Kupi Beungoh
Koperasi Merah Putih Syariah: Jalan Menuju Rujukan Dunia Islam?
setelah lebih dari satu dekade, implementasi ekonomi syariah di Aceh belum banyak menunjukkan transformasi mendalam.
Oleh: Muhammad Nasir*)
PROVINSI Aceh memiliki mandat istimewa dalam mengimplementasikan syariat Islam melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam kerangka hukum ini, Aceh diberi ruang luas untuk membangun sistem ekonomi yang berbasis nilai-nilai Islam.
Namun, setelah lebih dari satu dekade, implementasi ekonomi syariah di Aceh belum banyak menunjukkan transformasi mendalam.
Gagasan besarnya kerap terjebak dalam simbolisme normatif tanpa menyentuh struktur ketimpangan dan keadilan ekonomi yang menjadi ruh ekonomi Islam.
Transformasi bank syariah melalui Qanun Lembaga Keuangan Syariah (2018) patut diapresiasi sebagai langkah awal.
Tetapi bila dicermati, transformasi tersebut belum mampu menampilkan wajah ekonomi Islam yang adil, produktif, dan partisipatif.
Sistem pembiayaan masih dominan mengandalkan margin tetap, prinsip musyarakah-mudharabah hanya hadir dalam dokumen, dan pelaku ekonomi mikro tetap sulit mengakses keuangan syariah.
Di sinilah Koperasi Merah Putih Syariah hadir bukan sekadar sebagai alternatif kelembagaan, tetapi sebagai koreksi paradigma dan desain ulang ekosistem ekonomi syariah yang lebih membumi.
Koperasi sebagai Institusi Etis
Koperasi, dalam konsep dasarnya, sangat dekat dengan prinsip ekonomi Islam: partisipatif, inklusif, dan menolak dominasi modal atas tenaga kerja. Prinsip syirkah (kemitraan), ta'awun (tolong-menolong), dan 'adalah (keadilan) tercermin dalam asas koperasi yang mengedepankan pemerataan dan solidaritas.
Namun, koperasi syariah seringkali tidak diberi tempat yang layak dalam kerangka regulasi ekonomi Islam formal.
Saat ini belum ada qanun khusus yang secara komprehensif mengatur koperasi syariah di Aceh.
Padahal, kekosongan regulatif ini membuat koperasi terpinggirkan dibanding sektor perbankan.
Diperlukan regulasi baru yang tidak hanya menyesuaikan istilah fikih pada struktur koperasi, tetapi juga mengatur model tata kelola, transparansi, serta akuntabilitas berbasis maqashid al-syari’ah.
Qanun koperasi syariah seharusnya tidak berhenti pada legal-formalitas, tetapi menjadi arsitektur etis bagi praktik ekonomi Islam yang menjawab problem keadilan sosial.
SDM Koperatif: Dari Wawasan ke Kapasitas
Sumber daya manusia adalah kunci keberhasilan koperasi syariah.
Aceh memiliki potensi besar dari jaringan akademisi, pesantren, aktivis ekonomi Islam, dan praktisi koperasi.
Namun, potensi belum tentu kesiapan.
Banyak pengelola koperasi belum memahami secara memadai prinsip-prinsip muamalah kontemporer, seperti murabahah, istishna, wakalah bil ujrah, hingga mitigasi risiko berbasis syariah.
Untuk itu, dibutuhkan program penguatan kapasitas yang berkelanjutan--meliputi pelatihan teknis, sertifikasi syariah, serta inkubasi kelembagaan berbasis kampus.
Perguruan tinggi di Aceh, seperti UIN Ar-Raniry, Universitas Syiah Kuala, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Universitas Malikussaleh, UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, Universitas Teuku Umar, dan Universitas Samudra di Langsa, semestinya tidak hanya berperan sebagai penyedia tenaga kerja, tetapi tampil sebagai simpul strategis dalam pengembangan ekosistem koperasi syariah yang progresif dan berkelanjutan.
Ekosistem yang Terintegrasi
Ekonomi Islam tidak bisa berkembang dalam ruang institusi yang terisolasi.
Dibutuhkan ekosistem yang terintegrasi antara koperasi, baitul mal, lembaga fatwa (MPU), otoritas fiskal, dan sektor UMKM.
Sayangnya, relasi antar-lembaga di Aceh masih bersifat sektoral dan kurang sinergis.
Sudah saatnya dibentuk Komite Ekosistem Ekonomi Syariah Daerah yang menyatukan regulasi, pembiayaan sosial, dukungan fiskal, dan pembinaan usaha dalam satu kerangka terkoordinasi.
Koperasi yang hidup dalam ekosistem seperti ini akan lebih mampu menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat, bukan hanya sekadar menjadi instrumen administratif.
Dari Akad ke Etika Ekonomi
Tantangan utama koperasi syariah bukan pada minimnya akad, tetapi pada pemahaman terhadap etika ekonomi Islam yang melekat pada akad tersebut.
Dalam banyak praktik, akad murabahah atau musyarakah disulap menjadi skema pembiayaan margin tetap--tanpa risiko, tanpa kemitraan sejati.
Prinsip syariah tidak berhenti pada kesesuaian kontrak, tetapi harus mencerminkan niat yang adil, distribusi manfaat yang proporsional, dan semangat solidaritas.
Instrumen seperti qard hasan dan wakalah seharusnya menjadi alat pemberdayaan, bukan justru dibebani birokrasi dan jaminan yang menyulitkan masyarakat kecil. Koperasi syariah perlu menampilkan nilai, bukan sekadar terminologi.
Menolak Syariah Kosmetik
Kritik terhadap fenomena “syariah kosmetik”--di mana istilah fikih hanya digunakan untuk membungkus produk yang substansinya masih konvensional—terus menguat.
Dr. Akram Laldin dari ISRA menyoroti banyak produk keuangan syariah yang sekadar meniru struktur akad klasik, tanpa mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial.
Lebih tajam lagi, Dr. Erwandi Tarmizi menyebut sebagian produk perbankan syariah sebagai “kamuflase riba.”
Kritik ini bukan semata retorika, tetapi peringatan terhadap bahaya formalisme dalam ekonomi Islam yang justru menjauh dari cita-cita maqashid.
Sheikh Taqi Usmani bahkan menegaskan bahwa ekonomi syariah sejati tidak cukup Shari’ah-compliant, tetapi harus Shari’ah-based—berbasis nilai, bukan hanya prosedur.
Dalam konteks ini, Koperasi Merah Putih Syariah memiliki peluang besar untuk tampil sebagai pelopor transformasi substantif.
Ia dapat menjadi representasi dari semangat ekonomi Islam yang sejati—yang berpihak pada yang lemah, yang membagi hasil dan risiko secara adil, dan yang menghadirkan kemakmuran kolektif.
Aceh sebagai Laboratorium Ekonomi Islam
Aceh memiliki semua prasyarat untuk menjadi pusat inovasi ekonomi Islam dunia.
Ia memiliki legitimasi politik, warisan historis, dan basis kultural yang kuat.
Namun, untuk mentransformasikannya menjadi model global, dibutuhkan penguatan tiga pilar utama.
Pertama, etos intelektual yang adaptif—yakni keberanian menafsirkan fikih muamalah secara kontekstual dan progresif.
Kedua, struktur kelembagaan koperasi yang efisien, transparan, dan profesional. Ketiga, keberpihakan politik yang nyata dalam bentuk insentif, dukungan fiskal, dan regulasi yang konsisten.
Jika ketiga pilar ini dapat disinergikan, maka Aceh bukan hanya akan tampil sebagai simbol ekonomi syariah, tetapi sebagai laboratorium percontohan bagi dunia Islam.
Koperasi Merah Putih Syariah dapat menjadi prototipe kelembagaan yang tidak hanya legal secara syariah, tetapi juga berdampak secara sosial dan produktif secara ekonomi.
Jalan Panjang Menuju Ekonomi Islam Substantif
Membangun ekonomi Islam yang berkeadilan bukan sekadar soal mengganti istilah konvensional dengan label syariah.
Ini menyangkut cara pandang terhadap nilai, kekuasaan, dan distribusi.
Selama praktik ekonomi syariah dijalankan secara formalistik—menggunakan akad seperti murabahah atau ijarah sekadar sebagai instrumen transaksi tanpa memaknai ruh keadilan, transparansi, dan keberpihakan kepada yang lemah—maka ia berisiko menjadi sekadar kapitalisme berwajah santun.
Padahal, tujuan syariah (maqashid al-syariah) menuntut lebih: sebuah sistem yang memuliakan kerja, menjamin keseimbangan, dan menempatkan kemaslahatan sebagai orientasi utama.
Koperasi Merah Putih Syariah, dalam semangatnya, tak seharusnya dilihat hanya sebagai alternatif teknokratis, melainkan sebagai bagian dari arus perubahan yang menantang sistem yang timpang.
Ia menyuarakan etika baru dalam ekonomi—di mana keuntungan tidak dibangun di atas derita, dan keberkahan menjadi nilai ukur yang setara pentingnya dengan efisiensi.
Bila langkah ini terus dijalani dengan ketulusan niat dan kejujuran gerak, maka Aceh tak hanya akan memiliki satu model kelembagaan ekonomi syariah, tetapi juga satu jejak sejarah—bahwa dari bumi Serambi Mekkah, telah lahir satu bentuk ikhtiar kolektif yang memadukan iman, ilmu, dan kerja nyata.
Karena pada akhirnya, cita-cita besar tidak tumbuh dari slogan yang lantang, melainkan dari keberanian menapakinya dalam kerja yang tekun dan berkesinambungan.
Dengan tekad yang jernih, ikhtiar yang tulus, dan semangat yang tak kenal surut, visi itu akan menemukan pijakannya—menjejak kuat di bumi Serambi Mekkah, tempat di mana spiritualitas bertemu kerja nyata, dan harapan ditanam sebagai amal yang tak putus. Insya Allah.
*) PENULIS adalah Dosen Tetap pada Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe dan Pembina Yayasan Generasi Cahaya Lhokseumawe.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Koperasi Merah Putih
Koperasi Merah Putih Syariah
Koperasi Syariah
Aceh
Qanun LKS
Lembaga Keuangan Syariah
Syariat Islam
kupi beungoh
opini serambi
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.