Kupi Beungoh

Dari Pica ke Stecu, Dek Tia pun Bernyanyi: Catatan Sosial atas Irama, Budaya, & Tanggung Jawab Kita

Fenomena ini secara sosiologis mencerminkan konsep glokalisasi pertemuan antara budaya global dan kearifan lokal.

Editor: Amirullah
istimewa
Siti Arifa Diana, S.Sos, MA. Alumni Magister Sosiologi di Selcuk University, Turkiye. Seorang Penikmat Literasi. 

Viralitas memiliki dua wajah. Ia bisa mengangkat suara yang selama ini terpinggirkan, tapi juga bisa menyesatkan jika tidak didampingi. Terutama untuk anak-anak dan remaja yang lebih mudah menyerap tanpa menyaring. Apalagi dengan algoritma TikTok yang terus merekomendasikan konten serupa, mereka bisa terjebak dalam dunia yang hanya berisi suara dan gambar tanpa arah.

Orang tua dan guru bukan lagi satu-satunya penjaga nilai. Kita semua, termasuk pembuat konten dan penikmatnya, memegang peran dalam menciptakan ruang digital yang sehat. Itu bisa dimulai dari hal sederhana: memberi caption yang mendidik, membuat remix yang ramah anak, atau menambahkan konteks budaya dalam deskripsi konten.

Viral itu bukan dosa. Tapi jika dibiarkan tanpa arah, ia bisa jadi tsunami yang menggulung nilai-nilai penting dalam masyarakat. Maka pendampingan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.

Menyelaraskan Irama: Menghibur dengan Makna

Lagu-lagu viral ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia rindu akan hiburan yang dekat, ringan, dan menyenangkan namun tetap punya nilai. Musik yang membawa elemen lokal membuat kita merasa terhubung, meski berbeda daerah dan latar belakang.

Dalam dunia yang semakin cepat dan penuh tekanan, musik seperti ini menjadi oasis. Ia memberi ruang untuk tertawa, bergerak, dan merasa “pulang” ke akar budaya, meski hanya sebentar. Tapi alangkah baiknya jika momen itu bisa juga jadi titik refleksi, bahwa kita punya warisan besar yang bisa terus dihidupkan, bukan sekadar dikomersialisasi.

Menghibur tidak harus meninggalkan makna. Justru ketika hiburan mampu menyentuh rasa, ia akan bertahan lebih lama. Lagu “Tia Monika” bisa jadi hanya berlangsung 15 detik di TikTok, tapi jika ia membawa cerita kampung halaman atau simbol cinta sederhana dalam budaya kita, maka ia punya makna yang jauh lebih dalam.
Di sinilah peran seniman dan kreator konten menjadi penting.

Mereka bisa menjadi kurator budaya menyeleksi, mengemas, dan menyampaikan nilai lewat cara yang menyenangkan. Karena pada akhirnya, budaya bukan hanya soal masa lalu, tapi bagaimana kita merayakannya hari ini dan menjaganya untuk masa depan.

Akhirnya, seperti irama yang seimbang: kita bisa menari, bisa tertawa, tapi juga tetap tahu arah. Dan mungkin, di sanalah letak nada budaya kita yang paling jujur.


PENULIS Siti Arifa Diana, S.Sos, MA. Alumni magister Sosiologi Selcuk University, Turkiye. Penikmat Literasi.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved