman melintasi tanjakan, bahkan saat hujan.

Karena tidak memerlukan pemotongan lereng secara ekstrem, risiko longsor akibat gangguan tanah juga berkurang, menjadikannya solusi ramah lingkungan.

Selain aspek teknis, jembatan spiral juga unggul dari sisi estetika. Desainnya yang unik dan futuristik berpotensi menjadi daya tarik wisata, seperti Kawazu-Nanadaru Loop Bridge di Jepang.

Dengan demikian, jembatan spiral tidak hanya fungsional, tetapi juga memperkaya nilai visual dan ekonomi kawasan sekitar.

Pembangunan jembatan spiral di Gunung Geurutee menghadapi sejumlah kelemahan dan tantangan serius.

Struktur spiral memerlukan ruang horizontal yang luas, dengan radius putar bisa melebihi 100 meter per putaran.

Ini sulit diwujudkan karena ruang terbatas antara tebing dan laut, sehingga kemungkinan harus menjorok ke laut atau dibangun bertingkat—yang berarti biaya jauh lebih mahal dan fondasi menjadi kompleks di perairan dalam.

Selain itu, konstruksi spiral memerlukan material khusus yang tahan gempa dan abrasi laut.

Jembatan juga rentan terhadap angin kencang dan cuaca ekstrem dari arah Samudra Hindia, serta harus didesain tahan gempa dan tsunami.

2. Tewrowongan

Terowongan Geurutee menawarkan solusi yang lebih modern dan tahan bencana.

Terowongan memungkinkan kendaraan melintas secara aman tanpa menghadapi tanjakan curam atau tikungan tajam.

Terowongan juga lebih aman terhadap gempa bumi, abrasi laut, dan longsor.

Namun, terowongan membutuhkan biaya yang sangat tinggi serta sistem pemeliharaan canggih seperti ventilasi, pencahayaan, dan sistem evakuasi.

Perlu diketahui bahwa Gunnug Geurutee merupakan formasi batuan gamping atau batuan calcium karbonat.

Batuan kalsium karbonat (limestone) memiliki potensi risiko geologi yang signifikan akibat proses karstifikasi, yaitu pelapukan batuan oleh air yang mengandung CO2.

Proses ini membentuk gua, rongga, dan lorong bawah tanah yang menyebabkan ketidakstabilan struktur.

Akibatnya, area permukaan dapat mengalami amblas (sinkhole), dan langit-langit terowongan berisiko runtuh jika tidak diperkuat secara memadai.

Selain itu, sistem karst memiliki aliran air bawah tanah yang kompleks dan sulit diprediksi, yang dapat menyebabkan rembesan atau banjir dalam terowongan.

Oleh karena itu, desain sistem drainase dan waterproofing yang efektif sangat penting.

Limestone juga umumnya memiliki banyak retakan dan diskontinuitas akibat pelarutan dan tekanan tektonik, yang dapat melemahkan kekuatan batuan serta menyulitkan proses pengeboran dan konstruksi.

Evaluasi geoteknik yang menyeluruh sangat diperlukan sebelum pengembangan wilayah berbatu kapur.

3. Jalan Layang

Opsi ketiga adalah Jalan layang (jalan jembatan) serperti konsep jalan tol yang dibangun menyusuri kaki Gunung Geurutee dan dibangun di atas laut.

Jalan layang ini bisa lebih aman dibanding jalan darat biasa di lereng, asal dirancang dan dibangun dengan tepat.

Namun, tetap ada risiko besar yang harus diperhitungkan karena lokasinya sangat kompleks secara geologis dan oseanografis.

Pembangunan jembatan di atas laut menawarkan keuntungan signifikan dari segi keamanan dibandingkan jalan lama yang melewati tebing.

Salah satu manfaat utamanya adalah menghindari risiko longsor langsung. Karena jembatan dibangun sedikit menjauh dari kaki lereng, pengguna jalan tidak lagi berada tepat di bawah lereng curam yang rawan longsor, terutama saat musim hujan. 

Selain itu, jembatan tidak memotong atau menggali lereng gunung, sehingga tidak mengganggu kestabilan tanah atau memperbesar risiko longsor akibat aktivitas konstruksi.

Keuntungan lainnya adalah kemampuan jembatan untuk dirancang secara khusus menghadapi kondisi laut.

Dengan fondasi tiang pancang yang kokoh dan elevasi yang cukup tinggi, struktur jembatan dapat menahan terpaan ombak, pasang surut, bahkan badai laut.

Desain ini memberikan perlindungan jangka panjang dan menjamin kelancaran serta keselamatan transportasi, terutama di wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana alam.

Namun demikian, pembangunan jembatan laut di kaki Gunung Geurutee juga menghadapi berbagai risiko dan tantangan teknis. Wilayah barat Aceh yang langsung menghadap Samudra Hindia rentan terhadap ombak besar dan arus kuat, terutama saat musim barat atau badai.

Selain itu, kondisi laut dalam di sekitar kaki gunung menuntut penggunaan tiang pancang panjang dan kuat, yang memerlukan biaya besar serta teknik konstruksi tingkat tinggi.

Kawasan ini juga terletak di zona megathrust yang aktif secara seismik, sehingga jembatan harus dirancang tahan gempa dengan sambungan ekspansi fleksibel dan struktur yang tidak mudah kolaps saat terjadi tsunami.

Tak kalah penting, lingkungan laut sangat korosif, menyebabkan risiko kerusakan material akibat karat.

Oleh karena itu, dibutuhkan bahan konstruksi tahan korosi, sistem proteksi katodik, dan jadwal pemeliharaan rutin agar jembatan tetap aman dan berfungsi optimal dalam jangka panjang.

Apakah Anda ingin narasi ini dilengkapi dengan ilustrasi atau diagram teknis?

4. Revitalisasi Jalan Eksisting

Opsi keempat adalah revitalisasi jalan eksisting atau pembangunan jalan alternatif.

Ini adalah solusi jangka pendek yang paling murah dan cepat, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah.

Jalan eksisting tetap rawan longsor dan kerusakan akibat cuaca ekstrem.

Sementara pembangunan jalan alternatif menghadapi tantangan besar dalam hal pembebasan lahan dan dampak terhadap lingkungan.

Revitalisasi jalan existing di Geurutee menawarkan keuntungan signifikan, terutama dari segi biaya dan waktu.

Dibandingkan membangun jembatan laut atau terowongan baru, opsi ini jauh lebih ekonomis karena hanya memerlukan pelebaran, perkuatan lereng, peningkatan sistem drainase, serta pemasangan pelindung jalan. 

Proses pengerjaannya pun relatif cepat karena memanfaatkan infrastruktur jalan yang sudah ada, sehingga hanya perlu ditingkatkan secara teknis.

Selain itu, revitalisasi ini menghindari tantangan besar seperti konstruksi di laut dalam maupun pengeboran batuan karbonat yang rawan pelarutan, sebagaimana ditemukan dalam pembangunan terowongan. Solusi ini efisien dan praktis.

Revitalisasi jalan existing di Geurutee menghadapi tantangan dan risiko serius.

Meskipun diperkuat, risiko longsor tetap tinggi karena struktur geologi gunung terdiri dari batuan karbonat lapuk dengan banyak retakan alami.

Lereng yang labil ini memerlukan perawatan jangka panjang yang intensif, seperti pembersihan material longsor dan pengecekan rutin struktur penahan. 

Dalam jangka panjang, biaya pemeliharaan bisa mendekati biaya pembangunan infrastruktur baru.

Selain itu, saat cuaca buruk, jalan rawan tertutup longsor atau pohon tumbang, mengganggu konektivitas. Ruang sempit antara tebing dan laut juga membatasi pelebaran jalan, menyulitkan pengembangan kapasitas jalur.

Kesimpulan

Jika dilihat dari ketahanan terhadap bencana, efisiensi jangka panjang, dan keberlanjutan, maka Jalan Layang menjadi pilihan paling strategis.

Meskipun mahal, ia memberikan keamanan, efisiensi, dan kestabilan akses jangka panjang.

Terowongan Geurutee merupakan opsi kedua yang patut diperhitungkan juga. Membangun terowongan lebih mahal dari jembatan layang ditambah dengan formasi geologi batuan kars yang susah untuk diprediksi.

Jembatan spiral dapat menjadi pelengkap pada bagian tertentu, sementara revitalisasi jalan lama dapat tetap dilakukan sebagai solusi sementara.

Sebagai penutup bahwa keputusan pembangunan infrastruktur di Geurutee tidak boleh didasarkan pada pertimbangan jangka pendek semata.

Dibutuhkan visi jangka panjang, keberanian politik, dan komitmen investasi untuk menjadikan wilayah ini benar-benar tangguh dan terhubung secara aman.

Geurutee adalah pintu gerbang wilayah Barat Selatan Aceh, dan infrastruktur yang tepat akan menentukan masa depan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi kawasan ini. (*)

*) PENULIS adalah Guru Besar Bidang Geologi Kelautan Universitas Syiah Kuala

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved