Jurnalisme Warga
Dua Wajah Aceh: Budaya Pesisir dan Pedalaman
Julukan “Serambi Makkah” bukanlah semata gelar kosong, melainkan cermin dari kekayaan nilai-nilai keislaman yang tumbuh kuat dalam denyut nadi setiap
SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh, serta novelis, melaporkan dari Aceh
Aceh adalah sebuah tanah yang sarat dengan sejarah, tempat di mana gema azan bersahut-sahutan sejak ratusan tahun lalu dan ayat-ayat suci Al-Qur’an menjadi napas kehidupan masyarakatnya.
Julukan “Serambi Makkah” bukanlah semata gelar kosong, melainkan cermin dari kekayaan nilai-nilai keislaman yang tumbuh kuat dalam denyut nadi setiap kampung dan kota di tanah ini.
Namun, di balik wajah religiusnya yang begitu dikenal, Aceh sejatinya memiliki banyak lapisan budaya yang membentuk keunikan identitas kolektif masyarakatnya. Dua di antaranya yang paling mencolok adalah budaya masyarakat pesisir dan budaya masyarakat pedalaman—dua arus nilai yang lahir dari ruang geografis yang berbeda—tetapi tetap tumbuh dari akar sejarah yang sama.
Masyarakat pesisir Aceh, yang hidup di wilayah-wilayah seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat, hingga Aceh Selatan, telah lama bersentuhan dengan dunia luar.
Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang garis pantai Samudra Hindia menjadi saksi bisu datang dan perginya para saudagar dari Arab, India, Cina, hingga Eropa. Dari interaksi yang berlangsung turun-temurun inilah masyarakat pesisir membentuk karakter yang cenderung lebih terbuka, lentur, dan adaptif terhadap perubahan. Keterbukaan ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan mereka, mulai dari bahasa yang banyak menyerap kosakata asing, hingga seni dan kuliner yang sarat akulturasi budaya.
Kesenian seperti tari seudati, likok pulo, dan pertunjukan rapai Pase bukan hanya hiburan, melainkan juga cara masyarakat pesisir mengekspresikan semangat gotong royong, keberanian, dan nilai-nilai keagamaan.
Sebaliknya, masyarakat pedalaman Aceh seperti yang tinggal di Dataran Tinggi Gayo, Alas, atau Singkil tumbuh dalam lanskap yang lebih sunyi, dikelilingi pegunungan dan hutan lebat. Jarak geografis ini menciptakan ruang budaya yang berbeda: lebih tertutup, lebih menjaga ritus dan tradisi, serta lebih berhati-hati dalam menerima perubahan.
Masyarakat pedalaman terkenal dengan adatnya yang kuat, sistem kekerabatan yang kental, serta penghormatan tinggi terhadap tetua dan leluhur. Di sana, tari-tarian seperti guel, didong, dan musik kerawang bukan sekadar pertunjukan, melainkan juga bagian dari ritual sosial yang memiliki makna spiritual mendalam. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pedalaman menjaga bahasa ibu mereka dengan sangat serius, seperti bahasa Gayo dan Alas yang masih aktif digunakan dalam pergaulan, pengajaran, dan upacara adat.
Yang menarik, meskipun dua budaya ini memiliki ekspresi yang berbeda—satu terbuka, yang lainnya tertutup—keduanya bertumpu pada nilai utama yang sama: keberagamaan dan penghormatan terhadap adat. Falsafah hidup masyarakat Aceh yang berbunyi “hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut” (hukum dan adat seperti zat dan sifat) menegaskan bahwa hukum agama dan adat tidak bisa dipisahkan. Dalam budaya Aceh, agama dan adat tidak bersaing atau bertabrakan, tapi bersinergi dan saling menguatkan.
Upacara-upacara adat pernikahan, sunatan, panen, bahkan kematian, selalu dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Nilai kesopanan, tata krama, dan kehormatan menjadi fondasi moral yang dijunjung bersama, baik di pesisir maupun di pedalaman.
Namun, seperti banyak budaya lain di dunia, Aceh hari ini juga berada di persimpangan zaman. Globalisasi dan perkembangan teknologi membawa perubahan besar yang tak terhindarkan. Generasi muda Aceh tumbuh dalam era digital. Batas-batas ruang dan nilai menjadi lebih cair. Mereka lebih mengenal budaya Korea, Amerika, atau Jepang lewat media sosial dan hiburan digital daripada memahami kisah para leluhur mereka sendiri. Bahasa daerah mulai jarang digunakan di rumah. Tradisi-tradisi lama semakin jarang diwariskan, bahkan mulai dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Kesenian lokal hanya tampil di acara-acara seremonial, bukan lagi menjadi bagian dari kehidupan harian.
Namun, di tengah gelombang modernitas itulah muncul semangat baru dari generasi muda yang ingin kembali ke akar, mencari identitas yang utuh, dan mempertemukan masa lalu dengan masa depan. Mereka menggunakan media sosial untuk mengenalkan budaya Aceh ke dunia. Mereka menciptakan lagu rap dengan lirik bahasa daerah, membuat film pendek dengan tema adat, dan menulis buku-buku yang mengangkat kearifan lokal.
Budaya Aceh, dalam segala wajahnya—baik yang tumbuh di pesisir maupun yang hidup di pedalaman—adalah mozaik besar yang membentuk jiwa bangsa ini. Ia bukan benda mati yang usang dan ditinggalkan, tapi organisme hidup yang bisa tumbuh, berubah, dan beradaptasi seiring zaman. Kita hanya perlu satu hal: kesadaran. Kesadaran bahwa menjaga budaya bukan berarti menolak kemajuan, tetapi memastikan bahwa saat kita maju, kita tidak lupa dari mana kita berasal. Karena pada akhirnya, budaya adalah rumah pulang. Dan Aceh, dengan segala keunikannya, adalah rumah yang tak pernah boleh dilupakan.
Menjaga budaya lokal di tengah arus globalisasi bukanlah perkara mudah, terlebih bagi generasi muda yang kini tumbuh dalam lingkungan digital dan serba instan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.