Kupi Beungoh

Kemiskinan, Ketahanan Sosial, dan Agama

Dalam hal ekonomi dan politik, Aceh adalah provinsi termiskin di Sumatera, dengan pertumbuhan ekonomi terendah di Indonesia, tapi paling bahagia

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS
Jabal Ali Husin Sab, pegiat di Komunitas Menara Putih. 

Namun kita juga tidak dapat menafikan konsekuensi sosial besar yang membuat masyarakat Barat terlalu terjerumus dalam semangat mengumpulkan sumber daya materil yang membuat masyarakatnya goncang secara psikologis dan mengalami beberapa permasalahan sosial serius seperti rusaknya tatanan keluarga dan hilangnya keseimbangan kehidupan sosial individu, bahkan hal ini menyebabkan beberapa masalah lain seperti depopulasi, anak yang kehilangan sosok ayah (fatherless), serta berbagai permasalahan sosial lain. 

Tak heran mengapa hari ini wacana-wacana baru muncul seperti work-life balance, slow-living dan populernya filsafat kuno Stocisime yang mengajarkan kehidupan dan cara pandang yang jadi antitesis atas modernitas. 

Islam tidak mengajarkan kehidupan dunia yang mengedepankan asketisme secara total. 

Islam bahkan mengajarkan pola-pola transaksi ekonomi seperti murabahah, musyarakah, dan lain-lain, yang tujuannya adalah untuk mendorong terciptanya kemakmuran dunia–bisa dimaknai dengan artian bahwa terciptanya pertumbuhan ekonomi untuk kemaslahatan masyarakat. 

Di sisi lain, Islam juga menggarisbawahi bahwa kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir. 

Kegiatan ekonomi, transaksi perdagangan, pertanian, industri, dan pengolahan sumber daya alam tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupan manusia dalam mencapai kemakmuran, sebagai bagian dari memakmurkan bumi yang jadi salah satu perintah Allah. 

Dengan akidah dan keyakinan yang tepat, umat Islam melakukan aktivitas kerja dan kegiatan ekonomi untuk memudahkan kehidupannya dalam menghambakan diri kepada Tuhan. 

Dengan melihat tanggung jawab spiritual dan pemenuhan kehidupan dunia melalui jalan tengah, Islam mengajarkan keseimbangan yang sesuai dengan fitrah manusia. 

Ketika kehidupan berjalan seimbang sesuai fitrah, maka kehidupan manusia akan berada dalam harmoni. 

Sementara apabila manusia cenderung ke salah satu titik ekstrim, akan menimbulkan chaos dan memberikan dampak dan konsekuensi yang merusak tatanan kehidupan manusia. 

Jika kita hari ini melihat masyarakat kita cenderung kepada agama, tetapi agama tidak membuat tegaknya keadilan sosial di tengah masyarakat, mendorong pembangunan yang adil dan merata, membuat masyarakat punya etos kerja yang kuat dan profesional, maka ada kesalahan dalam cara beragama, sehingga maslahat atau salah satu tujuan yang diinginkan agama tidak terlaksana. 

Sementara di sisi lain, apabila masyarakat kita produktif dan punya etos kerja yang baik, namun cenderung mementingkan diri sendiri, tak punya empati untuk tolong-menolong, mencurahkan seluruh daya upaya untuk pemenuhan materi dan mengumpulkan kapital, namun seringkali bertindak oportunis mementingkan diri sendiri, hal ini juga menjadi masalah dalam cara beragama. 

Jika cara beragama kita benar, yakni mengedepankan keseimbangan dan jalan tengah, maka tujuan-tujuan duniawi serta hal-hal spiritual bersifat ukhrawi sebagai maslahat agama, keduanya akan dapat tercapai. 

 

*) PENULIS adalah pengamat sosial, pegiat di Komunitas Menara Putih.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved