Kupi Beungoh

Di Balik “Megahnya” Wacana Ekraf Aceh

Sebelum Ekonomi kreatif digalakkan, UMKM juga sering dijadikan jargon sebagai solusi strategis untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Aceh

Editor: Amirullah
ist
Akhsanul Khalis - Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center 

Sedangkan untuk usaha yang sudah stabil dan mampu mempekerjakan orang lain, justru didapati pekerja  menerima gaji perbulan masih relatif rendah, bahkan tidak sesuai dengan jam kerja. Rata-rata mahasiswa yang baru lulus, mereka terjebak dengan istilah bekerja sampingan pada bisnis UMKM yang terkadang lekat dengan ekonomi kreatif, namun realitanya beban kerja justru eksploitatif. 

Selama ini narasi kreativitas dan inovasi yang diusung pemerintah tidak lebih euforia sesaat. Kelihatanya, pemerintah belum berkomitmen dan konsisten melakukan audit dan evaluasi terhadap pelaku bisnis ekonomi kreatif di Aceh dari hulu ke hilir. Pemerintah hanya berusaha memindahkan beban pembangunan ekonomi ke pundak individu tanpa infrastruktur pendukung yang memadai. Pemerintah hanya tampil bekerja sebagai pemberi motivasi, tapi bukan sebagai penjamin bagi pekerja. 

Jaminan Pekerja Informal

Menerima kenyataan atas kondisi pekerja informal di Aceh tidaklah mudah, pemerintah lebih senang  mengklaim potensi keberhasilan dalam ekonomi kreatif ataupun UMKM, tanpa sungguh-sungguh memastikan dan fokus pada masalah moda produksi: kekuatan produksi dan hubungan produksi di sektor  ekonomi kreatif. 

Pertama, konteks kekuataan produksi yang integratif, dimulai dari akses modal yang adil dan inklusif agar usaha berkelanjutan, hingga penyediaan fasilitas produksi. Di saat yang sama, diberikan pelatihan vokasi dan edukasi pemasaran berbasis platform digital agar mudah diterima pasar. 

Kedua, terkait hubungan produksi di sektor informal. Lebih jauh, pemerintah perlu memastikan hubungan sosial pelaku ekonomi kreatif, khususnya antara pemilik bisnis dan pekerja, pekerja wajib mendapatkan pengakuan hukum dan jaminan sosial. 

Skema perlindungan pekerja informal, seperti gaji harus  sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000 yang kemudian diperkuat dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tentang UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) atau UMP (Upah Minimum Provinsi), kemudian subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan, perlu diterapkan secara luas dan konsisten. 

Oleh demikian, membangun ekonomi kreatif tidak hanya sekedar semangat inovasi, bersifat “showbiz”. Nyatanya tidak sesederhana itu, apapun dibalik kegiatan ekonomi kreatif ada fondasi keberadaan manusia bermartabat yang bekerja. Tanpa keberpihakan pada mereka yang rentan, narasi kreativitas hanya menjauhkan masyarakat dari tujuan utama pembangunan: kesejahteraan yang adil bagi semua. Harapan,  semoga melalui terobosan Kementerian Ekraf yang baru dibentuk, dapat memberikan kepastian bagi iklim ekonomi kreatif dan  pengakuan atas hak pekerja di Aceh. 

 

Penulis: Akhsanul Khalis adalah Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center dan Alumni Ilmu Politik Fisip USK dan Magister Administrasi Publik UGM
Email: Akhsanfuqara@gmail.com

KUPI BEUNGOH adalah opini pembaca Serambinews.com. Isi dari setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved