Kupi Beungoh
Mualem akan Ketemu Bobby di Medan?: Rencong Kiri-Kanan, Pulau jangan Hilang – Bagian 3
Ironi ini bukan main. Yang dahulu membuat Indonesia kalah di luar negeri, kini diterapkan oleh Indonesia sendiri di dalam negeri.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Di medan politik, simbol adalah segalanya.
Dan di Aceh, tak ada simbol yang lebih sakral dari rencong. Ia bukan sekadar senjata tradisional--tapi lambang harga diri, keberanian, dan kewaspadaan.
Karena itu, ketika publik mendengar kabar bahwa Muzakir Manaf alias Mualem--mantan Panglima GAM dan tokoh utama dalam dunia politik Aceh pasca-damai--akan bertolak ke Medan untuk bertemu Bobby Nasution, Gubernur Sumut, sebuah cerita anekdot dari tanah perantauan kembali hidup.
Bukan karena lucu, tapi karena terasa menyentil.
Konon, ada seorang toke Aceh yang baru seminggu tiba di Medan.
Pedagang yang dikenal tangguh ini selalu membawa dua rencong--kiri dan kanan--kemana pun ia pergi.
Suatu hari, setelah makan di warung, ia hendak membayar, tapi dompetnya hilang.
Diduga dicopet. Ia pun mengomel dengan suara besar, dan akhirnya dengan gaya Aceh sejati, berdiri dan berteriak lantang:
“Rencong kiri-kanan, dompet bisa hilang, pukimak orang Batak!”
Teriakan itu rupanya terdengar oleh preman setempat.
Preman itu segera menghampiri dengan wajah keras dan suara tinggi.
“Pukimak siapa kau bilang?”
Si Aceh terdiam.
“Pukimak siapa kau bilang?” bentaknya lagi.
Si toke, yang baru seminggu di Medan dan belum tahu arah angin di tanah orang, lalu menjawab dengan gugup, “Pukimak saya sendiri lah.”
Lucu? Mungkin.
Tapi kisah ini berubah jadi satire pahit ketika kita bayangkan: bagaimana jika Mualem, sang rencong kiri-kanan itu, akhirnya mengangguk di Medan ketika ketemu Boby , menyetujui pengalihan empat pulau dari Aceh Singkil ke Sumatera Utara?
Maka bukan dompet yang hilang, melainkan empat pulau sekaligus.
Dan teriakan kecewa rakyat Aceh tak akan bisa disembunyikan dengan jawab, “pukimak saya sendiri lah.”
Empat pulau itu--Pulau Mangkir Besar, bersama Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.-selama ini dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Pemerintah Aceh hadir di sana, melalui rumah ibadah, prasasti, dermaga nelayan, berbagai bukti fisik lainnya, dan pengakuan sosiologis masyarakat nelayan Sibolga dan Tapanuli Tengah.
Tapi kini, keempat pulau itu dipindahkan secara administratif ke Sumatera Utara.
Bukan karena ada konflik, bukan karena rakyatnya minta, tapi karena selembar surat dari Kementerian Dalam Negeri.
Lalu sekarang, ketika Aceh menunjukkan memiliki semua unsur “pengelolaan aktif” atas empat pulau itu, pemerintah pusat justru mencabutnya.
Ironi ini bukan main.
Yang dahulu membuat Indonesia kalah di luar negeri, kini diterapkan oleh Indonesia sendiri di dalam negeri.
Dan kita tahu, ini bukan cuma soal peta.
Ini soal martabat.
Soal konsistensi.
Soal keadilan.
Baca juga: Jakarta, Aceh, Singkil: Mangkir Bukan Sekadar Nama Pulau – Bagian 1
Baca juga: Pulau Ligitan, Sipadan, dan Empat Pulau Singkil: Keadilan yang Terbalik – Bagian 2
Spekulasi Tekanan Politik
Bila logika Ligitan-Sipadan diterapkan pada kasus ini, maka seharusnya keempat pulau itu tetap dalam wilayah Aceh.
Tapi sayangnya, urusan ini tak ditentukan oleh akal sehat atau hukum, melainkan oleh politik: siapa menantu siapa, siapa gubernur mana.
Banyak rakyat Aceh kecewa.
Apalagi saat beredar kabar bahwa sebelumnya Mualem menolak bertemu Bobby saat sang Gubernur Sumut datang ke Banda Aceh.
Mualem disebut malah meninggalkan pertemuan untuk rapat internal dan berangkat ke Pantai Barat Selatan.
Tapi kini, ia malah akan datang ke Medan?
Tentu pertanyaan publik menggelinding: ada apa?
Apakah ia datang untuk menyatakan “time out” dulu gubernur Bobby?
Ataukah justru untuk meneguk pahitnya kompromi?
Tak sedikit yang berspekulasi bahwa Mualem tengah ditekan.
Tekanan bisa berwujud banyak hal: dari rayuan politik, hingga bayangan “blackmail”.
Hal ini sudah lama tak terjadi, walau ini bukan hal asing di Indonesia.
Apalagi jika yang dihadapi adalah menantu Mantan Presiden dan abang ipar Wakil Presiden.
Politik, kita tahu, punya banyak cara untuk membuat orang diam, bahkan berbalik arah.
Dan publik Aceh tahu pula, Mualem bukan orang sembarangan.
Ia bukan politisi biasa.
Ia adalah simbol perlawanan, penerus amanah sejarah.
Tapi dalam sejarahnya, ia juga beberapa kali melakukan koreksi atas pernyataannya sendiri ketika ada tekanan yang tak mampu ia redam.
Lentur ketika angin terlalu kencang, keras ketika angin tenang.
Maka pertanyaan paling mendasar adalah: apakah ia akan tetap rencong kiri-kanan… atau justru jadi seperti si pedagang Medan itu tadi?
Jika Mualem keluar dari pertemuan di Medan dan menyatakan bahwa “Boby teman baik dan saudara kita, demi kepentingan bersama, Aceh ikhlas melepas empat pulau itu”, maka dunia tahu: bukan hanya pulau yang hilang, tapi wajah Aceh yang dicoreng.
Rencong itu tak lagi sakral.
Ia hanya simbol kosong yang dikalungkan dalam seremoni politik.
Tentu, Mualem masih punya pilihan.
Ia bisa menolak halus secara diplomatis sambil senyum dan meyeruput teh di kediaman Boby.
Ia bisa mengembalikan kepercayaan.
Ia bisa berkata tidak, bahkan jika itu berarti berdiri sendiri di tengah tekanan.
Bahkan ia bisa berbalik arah, datang ke Prabowo, orang yang dia perjuangkan menang besar dua kali dalam Pilpres 2014 dan 2019.
Ia akan datang secara rahasia atau membawa tokoh-tokoh masyarakat Aceh, atas nama memastikan “konstruksi” perdamaian selama 20 tahun itu kokoh dan berlanjut.
Ia bersama Prabowo memastikan bahwa perdamaian Aceh tidak tercoreng dengan tinta hitam, akibat keputusan tak jelas pemerintahan Jokowi.
Mualem baru diingat sebagai pemimpin sejati jika ia setia kepada sukma dan ingatan rakyatnya, bukan takut pada posisi kasak kusuk di peta kekuasaan.
Dan satu hal yang harus kita ingat baik-baik: jika empat pulau itu hilang begitu saja, bukan mustahil besok-besok daratan ikut digeser.
Hari ini Singkil, besok barangkali Simeulue, Singkil Daratan, atau Aceh Tamiang.
Baca juga: Bertemu Mualem, Bobby Tawar Kelola 4 Pulau Singkil Secara Kolaboratif, Haji Uma: Bukan itu Mau Kami
Jika pusat terus menguji kesabaran rakyat Aceh, maka jangan kaget jika akhirnya rakyat Aceh memilih caranya sendiri dalam “DNA diam” antar generasi.
Jangan katakan ini sekadar isu administratif.
Ini bukan soal batas wilayah.
Ini adalah test litmus: apakah Aceh masih dihormati sebagai entitas yang diatur secara khusus oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh, ataukah sudah kembali jadi provinsi biasa yang bisa dicubit, dipotong, dan dibentuk ulang sesuka oknum pemerintah pusat?
Jangan sampai nanti sejarah menertawakan Mualem dan rakyat Aceh: karena Aceh dan Mualem begitu sibuk menjaga simbol dan seremoni, hingga tak sadar wilayahnya hilang satu demi satu.
Jangan sampai Mualem, atau bahkan Aceh hari ini, menjadi si pedagang itu --membawa rencong kiri-kanan, tapi ketika pulau hilang, Aceh hanya bisa menyumpahi diri sendiri.(Bersambung)
Baca juga: VIDEO Ratusan Warga Aceh Singkil Duduki Empat Pulau Sengketa, Tolak Keputusan Pemindahan ke Sumut
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
pulau yang hilang
Pulau Aceh Direbut Sumut
sengketa pulau
rencong kiri kanan dompet bisa hilang
Bobby Nasution
Mualem
Muzakir Manaf
kupi beungoh
Humam Hamid
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.