Jurnalisme Warga
Hikayat Aceh Nyaris Tak Dikenal Masyarakat Aceh, Mengapa?
Hikayat Aceh, sebuah karya tulis berkelas tinggi, hanya jadi bahan bacaan kaum elite di Kerajaan Aceh Darussalam, sejak para sultan, para menteri (waz
Empat puluh tahun kemudian, yaitu tahun 1763 terbitlah di Amsterdam hasil kerja G.H. Werndly yang berjudul “Maleische Spraakkunst, uit de eigen schriften der maleiers opgemaakt" (Pelajaran Bahasa Melayu, Disusun Berdasarkan Karangan-Karangan Orang Melayu).
Dalam buku ini dicantumkan sebuah daftar buku Melayu mengenai buku-buku yang ditulis orang Melayu. Pada halaman 344 di bawah nomor 4 disebutkan karya-karya asal Aceh, yaitu Bustanus Salatin (Taman Raja-Raja). Di halaman 346 di bawah nomor 15 disebut Hikayat Aceh, yaitu kisah raja-raja di Aceh.
Tak lama kemudian, semakin banyak peneliti Belanda yang mengutip Hikayat Aceh untuk memperkuat hujjah/alasan bagi disertasi mereka. Misalnya, Juynboll telah mengutip Hikayat Aceh untuk beberapa bagian karya ilmiahnya.
Orientalis Van der Linden juga menulis tentang Hikayat Aceh dalam disertasi yang berjudul “Pengaruh Eropa dalam Literatur Melayu”. Dia dengan mendalam menulis tentang kedatangan utusan-utusan Portugis ke Aceh yang disinggung dalam Hikayat Aceh.
Setelah Perang Dunia II usai, terbit pula disertasi Van Nieuwenhujze dengan judul “Samsu’l Din van Pasai” (Syamsuddin dari Pasai”. Dalam disertasi itu dicantumkan satu bab penuh isi Hikayat Aceh.
Peneliti pribumi yang pernah meneliti dengan cermat Hikayat Aceh adalah Husein Djajadiningrat dan Teuku Iskandar. Husein Djajadiningrat masih buat kepentingan Belanda, karena ia asisten Snouck Hurgronje.
Hasil karyanya yang bersumberkan Hikayat Aceh dan karya berbahasa Melayu lainnya berjudul “Critisch Overzisct van de in Maleische Werken vervatte Gegevens over de Geschiedenis van het Soeltanaat van Atjeh” (Tinjauan Kritis Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Sumber-Sumber Melayu).
Dalam karya ini Husein Djajadiningrat menumpahkan perhatian khusus kepada Hikayat Aceh.
Sesudahnya, makin bertambah penulis lain yang mengkaji Hikayat Aceh, misalnya penulis Mees yang pendahuluan kajiannya banyak mengutip Hikayat Aceh untuk disertasinya yang berjudul “De Kroniek van Koetai” tahun 1935.
(Lihat: Seri Penerbitan Museum Aceh Nomor 17 yang berjudul “Hikayat Aceh ” (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandarmuda), yang merupakan disertasi Teuku Iskandar di Universitas Leiden, Belanda, yang telah diterjemahkan oleh Aboe Bakar Bsf, 1986, halaman 2 dan 5).
Menelisik kebangsaan para orientalis dan ilmuwan yang meneliti Hikayat Aceh adalah sebagai berikut:
1) Anthony Johns (Australia);
2) Theodor Willem Juynboll (Belanda);
3) Christiaan Antonie Olivier van Nieuwenhujze (Belanda);
4) Van der Linden (Belanda);
5) Husein Djajadiningrat (pribumi, tapi demi Belanda);
6) Teuku Iskandar (Indonesia-Aceh);
7) Hans Penth (Jerman);
8) Vladimir Braginsky (Rusia);
9) Dll.
Ternyata, mayoritas mereka bukan bangsa Indonesia (Aceh), melainkan berkewargaan asing. Sebagaimana dimaklumi bahwa hasil penelitian yang dimaksudkan untuk disertasi, penyebarannya tidaklah meluas. Paling-paling hanya dimiliki sang peneliti sendiri yang sudah bergelar “doktor” dan dua buah disertasi lagi disimpan di perpustakaan fakultas dan universitas tempat kuliah sang doktor tadi.
Nah, itulah sebabnya Hikayat Aceh nyaris tak dikenal masyarakat Aceh. Demikianlah sebab musababnya!
Namun, bila ada kepedulian pasti banyak jalan keluarnya. Antara lain dengan menerbitkan buku-buku yang tersebut di dalam reportase ini. Akan tetapi, pihak mana yang bertanggung jawab? Tentulah pihak Pemerintah Aceh yang mengelola dana otonomi khusus (otsus) yang “siems” alias banyak sekali itu!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.