Kupi Beungoh

Garis Batas, Goresan Luka

Di atas peta, batas-batas negara terlihat jelas dan tegas sebuah penanda kepemilikan. Tetapi di dunia nyata, batas tak pernah benar-benar jelas

Editor: Amirullah
ist
Akhsanul Khalis - Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center 

Oleh: Akhsanul Khalis 

Di atas peta, batas-batas negara terlihat jelas dan tegas sebuah penanda kepemilikan. Tetapi di dunia nyata, batas tak pernah benar-benar jelas dan lurus.

Ia menelusuri gunung, melintasi hutan, menyusuri sungai, membelah desa, hingga membentang di atas laut, pulau, danau, dan padang pasir. Bahkan garis batas bisa berupa pikiran dan ruang batin manusia. Ia tidak sekadar memisahkan, tetapi mempersoalkan siapa yang berhak merasa memiliki.

Hal absurd dari garis batas bukan hanya bentuknya, melainkan cara ia ditentukan: seringkali digambar dari kejauhan, dalam ruang berpendingin, melalui rapat-rapat formal yang lebih mempertimbangkan normatif hukum dan kepentingan politik sesaat, daripada merasakan denyut kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan. 

Teringat pada “peta Stalin” sebuah sejarah tentang bagaimana Asia Tengah pernah dipetakan dengan acak, seperti anak-anak yang dibagikan kue tart, tanpa boleh protes, terpaksa menerimanya. 

Adeeb Khalid dalam bukunya, Making Uzbekistan menggambarkan, bagaimana desa-desa dipisah paksa, tidak oleh gunung atau sungai, tetapi oleh garis buatan. Ada kampung di Tajikistan yang hanya bisa diakses melalui Uzbekistan.

Tapi mereka tetap hidup: bertetangga, bersaudara, berbagi bahasa dan sumber air. Bagi mereka, batas negara bukan akhir; ia hanya bayangan yang tidak memutus tali kehidupan.

Cerita lain datang dari Anak Benua. Di lembah Kashmir, sekeluarga bisa mendadak terbelah dua negara India dan Pakistan karena seutas garis batas yang ditarik oleh sejarah, kolonialisme, dan konflik yang tak kunjung pulih.

Zona ini bukan sekadar wilayah perbatasan; ia adalah salah satu kawasan paling ter militerisasi di dunia. Di balik senapan dan pagar duri, anak-anak yang dulu bermain bersama kini tumbuh dengan dua identitas kebangsaan yang berbeda.

Baca juga: 4 Pulau di Aceh Singkil Harus Kembali ke Aceh, Massa Gerakan Aceh Melawan Tolak SK Mendagri

Namun tak jauh dari sana, di jantung pegunungan Hindu Kush, hidup suku Pashtun suku tua yang telah mendiami tanah tinggi itu jauh sebelum konsep negara lahir. Dulu, mereka bisa berpindah bebas, mengikuti irama musim, membawa ternak dan tradisi dari lembah ke lembah, dari Kabul hingga Peshawar, tanpa mengenal paspor atau visa. Mereka tidak mengenal batas selain yang ditarik oleh alam dan adat.

Tetapi kemudian datang sebuah garis batas negara yang disebut Garis Durand warisan kekuasaan kolonial Inggris yang membelah tanah leluhur mereka menjadi dua: Afghanistan dan Pakistan.

Sejak itu, tanah yang dulu satu, berubah menjadi dua kewenangan, dua birokrasi, dan dua sistem penjagaan. Suku Pashtun kini terjepit di tengah: tubuh mereka di satu sisi, jiwa mereka di sisi lain.

Agustinus Wibowo dalam perjalanannya ke perbatasan Afghanistan–Pakistan pernah mencatat keganjilan ini. 

Dalam bukunya: Titik Nol, ia menggambarkan bagaimana orang-orang Pashtun merindukan kebebasan yang dulu mereka miliki sebuah kebebasan yang kini tinggal kenangan, terkunci dalam buku sejarah atau dalam kisah-kisah tua yang dibisikkan di tepi api unggun. Pashtun menjadi simbol dari betapa absurdnya perbatasan. 

Di Afrika, banyak garis batas adalah peninggalan kolonialisme.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved